Whatever you want...

Monday, January 26, 2015

Pacet

| No comment
Mengesalkan

Aku meninggalkan rumah dengan gegas setelah suaranya yang malas-malas diiringi lagu Bosanova Layangmu Tak Tampa digantikan bunyi nada dengung panjang telepon ditutup. Aku tak perlu mandi, hanya perlu membawa kamera dan hanpdhone. Pacet! Aku pulang. Ah, tidak benar-benar pulang, karena aku akan berjejalan di Pacet hari ini. Aku tidak punya tempat tujuan tertentu, tetapi kadang kita tak perlu punya tujuan selain merasakan bahagia berdua. Baiklah, itu berarti perjalananku kali ini tidak sendirian.

Tapi nyatanya aku berangkat sendirian. Hanya BBM yang terus-terusan bunyi berding-dung, lalu disambut beberapa Karne Ma, nada panggil handphoneku, pertanda bahwa dia sudah menunggu di Mojosari. Amin cukup cepat bermotor dari Sidoarjo, tidak ada sejam dia sudah di Mojosari. Tapi sial! Aku tak mungkin bisa secepat itu ketika hujan gerimis tak habis-habis bergantian dengan hujan deras sejenak. Lalu panas dan kering. Celana dan motorku membercak coklat tanah yang lebih rapat daripada biasanya.

Aku mengiangkan pikiran "Kalau sampai nanti dia ngamuk, tak amuk balik. Perjalanan semacam ini. Aku sudah capek semalam hampir gak tidur gegara dekor, masih disambung pagi dan acara ulang tahun gereja yang cukup panjang. Kalau sampai dia masih ngamuk, aku bakalan makan dia hidup-hidup. Gak butuh saos asam manis, atau sambal kemiri. Aku yakin daging dan tulang si jago marah itu sudah gurih.

Aku berhenti di Gondang, Alfamart. Ini persimpangan, kiri ke Mojosari, kanan ke Pacet. Keduanya sama-sama jaraknya. Demi efisien, aku menelpon Si Amin. Maksud hati memintanya langsung meluncur di Pacet. Tapi seperti dugaan awal, suaranya di telepon sudah seperti orang kehabisan bensin di tengah padang pasir, kalimat-kalimat bangsat bertebaran seperti daun jati di musim kemarau, luas dan bertumpukan. Aku masih mendengar saja. Sampai dia kemudian mengungkapkan, "Wis 5 menit gak datang tak tinggal mulih!" Pada saat itu tombol merah di otakku ditekan, maka kalau sudah begitu aku bisa lebih kejam dari Rahwana, dan mulutku bisa lebih durhaka daripada Malin Kundang. "Mulih-muliho! Aku yo tak mulih! Habis perkara." Seketika suaranya melembut, "Cepetan!"

Aku yakin dia sudah menunggu lama. BBMnya menunjukkan bahwa dia sudah menunggu lebih dari setengah jam di Mojosari. Aku kebut sebisa mungkin Gondang-Mojosari, dan sekitar 15-20an menit sampailah aku di sana. Aku enggan menunjukkan wajah ramah. Mending menampakkan wajah marah memerah. Semerah jaket parasut Dog Dept-ku. Dia menangkap itu. Aku melihat dia tak banyak bicara. Lumayan. Aku gak perlu mengeluarkan kalimat terburuk dari skenarioku. Aku menunjukkan celanaku yang kotor karena lumpur, entah dia mengerti atau tidak.

Akhirnya aku meluluh juga. Kutarik motorku dan membawanya berjalan sampai di Pandanarum. Hujan menghentikan kami. Dia mengatakan, "Hujan!" Aku pun balas mengomel, "Sudah dari tadi! Aku kehujanan sampai kering." Dengan muka bercadar masker. Aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya. Entah kenapa tiba-tiba ada yang meledak dari perutku. Aku mendadak tertawa menyaksikan ekspresi matanya yang menggabungkan kesal, marah, takut, khawatir, bahagia dalam sekali waktu itu. Melihatku tertawa tahulah dia bahwa kondisinya aman untuk mengomel. Maka dia mulai mengomel seperti nenek-nenek kehabisan sirih. Dan aku hanya bisa tertawa. Omelannya ditutup dengan sebuah epilog fenomenal, "Aku kebelet kencing!"


Membaik

Kami mampir di rumahku. Dia menuntaskan ritual kencingnya. Bersalaman dengan ibu dan menggelar wajah sok keren. Aku menyuruhnya cepat berangkat sebelum gelap. Aku memarkir motorku di depan rumah adikku, dan melompat ke sadel belakang. Sial, footstepnya susah digerakkan keluar.

Seperti seorang pemandu wisata yang buruk, aku menceritakan tentang Pacet kepadanya. Dan seperti wisatawan yang lebih buruk dia pun berkata, "Aku tahu kok kalo memang hujan, temanku bilang. Dia di Pacet." Gombes! Lalu ngapain tadi sok kesal di Mojosari, "Kamu kan bisa mampir-mampir di mall kek!" Dan dia berseloroh panjang, "Mana ada mall di Mojosari, janciiiiikkkkk! Gitu itu nek pintere kebablasen, karek gobloke!"

Lesehan tempat kami berencana makan penuh, mobil berjajar-jajar. "Langsung saja ke Pemandian Air Panas!" Dia sebenarnya ogah ke tempat itu, tapi tampaknya dia lebih ogah bikin ribut lagi denganku. Maka dia terus saja menuju tempat pembelian tiket. Dan yang agak mengesalkan adalah tempat semacam Pemandian Air Panas Pacet, pasti ramai hari-hari seperti ini. Dan benarlah, ketika kami usai memarkir motor, kami melihat jejeran mobil dan pengunjung seperti konverensi di jalan masuk pemandian.

Aku menunjukkan kepadanya sebuah pemandian kecil di luar pemandian utama. "Di sana biasanya orang-orang gay berkumpul. Tapi mungkin ini ramai, mereka kalah cepat dan berani dibandingkan orang-orang sekitar." Tampak bapak-bapak tua dan para perempuan mandi di sana, tanda bahwa kaum gay yang mendagangkan kemurahan dirinya sedang beringsut mendelep oleh kawanan awam. "Itu yang bikin aku emoh datang ke sini." Ujarnya. Aku melihatnya, "Santai aja kale!"

Setelah melewati deret mobil-mobil itu sampailah kami di jejeran lain, penjual sayur mayur dan oleh-oleh olahan ubi ungu dan sejenisnya. Ramainya melebihi pasar pagi. Aku memasang kameraku kepadanya, dia sadar dan segera tersenyum. Sialan! Dasar keturunan Narsicus. Bukankah orang-orang sejenis itu mengesalkan? Tapi melihatnya sudah mulai tertawa, aku terima itu sebagai pertanda baik.

Kami berencana mencari makan. Tapi sebagaimana tempat wisata rakyat jelata. Kawasan pemandian itu tak menjanjikan makanan yang cukup bisa mengenyangkan selera makan kami. Deretan puluhan warung yang disangga dengan tiang-tiang tinggi itu menawarkan menu yang serupa: bakso, soto, mie. Napsu makanku tidak terhenyak, aku memandang wajahnya, ekpresinya sama. "Nanti aja cari makan pas keluar." Dia langsung mengiyakan. Sebagai penggila bakso, ternyata bakso di sini tak cukup menggoyahkan imannya. Aku bisa mengerti.

Tapi ada sesuatu yang mendongkrak lirikan matanya. Bolak-balik matanya melirik. Kuda! Aku tahu itu bukan pandangan ngeri, itu tatapan memohon. "Okelah! Ayo!" Aku menuju seorang tukang kuda dan menanyakan harga sewanya, "Sampai di tempat out bond di atas 25 ribu, Mas!" "Nanti cuma deket doang, Pak!" "Jauh kok, Mas!" Janji pak kudanya. "OK! Dua bisa pak?" Sang Bapak mengiyakan. "Minta yang putih, Pak, satunya!" Amin menambahkan. Dan bapak itu turun memanggil temannya. Tidak berapa lama sang bapak kembali membawa seorang anak ingusan, menuntun kuda hitam. Aku tertawa, Amin melengos, mendengus, persis kuda yang ditungganginya.


Bagaikan Legolas dan Aragorn kami mendaki sampai ke tempat outbond. "Kamu takut, ya!" Ejeknya kepadaku. Aku menyembunyikan wajahku yang biru. "Sebenarnya naik kuda bisa asik, tapi bukan di tempat semacam ini." Tepisku "Alasan!" Cerocosnya. Benar dugaanku, tempat out bond yang dimaksud bapak kuda tadi tak lebih dari perjalanan naik beberapa ratus meter. Tapi tak masalah lah. Lama-lama aku bisa menikmati kudaku, aku bisa merasakan ayunan kaki sang kuda. Kudaku lebih liar. Kuda Si Amin lebih santai, tapi lebih senang eksplor. Maka hampir saja dia dibawa lari kudanya. Giliran dia yang tampak merah biru, dan aku tertawa selebar-lebarnya.

Kami tidak tertarik untuk masuk ke pemandian. Maka kami langsung meluncur turun. Aku bercerita kepadanya bahwa di daerah sana banyak tujang ojek yang akan menawarkan penginapan kepadanya kalau dia datang bareng cewek. Menawarkan penginapan dan segala fasilitas najis. Dia tersenyum. Aku bertanya, "Kenapa?" Dia menjawab asal, "Kalau datang sama cowok? Ah paling tukang ojeknya nawarin, sama saya saja, Mas!" Kami berderaian tawa.


Menjulang Nyata

Tampaknya nasib baik berpihak kepada kami. Ketika kami turun, lesehan yang tadi penuh sudah lebih sepi. Kami berbelok dan makan. Menunya tidak terlalu spesial, tetapi aku punya kenangan masa kecil di sini. Ini adalah lesehan pertamaku. Mungkin aku berumur 4 atau 5 tahun ketika pertama kali datang ke tempat ini. Ingatan-ingatan bahagia tentang Oomku yang sekarang tinggal menyisakan kemarahan dan sesak untuk Bu Dheku. Aku tak hendak berbicara lebih panjang tentang itu. Demikianlah maka ayam bakar, tempe, urap, jus tomat, es jeruk dan nasi sebakul itu habis kami bagi dua.

"Di atas ada tempat yang bagus buat foto!" Dan seketika Amin yang sebentar lalu mengaku kekenyangan langsung siaga 45. Berbagai polah dilakukannya, mulai terbang sampai sok serius. Demi bidikan kamera. Dasar Narsicus! Aku sih seneng saja, dapat talent gratis. Punya teman asik memang bikin perjalanan jadi meriah, kayak lomba krupuk nasional.



Usai dari sana jam lima sudah memanggil-manggil kami buat pulang. Aku belum memutuskan kembali ke Pare atau menginap di rumah. Tampaknya aku lebih berat ke rumah. Besok Shienna ulang tahun. Kami masih menyempatkan pergi ke hutan pinus, untuk sejenak mengambil beberapa foto. Talentku satu ini langsung bersiaga. Kupluk direnggutnya dan dia melepas kaus merahnya berganti kaos dalam hitam.

Dia tertawa memandangku, "Upacara bendera siap dimulai." Kami tertawa berderai, Setelah beberapa foto kami pulang. Dia sempat membayariku untuk sebuah labu dan tiga ikat selada air. Aku kangen makan selada air cocol sambal terasi, dilengkapi dengan wedang angsle atau kolak labu. Sudah meleleh rasanya liurku. Aku memilih menginap di rumah Pacet, dia pamit kepada ibuku dan kembali ke Sidoarjo. Rasanya gak masalah kalau perjalanan berikutnya sama dia lagi. Modalnya gampang kok, cukup marah-marah sebentar dan kamera.











Tags :

No comments:

Post a Comment