Whatever you want...

Monday, January 2, 2017

Kerelaan Wisanggeni, Kerendahhatian Pujangga Jawa

| No comment
Pusat dari Mahabharata adalah Bharatayudha, simbol pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan. Bahwa sebesar apa pun kejahatan itu, pun sekecil apa pun kebaikan. Kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Tokoh besar Kresna bahkan Durga tidak pernah menjadi tokoh utama dalam Mahabharata, kecuali dalam kisah-kisah mereka sendiri. Karena Mahabharata adalah tentang Pandhawa dan Kurawa. Sekalipun Pandhawa maupun Kurawa tetap digambarkan sebagai kelompok abu-abu, namun tetap jelas dinampakkan bahwa Dharma adalah jalan yang diemban Pandhawa dan dielak Kurawa.

Syahdan, putera Arjuna karangan para pujangga Jawa ditambah beberapa orang lagi selain yang telah dicanangkan oleh Wyasa. Salah satu yang terbesar adalah Wisanggeni. Bagaikan bayi sukerta, lahir dalam relung anomali cerita utama Mahabharata, ditolak sejak semula oleh Durga dan Guru, dibesarkan oleh Narada dengan asuhan Sang Hyang Wenang sendiri dalam cengkerangan Candradhimuka membuat bayi itu tumbuh gagah dan menawan. Dikisahkan yang bisa menandingi rupawannya hanyalah Abimanyu, dan yang bisa mendekati kepiawaiannya dalam bertarung hanyalah Antasena putera Werkudara (yang juga tokoh lain karangan pujangga Jawa), bahkan Pandhawa berlima pun, demikian juga para dewata tak mampu mendekati kehebatannya. Bahkan yang bisa membunuh Bathara Kala anak Durga dan Guru, sang bayang-bayang kematian itu, hanyalah Wisanggeni.

Namun sang sukerta harus diruwat oleh cerita itu sendiri. Dengan sosok sehebat Wisanggeni, tidak perlu ada Bharatayudha, karena Kurawa bisa dihabisinya hanya dalam sekali tenggak. Maka demi berlanjutnya kisah, demi Dharma, supaya yang baik bisa mengalahkan yang jahat, maka Wisanggeni ditakdirkan tidak terlibat dalam Bharatayudha. Sebelum perang besar itu terjadi, Sang Hyang Wenang dan Kresna mencari Wisanggeni sampai ke ujung dunia. Dinyatakan oleh sang pemilik kehidupan itu, bahwa jika Wisanggeni terlibat dalam Bharatayudha, bahkan jika pun dia hanya menampakkan wajahnya, tanpa perlu ikut bertanding, Pandhawa justru akan kalah oleh Kurawa. Maka kebaikan akan kalah dari kejahatan. Ketidakadilan akan abadi. Kejahatan dan budaya kematian akan terus menggema.

Wisanggeni yang baik hati namun tak mengerti sopan santun itu, bahkan terkesan angkuh – dia hanya berbahasa krama kepada Sang Hyang Wenang, bahkan tidak kepada Kresna dan para dewa lain, pun orang tuanya – akhirnya memilih jalan moksa. Dia mengecilkan tubuhnya sampai sebesar merica, hingga hilang sama sekali. Demi kemenangan kebaikan, anomali memilih mundur dari medan laga. Dia memilih mundur supaya Bharatayudha tetap terjadi dan tetap dimenangkan oleh Pandhawa.
Para pujangga Jawa sadar bahwa munculnya Wisanggeni akan mengacaukan kisah buku suci Mahabharata, maka mereka memangkas Wisanggeni dengan anggun. Para pujangga Jawa menghormati Wyasa dengan amat sangat. Maka mereka yang menambahkan kisah Wisanggeni dalam jagad pewayangan melengserkannya sebelum dia merusak cerita mulia. Pola yang sama juga terjadi kepada Antasena, Antareja, pun punakawan yang dikepalai Semar sang Ismaya itu pun tak banyak mengambil peran. Mereka sadar, bahwa cerita hidup bukan cerita para pemalas yang hanya muda kaya raya, tua foya-foya, mati masuk surga. Cerita hidup adalah cerita perjuangan.

Demikianlah jalan para begawan. Kecuali Bisma yang memang harus mati oleh panah Srikandhi titisan Amba, tidak ada yang lain yang terlibat Bharatayudha. Mereka memilih mundur dan membiarkan – sambil terus menyaksikan – para anak-anak manusia itu memperjuangkan Dharma mereka. Masing-masing dengan Dharmanya sendiri-sendiri. Arjuna atas Karna, Werkudara atas Dursasana, dan Puntadewa tetap putih (walaupun keretanya menyentuh tanah juga setelah peristiwa Aswatama), demikian juga dengan yang lain.

Demi Dharma. Begitulah sejatinya Wisanggeni memilih pergi. Demi Dharma, demikianlah para pujangga Jawa mengakhiri pahlawan muda rupawan tanpa tanding itu. Menjaga diri mereka tetap rendah hati. Demi Dharma, demikianlah perjuangan pro eksistensi. Karena Dharma memang bukan tentang kemenangan, apalagi hanya kemenangan perang, bukan tentang kuasa, bukan tetang kontrol, tetapi tentang kehidupan.
Tags :

No comments:

Post a Comment