Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta 8

| No comment
Ullen Sentalu

Kami harus bertanya sampai dua kali untuk memastikan bahwa kami menemukan tempat yang kami cari. Kami menyangka tidak jauh dari pusat kota mungkin hanya sekitar lima kiloan, tapi ternyata di kawasan wisata Kaliurang, artinya kami harus berusaha untuk menempuh perjalanan naik itu dengan motor Ayub yang tampaknya tidak terlalu bersahabat dengan tanjakan. Dan sialnya aku baru tahu bahwa motor itu tanpa surat kendaraan. Untung saja aku tahunya belakangan, kalau tidak pasti sudah was-was sejalan-jalan. Aku membonceng Astrid, Ayub membonceng Mbak Ari dengan motor Mbak Ari.

Aku senang bisa kenalan dengan Astrid, dia pribadi hangat yang ikut menjadi saksi sejarah peristiwa Ambon tahun 1998 sampai 2000. Astrid bercerita sampai dengan hari ini ketegangan itu belum benar-benar purna, namun mereka mencoba. Astrid yang awalnya kupanggil kak, ternyata angkatan yang sama denganku, 2003. Maka kami bersepakat menghilangkan panggilan kak yang mengganggu itu. Astrid kuliah S2 dengan biaya sendiri, karena di gerejanya untuk menjadi pendeta, orang harus menunggu jatahnya, sehingga setelah menyelesaikan kuliah dan menunggu selama beberapa tahun, Astrid memutuskan mengambil S2 terlebih dahulu. Ketika di GKJW kami kekurangan pendeta sampai banyak jemaat yang komplang, di luar sana (dan aku akn mendengar cerita yang sama dari Lian) gereja-gereja bahkan kelebihan pendeta, sampai mereka harus menunggu gilirannya, seperti di ruang tunggu dokter saja. Betapa hebatnya mereka yang bersetia menunggu untuk melayani, sedangkan di tempat kami banyak yang lalu memilih undur diri. Ah tapi itu pilihan setiap pribadi, tidak ada salah benar di sana, walaupun perasaan "Eman, ya!" itu pasti tidak bisa tidak terbersit walau sejenak. 

Astrid terpesona pada Kaliurang, dan kami bersepakat "Gila kan! Jogja ini tempat secuil tapi menyimpan segala kekayaan, mulai dari gunung sampai laut, kota sampai budaya." Dia kali ini menyayangkan mengapa dia tidak bisa bermotor. "Di Ambon, walaupun kotanya mungkin seramai Jogja, tapi Ambon itu kota kecil, kamu bisa mengelilingi ujungnya dalam sehari." Dan itu sebagai perbandingan Jogja yang bahkan setelah sekian tahun kami tinggali, masih ada saja rasanya yang belum terjelajahi. 

Kami sampai di kawasan wisata Kaliurang, ada peta wisata di sana. Kami menemukan museum itu di peta. Oke kita ke sana. Ullen Sentalu, nama macam apa itu? Bahkan banyak orang Jogja yang tidak pernah mendengarnya, termasuk aku yang tinggal enam tahun di sana. Kami naik dan ketika hampir tiba di belokan itu, aku sadar bahwa aku pernah ke sini, memberikan outbond pada saat jaman kuliah dulu. Pagi-pagi masa itu, aku berjalan-jalan dan menemukan tempat itu, aku kira itu bangunan tua sisa Belanda yang tidak lagi terpakai. Bangunan itu diselimuti tetumbuhan dan rerambatan yang mengesankannya terlalu tua untuk sebuah bangunan yang baru berusia dua dasawarsa. Tapi wajar saja saat itu aku tak cukup jeli, pasalnya pintu masuk museum itu seperti tersembunyi, seperti barak yang memang enggan dimasuki. Serupa gadis yang mengasingkan diri, emoh disentuh sembarang laki-laki, kecuali yang dipilihnya sendiri. Dan andaikata masa itu aku sudah tahu, pasti aku hanya akan mengatakan "Keren!" dan sudah, akan sangat berbeda ketika aku baru datang sekarang, yang begitu berang ingin membawanya pulang. 

Satpam menunjukkan tempat pembelian tiket. Dua perempuan di sana seperti dipenjara. Aku tetiba merasa kasihan kepada meraka, "Apa salahmu, Mbak?" Kami membayar seratus dua puluh ribu untuk berempat. Ada aturan tidak boleh makan dan minum, tidak boleh nyampah, tidak boleh menyentuh koleksi, dan tentu saja seperti di museum mana pun: tidak boleh memotret! Sialan! "Kalau aku ngambil fotonya sembunyi-sembunyi gimana?" Dan si mbak tahanan loket itu menjawab dengan ketus, "Kami bisa menuntut masnya secara hukum! Itu pidana!" Wei santai saja mbak! Tapi kamu cantik juga kalau marah! Perempuan marah itu keluar auranya! Walaupun kamu sangar tapi aku tidak kesal, karena kamu cantik. Beruntunglah kamu, mbak!

Kami berempat masuk bersama delapan orang lain, tante-tante Jakarta yang ogah dipanggil tante atau ibuk, "Panggil embak!" jawab beberapa dari mereka ketika aku bertanya, "Ibu-ibu ini dari mana?" Enam berjilbab, dua tidak. Mereka sibuk berfoto, dan selalu ada mantra yang diucapkan sebelum pose "Awas perut!" Dan segera mereka menahan napas sekian detik memberikan kesempatan perut mereka terlihat langsing. Mereka juga sibuk mencari toilet. Maka sempurnalah perjalanan kami bersama mereka, bencana nasional, pikirku. Kami berempat seperti ayam buluk, mereka seperti boneka-boneka yang dipoles dengan bedak jutaan rupiah. "Lalita!" gumamku.

Pemandu kami seorang perempuan yang berbicara dengan sangat cepat, seperti kereta di jalan turunan roller coaster. Tapi dia sangat manis dan baik hati, suaranya renyah dan jelas tertangkap. Ketika kami masuk, kami seperti berjalan di dalam hutan, pohon-pohon besar menyambut kami, suara alunan gamelan yang lamat-lamat terdengar dari jauh, berpadu dengan wangi kemenyan dan bunga ceplok piring. Maka suasana magis itu begitu saja menyelimuti kami. Tapi tak berapa lama suara magis itu teralihkan oleh suara tante-tante yang kembali bercuap-cuap seperti para minion, "Toilet mana? Toilet?" Dan mbak pemandu kami dengan dengan lembut tersenyum ayu mengatakan, "Sebentar lagi, di ruang depan ada toilet!" 

Dan kami masuk ke ruang itu, Ruang Selamat datang. Memukau. Pemandu kami menjelaskan bahwa bangunan itu baru tapi didesain kuno, hawanya yang semriwing juga berasal dari AC yang dipasang di belakang pintu masuk gua. Seperti masuk ke sebuah katakombe. Kami bertemu dengan sebuah papan besar yang menjelaskan tentang tentang museum itu. Museum pribadi yang digagas oleh keluarga Haryono, dan mendapat dukungan penuh dari Keraton Solo maupun Yogyakarta. Bahkan penasihatnya adalah jajaran nama-nama besar Keraton. Dan perempuan di sudut ruangan itu menyapa kami, Dewi Sri, dalam posisi yang mirip dengan Arca Prajnaparamita Ken Dedes dari Singhasari, cantik dan tentu saja dengan padi yang menjadi ciri khasnya. 

Pemandu kami menjelaskan bahwa Ullen Sentalu adalah kependekan dari Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku, nyala dian yang menerangi jalan kehidupan. Blencong adalah lampu yang dipakai di pertunjukan wayang untuk mengesankan bayang-bayangnya. Ayub di sebelahku mengomel sendiri, "Pantas saja para waria itu disebut blencong!" Di beberapa daerah Jawa Timur waria disebut blencong. Bukan pada momen sembarangan tetapi pada waktu pertunjukan ludruk. Dalam pementasan ludruk semua perempuan diperankan oleh pria atau waria. Tapi mereka bukanlah blencong, blencong adalah para waria yang biasa bersembunyi di semak-semak, di balik panggung ludruk. Mereka menawarkan jasa kepada para penonton yang 'haus'. Biasanya untuk menunjukkan keberadaan mereka mereka akan membawa senter, membawa terang. Syahdan pada lalu sebelum ada senter, mereka akan membawa ublik serupa blencong pertunjukan wayang. Menegaskan bahwa mereka adalah bayang-bayang, namun juga berbicara bahwa semua yang terhampar di depan mereka adalah bayang-bayang, termasuk semuanya. Mikrokosmos, makrokosmos semuanya adalah nyata namun juga adalah bayang-bayang. Blencong, ada kisah dari belakang layar, kisah para bayang-bayang. 

Tante-tante itu sudah memuaskan hasrat mereka dan suasana yang sejenak hening langsung berubah menjadi pasar. Anehnya aku suka itu, aku menyukai mereka yang demikian jujur apa adanya. Dan ketika kami masuk ruang tari dan gamelan. Mereka membuktikan diri tak sepenuhnya kosong, mereka bisa tahu tarian bedhaya ketawang dan bedhaya semang dengan cukup mengesankan. Aku pun mulai bisa bercanda dengan mereka. Mendengar di antara penjelasan pemandu kami tentang kisah Gusti Nurul yang menari di Belanda, aku tertawa mendengar mereka berkata, "Nanti kita dugem di mana, nih?" Dan jelas aku melihat mereka menikmati diperhatikan. 

Adalah Gusti Nurul yang cantik jelita. Sang putri berkemben merah itu diundang menarikan Bedhaya di Belanda pada pernikahan Putri Juliana, walaupun di lukisan digambarkan Gusti Nurul diiringi oleh para pengrawit, namun sejatinya pada tahun 1937 itu hanya Gusti Nurul yang menari sedangkan gamelannya dimainkan di Solo, "What?" Aku berteriak, mistis sekali! "Iya, Mas, karena musiknya diputar teleconference lewat radio." Dan terdengar O panjang di seluruh ruangan. Walaupun demikian suasana magis itu tidak serta merta hilang, konon gamelan yang mengiringi tarian itu harus disertai oleh penari atau sama sekali tidak berbunyi, maka bersama dengan Gusti Nurul yang menari di Belanda, dua orang penari lain menari di Solo bersama dengan gamelannya. Ada juga tarian tentang Putri Cina dan Putri Jawa yang dilukiskan dalam dua lukisan, Tari Menak Dewi Rengganis. Sepenjuru ruangan kami dipenuhi gamelan lengkap, "Namanya Kyai Kukuh." "Pernah dimainkan, mbak?" Aku bertanya. Ternyata sekarang sudah tidak dimainkan lagi. Selebihnya tentang Gusti Nurul, akan ada kisahnya nanti, demikian janji pemandu kami. Catatan lain adalah bahwa di Jawa seorang Raja harus bisa menciptakan tarian. 

Kami melanjutkan perjalanan ke Guwa Sela Giri, goa batu gunung, karena lorong panjang berisi puluhan lukisan dan foto itu terbuat dari batu-batu Gunung Merapi dan konturnya mengikuti kontur tanah, demi kontur ini, lorong itu akhirnya ada di bawah tanah. 

Mengawali perjalanan di sepanjang lukisan empat keluarga besar  kerajaan Mataram yang nanti pecah menjadi dua kerajaan Jawa, Solo dan Jogja, sebuah pohon silsilah terpampang di sana. Tidak cukup waktu untuk mengamati. Maka aku memaksa Ayub memberikan kertas dan bolpoin, sayangnya Ayub hanya membawa bakal skripsinya, "Ora opo-opo! Eman Yub nek ra ditulis." Maka bagian belakang skripsi itu direlakannya untuk menjadi catatan coret moretku. Atas hasil perjanjian Giyanti, terpecahlah keluarga Mataram menjadi dua arus utama, Jogja yang disebut kesultanan dan Solo yang disebut kesunanan. Jogja diperintah oleh Hamengkubuwana dan Paku Alam sebagai adipatinya, Solo oleh Paku Buwana dan Mangkunegara sebagai adipatinya. Maka aku cukup bangga, karena rasanya namaku berasal dari trah mereka. Dari banyak lukisan itu aku menangkap bahwa lebih banyak lukisan perempuan, bahkan lukisan tentang Bobby, Paku Buwana XII bersama keenam selirnya pun, sedang mengukuhkan posisi ibunya sebagai yang berkuasa. Entah karena oedipus kompleks, atau rasa hormat, PB XII tetap meletakkan gelar permaisuri pada sang ibu. Dan dalam beberapa lukisan, sang ibu yang pandai bermain piano itu adalah segala-galanya di keraton. Dia memegang kunci seluruh ruangan yang dibungkus dengan kain merah, "Mengapa merah?" Kalau hilang biar gampang ketemunya, kata pemandu kami. Nama perempuan itu adalah Ibu Ageng, tepat sekali!Begitu banyak lukisan perempuan istimewa di sana. Tidak seperti yang disangkakan bahwa di Jawa perempuan tak terlalu beroleh tempat. Justru di balik tembok istana Jawa, perempuan memegang peran yang sangat penting. Dia bukan pemutus keputusan, tetapi dia ada di balik keputusan dengan tersamar. Maka lukisan ibunda PB XII yang anggun dan teguh itu seperti menunjukkan bahwa mereka yang datang tak boleh main-main dengannya. Ada perbedaan antara permaisuri dengan selir, permaisuri mengenakan kain batik pada jaritnya dengan seredan, tetapi selir dengan berwiru/ wiron. "Habis ini aku gak mau pakai jarit dengan wiron, aku kan permaisuri!" Ujar salah satu tante yang bersama denganku. Baiklah, apa sih yang nggak buat kamu, Te! Eh, Mbak!

Gusti Nurul pun lagi-lagi ada di situ. Kali ini dengan latar kuda, "Dia suka berkuda" jelas pemandu kami. Perempuan macam apa Gusti Nurul ini? Hebat sekali dia. Dia cantik, fashionable, dan gambarnya hampir memenuhi setiap penjuru museum. Aku semakin bertanya mengapa gadis itu begitu memenuhi koleksi museum ini? Bahkan cerita Gusti Nurul tidak berhenti di sana, Gusti Nurul pernah dilamar Sri Sultan hamengku Buwana IX tapi ditolaknya. "Dia punya prinsip!" kata pemandu kami. "Dan prinsipnya adalah?" tanyaku. "Sabar dulu, Mas! Nanti juga tahu!" Jawab pemandu kami yang lengsung disambut oleh para embak tante itu. "Uh dasar anak muda pinginnya cepet-cepet aja! Sabar dong!"

Namun ada juga gadis lain yang istimewa karena begitu fashionable, dia memadupadankan kebaya dengan sepatu boot, jarik dengan kipas bulu, dia adalah Gusti Menuk alias Retno Puwoso, istri dari PB VII. Tentu saja tidak secantik Gusti Nurul, tapi dia punya cerita sendiri: tak harus Anne Avantie. 

"Mbak mengapa ada Durga di sini!" Pemandu kami sudah hampir sampai di ujung lorong ketika dia akhirnya kembali mundur sedikit. Dia tersenyum kepadaku, "Benar, Mas!" Aku mengenali arca itu serupa arca Durga di Prambanan, salah satu tangannya menarik rambut Asura, dan menginjak kerbau. Tangan yang lainnya memegang berbagai macam senjata. Durga Mahisasuramardini adalah wujud malapetaka yang harus diruwat di Jawa. Sang anak adalah Bethara Kala, dan hanya Sadewa yang mampu meruwatnya kembali menjadi Uma. Kisah cinta sialan, decakku. Tapi di Ullen Sentalu, Durga bermakna lain, Durga dengan kedelapan tangannya adalah simbol seorang perempuan Jawa yang harus bisa segalanya, dia mengurus suami, mengurus rumah, mengurus anak, hingga perkara-perkara lain dalam sesehari. Durga adalah perempuan tangguh yang mampu melakukan segalanya, bahkan pesona dan kengeriannya melingkupi semua yang datang kepadanya.

Namun bersama dengan cerita digdaya para perempuan itu, terbersit juga cerita tentang PB X yang mempunyai seorang permaisuri namun mengambil lagi permaisuri lain karena permaisuri pertamanya tidak dapat berputra. Padahal dia punya puluhan selir. Entah bagaimana orang semacam dia menggilir. "Biasanya yang semacam itu untuk menunjukkan ketertundukan suatu daerah pada wilayah sebuah kerajaan." Dan seorang raja lain yang anaknya lebih dari tujuh puluh orang. Dasar raja, seenaknya menaruh burung. Tapi sudahlah lupakan para laki-laki itu, mereka juga punya masalah sendiri. Lihatlah pada cerita-cerita para perempuan itu, mereka yang selama ini terbelenggu tembok istana, ternyata mampu berkiprah sedemikian luar biasa. 

Di ujung ruangan foto seorang perempuan duduk miring, namanya Gusti Partini Djayadiningrat. Dia adalah pengarang cerita ande-ande lumut. Tapi oleh Balai Pustaka namanya disamarkan menjadi Antipurbani. Kami terpesona. Tapi tidak hanya itu, ada sebuah foto lain, Gusti Partini bersama ketiga putrinya. Salah satu putrinya "Entah yang mana saya juga tidak tahu." Kata pemandu kami, adalah ibunda dari Dimas Djayadiningrat. Kami melongo, "Pantas saja!" kata para tante itu. Entah apa yang pantas saja. Kami diberi tahu bahwa pada masa itu surat-surat ditulis dalam Bahasa Belanda, untuk menunjukkan kecanggihan sang putri. Tapi sebelum dikirim, surat-surat itu harus melewati badan sensor nasional, yaitu ayahanda sang putri. Ayahanda sang putri akan melihat dan memeriksa surat-surat itu. "Jahat sekali!" "Bukan begitu, tapi itu dilakukan supaya tidak ada grammar yang salah! Supaya para putri itu kelihatan pintar dan tidak dipandang rendah para sahabatnya." Maka setelah itu kami keluar melalui sebuah pintu kaca. 

"Merayakan perempuan! Ullen Sentalu sebuah perayaan pada perempuan!" Ujarku. Mbak Ari mengangguk setuju.

Kami pun melewati sebuah jalan serupa labirin. "Labirin ini lambang kehidupan." Dan tante-tante itu segera mengiyakan. "Setelah ini ada aturan, yang paling belakang menutup pintu, ya!" Dan mata para tante itu menjurus kepadaku. Terima kasih! Perjalanan kami pun sampai pada kawasan yang mengambang di atas kolam teratai. Mereka menamakannya Kampung Kambang. Wilayah itu memiliki lima bilik utama. Dan aku tahu bahwa aturan yang ditujukan kepadaku adalah wajib hukumnya, menutup pintu. Menarik bahwa setiap pintu ditutup maka lampu akan seketika mati, dan hidup ketika dibuka kembali. Aku seperti orang udik yang melakukannya beberapa kali memastikan apa yang terjadi.

Bilik pertama dari Kampung Kambang adalah Bilik Syair Tineke. Tineke adalah putri Pakubuwono XI, yang bernama asli Koes Sapariyam. Kisah cintanya serupa Siti Nurbaya. Tineke mencintai seorang pangeran, tapi orang tuanya tak berkenan. Demi aturan kerajaan Tineke tak direstui bersama yang dicintainya. Maka dia pun berkirim layang dengan para sahabat dan saudaranya. Surat-surat itu serupa sajak yang sangat indah. Jelas berbeda dengan surat muda-mudi hari ini yang gampang saja menyepelekan bahasa. Maka kami segera membaca bahwa sajak-sajak dari balik istana itu sekuat tulisan-tulisan Shakespeare, sayang sekali tak banyak yang tahu. Hari ini istana hampir hanya dilihat dalam kerangka hegemoni, dan seni semacam ini terlupa begitu saja. Sebuah surat yang kuingat bertuliskan, "Sekali merdeka tetap merdeka!" Sebuah puisi yang begitu terkenal adalah:

Kupu tanpa sayap
Tak ada di dunia ini
Mawar tanpa duri
Jarang ada atau boleh dikata tak ada
Persahabatan tanpa cacat
Juga jarang terjadi
Tetapi cinta tanpa kepercayaan
Adalah suatu bualan terbesar di dunia ini

Sebuah surat lain tulisan Gusti Nurul, lagi-lagi perempuan ini. Tapi tulisan ini seperti membuatku sesegera mengenal sosoknya:

Wanita itu harus kuat. Wanita itu tiang negara.
Kalau wanita tidak beres, negara tidak beres.

Aku tersenyum, aku tak sabar menunggu kisahnya. 
Tapi ruang itu adalah cerita tentang Tineke yang menderita. Aku membayangkan jika seorang gadis sampai dikirimi surat semelodrama ini, dia pasti mengalami duka yang amat sangat. Kepasrahan adalah cerita lain dari kami orang Jawa. Tradisi Jawa adalah tradisinerima. Demikian kami dididik dalam hidup. Kami sakit, tentu, tapi kami belajar berkawan dengan sakit, hingga kadang sakit sudah tidak terasa lagi. Beberapa lukisan itu disertai foto pengirimnya juga, katanya agar segera diketahui oleh sang penerima. "Kayak facebook gitu ya!" Kata salah satu tante dan diiyakan oleh pemandu kami yang selalu murah senyum. "Apakah di kalangan jelata surat-suratnya juga demikian, Mbak?" tanyaku. "Mungkin saja! Tapi kita tahu bahwa istana dan rakyat itu selalu berjarak. Tapi mungkin dalam beberapa tahun kemudian gaya istana akan menurun kepada rakyat, dan itu hal biasa." Mbak Ari memanggilku, "Dik! Sini!" Dia menunjukkan kepadaku petilan sebuah surat untuk Tineke. Dia merapalnya seperti mantra, aku tak persis ingat apa yang dikatakannya. Tapi ada yang terasa tidak nyaman di perutku ketika Mbak Ari mengucapkan kalimat itu, aku sempat membacanya. Bagiku tidak terlalu bermakna, tapi entah mengapa rasanya ada yang salah dengan melewatkannya begitu saja. "Tenang saja!" Pemandu kami membuyarkanku, "Setelah sepuluh tahun akhirnya Putri Tineke bisa bersatu dengan belahan jiwanya!" Ah! Kami lega, sembari tersenyum kami meninggalkan ruang itu. Tentu aku bagian menutup pintu.

Ruang berikutnya adalah Royal Room Ratu Mas. Bagian ini peninggalan Ratu Mas, permasuri PB X. Ada foto mereka, lalu pakaian dari beludru milik Ratu Mas sendiri. Yang menarikku adalah dua buah dodot yang dipasang berdampingan. Serupa tapi tak sama. Pemandu kami mengatakan bahwa satu bergaya Solo satu bergaya Jogja. Yang bergaya Solo adalah yang polos, sedangkan Jogja yang bersulam benang emas.  Menarik tapi belum sangat mengesankanku. Yang teramat sangat mengesankanku adalah ekspresi Ratu Mas, matanya. Para putri Jawa diajar untuk bermata sendu. Di Jawa sendu bukan berarti sedih, tapi sendu berarti tak terbaca. Di Jawa terlalu terang-terangan adalah tabu, demi itu semua hal di Jawa mulai dari filosofi sampai perasaan disimpan dalam simbol yang bahkan tidak terbaca. Di Jawa kami diajar menyimpan dengan rapi, dan tidak mengumbar. Tidak benar terlalu senang, tidak benar terlalu sedih. Kami tidak berekspresi, kecuali ekspresi itu adalah datar. Demikianlah Ratu Mas yang belia itu menikah dengan PB X yang berusia lebih dari dua kali usianya. Jangan berpikir bahwa dia sedang bersedih hati, sekalipun itu mungkin saja, tapi lebih dari pada itu dia hanya sedang tidak berkenan dibaca. Itu saja. Demikianlah kami Orang Jawa. Mengapa? Karena kami orang Jawa. Jika ada putri Jawa yang membiarkan ekspresinya berbicara mungkin itu hanya sang Putri Ketiga dari Kampung Kambang, Gusti Nurul.

Lalu dua buah ruang batik. Aku baru tahu bahwa motif-motif batik selain bermakna filosofis, juga dikenakan sesuai dengan makna yang terkandung dalam motifnya. Batik Solo motifnya lebih kecil-kecil dan rumit, warna dasarnya coklat tua kemerahan atau biasa disebut sogan, sedangkan motif Batik Jogja relatif lebih besar, dan berwarna dasar putih atau hitam. Kali ini aku tidak sangat tertarik menuliskan ragam motif itu satu per satu. Mungkin pada catatan yang lain. 

Dan bilik terakhir di kampung Kambang adalah Ruang Putri Dambaan. "Di sini kita bertemu dengan Gusti Nurul!" Ini dia!

Gusti Nurul menggabungkan ketiga istri Arjuna dalam satu wadak. Dia jelita seperti Sembadra. Konon ada yang mengatakan bahwa ketampanan di dunia jika bisa dibagi dua separuhnya adalah milik Arjuna, separuhnya pria-pria lain. Demikian pun jika kecantikan bisa dibagi dua maka separuhnya milik Sembadra, separuhnya milik perempuan-perempuan lain. Sedemikiankah memesona? Iya! Andaikata sepuluh gadis dijajarkan, kita akan segera tahu yang mana Gusti Nurul, dan percayalah andaikata kita berseratus yang memilih, kita akan benar semua. Dia mengerti bahwa dia cantik, sehingga dia merasa bebas menyematkan apa saja pada dirinya, dan sialnya membuat dia bertambah indah. Tuhan tidak cukup adil, awalnya mungkin kita akan berpikir demikian sampai kita lihat sisi yang lain daripadanya. 

Dia adalah Larasati yang tajam dan lembut seperti teratai. Jika Larasati memanah maka dia berkuda. Namun dia setia dan pengabdi, demikianlah Larasati pun Gusti Nurul. Kesetiaannya pada Keraton membuatnya disanjung-sanjung. Bahkan Bu Tien Soeharto pernah menyarankan agar dia saja yang melanjutkan Kesunanan Solo, karena calon paduka sesudahnya dianggapnya tidak dewasa - tentu saja ada yang membaca-baca ini sebagai upaya penyingkiran kelompok Soekarno, tapi siapa yang tahu. Tentu saja putri Jawa dan berkuda adalah gambaran yang tidak lazim pada masa itu. Namun di balik ketegasannya dia menyimpan tenaga yang tak kalah berkuasa, kelembutannya mampu menangkap semua mata dengan tergila-gila. Dia toh bersetia pada kehendak ayahnya atas tabiat seorang putri. Bahwa putri harus tenang dan teduh, serupa laut. Andaikata bunga, dia teratai yang menganbang di air, tidak tenggelam namun juga tidak timbul. Demikianlah putri tetap menyimpan pikatnya atas siapa saja yang memandangnya. Aku? Aku termasuk di dalamnya.

Dia adalah Srikandi yang perkasa. Menikah di usia 30 tahun jelas masalah besar bagi perempuan yang pada masa itu rata-rata menikah pada usia belasan. Orang bertanya-tanya mengapa gadis secantik dirinya yang bisa mapan dan tenang dengan tinggal mengarahkan telunjuk memilih tidak memilih? Soekarno, pria paling berjaya pada masa itu ditolaknya. Sjahrir pria revolusioner itu ditolaknya. Hamengkubuwana IX yang memungkinkan perjumpaan kembali kedua keraton Solo-Jogja ditolaknya. Apa alasannya? Dia dididik dengan gaya pendidikan Belanda yang memberikan kesempatan setiap manusia untuk menyuarakan hatinya. Konon pada masa mudanya sang ibu mendidiknya, "Ibunya dipoligami, dan ibunya mengatakan kepadanya bahwa poligami itu menyakitkan. Maka dia mengatakan tidak kepada poligami. Itu prinsipnya." Ah andaikata di hidup pada masa Yunani dia pasti adalah Helen dari Troya. Jika dia hidup di Mesir dia adalah Cleopatra. Di Jawa dia adalah Srikandi. 

Ruang itu berisi memorabilia sang Legenda Hidup, yang sampai saat ini hidup tenang bersama suami pilihannya dalam usaianya yang sudah lebih sembilan dasawarsa. Suaminya kolonel militer, Suryo Sularso. Kawan di bangku sekolah, sekaligus sepupu jauhnya. Calon yang ternyata juga disetujui orang tuanya. Dia memilih yang tampaknya biasa saja. Tapi bisa dicintainya dengan luar biasa. Demikianlah ruang itu mengabadikan kekuatan dan kelembutan sang putri dalam setiap barang yang terpasang di sana, mulai dari foto-foto, meja rias, hingga pernak-perniknya lainnya. "Apa hubungan Pak Haryono dengan Gusti Nurul?" Aku tergelitik bertanya. "Saya juga tidak persis tahu, tampaknya mereka teman akrab" jawab pemandu kami. 

Aku diam sejenak, ketiga putri Jawa yang ditatah khusus dalam Kampung Kambang punya ceritanya sendiri-sendiri. Namun semuanya terasa begitu Jawa. Bahkan dalam tegangan-tegangan yang ada di antara mereka. Entah itu Putri Tineke yang menyimpan, Ratu Mas yang tak terbaca, maupun Gusti Nurul yang pemberontak. Dan ketika sampai di ujung perjalanan ini, aku mulai melihat cara membaca sejarah dengan berbeda. Guwa Sela Giri menyajikan sejarah sebagai rangkaian peristiwa yang terbuka dan terbaca, Kampung Kambang menunjukkan bahwa sejarah adalah cerita yang sangat pribadi dan intim. Apa lagi yang disimpan oleh museum ini. Aku bertanya-tanya. "Mas tutup pintunya!" Jawab salah satu tante. Sumpah, aku yakin dia jatuh cinta kepadaku.

Kami masuk ke ruang berikutnya ruang duduk dengan beberapa buah lemari dan meja. Di depan sudah terhidang dua belas gelas kecil minuman. "Saatnya istirahat tiga menit. Boleh berfoto di ruang ini. Silakan diminum, ini minuman awet muda!" Setelah larut dalam perenungan, kini giliran bertemu keramaian. Tepat! Keramaian para tante yang langsung heboh mendengar minuman awet muda. "Minuman ini diracik secara khusus oleh Ratu Mas dari tujuh bahan rahasia. Dan dipercaya bisa membuat yang meminum awet muda." Seorang tante berteriak, "Mbak masak cuma segelas, apa gak bisa minta dua gelas gitu?" Pemandu kami tersenyum lembut, "Bisa, Mbak! Silakan ke loket, bayar lagi, dan mengikuti tur berikutnya!" Bagus, jawaban tepat! "Mas potoin kami bareng-bareng dong!" Kulayani saja mereka, "Awas perut! Tahan!" Satu dua tiga! Dua buah foto kuambilkan bagi mereka. Aku mengembalikan kamera itu kepada mereka dan menyesap minuman awet mudaku. Hangat dan manis, aku bisa menebak beberapa, pasti daun pandan, jahe, serai, kayu manis, mungkin gula aren, dan entah yang lain. 

Dan setelah waktu yang ditetapkan kami melanjutkan perjalanan. Di sebelah bawah ada beberapa belas anak kecil sedang latihan menari jawa. Sampur mereka kuning dan merah. Guru mereka cantik dan singset. Tapi aku tak bisa berlama-lama, karena mereka bukan bagian koleksi. Kami melewati sebuah taman yang sangat indah. Hijau sepanjang mata. "Bagus buat pre wedding!" Entah Astrid atau Mbak Ari yang mengatakannya. Tidak tertarik!

Kami melewati sebuah koridor berbatas kaca dengan arca-arca yang dijajar, sebagian utuh sebagian sudah hilang bagian-bagiannya. "Yang sudah rompal itu malah yang asli, yang utuh beberapa replika." Kami menuju sebuah balairung besar dengan dua buah penari yang saling berhadapan di masing-masing sudutnya. Di depan kami persis sebuah lukisan berisi empat orang yang duduk sebangku, "Diana!" teriakku. Dan mereka yang bersamaku menyadarinya. "Iya itu Putri Diana dan Pangeran Charles diapit oleh Sultan Hamengkubuwana X dan GKR Hemas. Itu menunjukkan pengakuan dunia pada kerajaan yang ada di Jawa." Tiba-tiba lampu mati. Kami terkejut. Dan ketahuan alasannya, salah seorang tante menutup pintu. "Ini lampunya otomatis, mbak! Kalau pintunya ditutup lampunya mati. Maka dibukalah kembali pintunya. Aku manyun, "Ini masnya tukang jaga pintu." 

Kami melewati sebuah lukisan lain, dan sampai pada sebuah lukisan di ujung. "Ini adalah tari Bedhaya Ketawang. Tarian ini ditarikan oleh sembilan orang perempuan yang masih gadis ting ting." "Bagaimana bisa tahu kalau mereka gadis?" tanyaku. "Ah gak pengalaman nih masnya!" Seorang tante menjawabku sekenanya. Pemandu kami lebih mendengarkanku, "Kalau sekarang sih yang penting belum menikah, Mas!" dia tersenyum, "Tapi dalam tarian ini muncullah si penari kesepuluh, tahu siapa? Tarian ini adalah tarian yang konon diciptakan oleh Panembahan Senapati untuk mengundang kekasih sejatinya." "Nyi Roro Kidul!" Pemandu kami mengangguk. Dan aku melihat lamat-lamat bayangan penari kesepuluh itu di antara kesembilan penari yang lain. Merinding disko!

Lalu kami dibawa ke sudut yang lain, di sebelah Timur dari Balairung itu. "Bok! Itu bule yang kamu taksir tadi!" Kata seorang tante kepada temannya. Sayangnya si bule sudah menggandeng perempuan lain, biasa perempuan Indonesia selera bule, pasti mengerti maksudku. "Ah gak cakep-cakep amat!" yang lain mengutarakan. Daripada sibuk dengan urusan para tante itu aku memandang pakaian pengantin jawa yang ada dalam lukisan itu. "Di Jawa sumping perempuan sebenarnya terbuat dari kulit buah pepaya, itu perlambang bahwa seorang perempuan harus siap menerima pahit getirnya kehidupan. Kalau laki-laki ..." Pemandu kami menunjukkan lukisan di sebelahnya, Sultan HB X bersama GKR Hemas, "... dari logam, itu perpanjangan dari telinga sebagai simbol pemimpin, pengayom yang siap mendengarkan suara rakyatnya." Di depan pakaian pengantin putri yang berdodot ada bunga ceplok piring yang diikat di sebelah perut dan yang lain dijuntaikan, "Itu simbol dari kesuburan dan harapan supaya bisa melahirkan dengan mudah." Solo dan Jogja juga berbeda dalam paesan, Solo akan cenderung hitam pekat, atau hijau; sedangkan Jogja akan bergaris emas. Warna dan motif jarit juga berbicara dan sebuah doa. Mbak Ari bergumam, "Kalau tahu begini, aku merasa sangat dihormati dan didoakan oleh pakaian pengantinku dulu." "Dibaleni maneha?" Tanyaku. "Sudah cukup sekali." Jawabnya. Kami tertawa. Kami masuk lagi dalam koridor kaca seperti yang semula, kali ini menuju sebuah ruang terbuka dengan papan batu berelief dewa-dewi yang dipasang miring. Para tante tentu tidak melewatkan kesempatan berfoto di sana. kami juga. 

Pemandu membawa kami ke ruang berikutnya. Sial! Sudah selesai! Dia menunjukkan sebuah kafe dan toko cinderamata dan batik di sana. Sadar bahwa itu bukan kelas kami, kami bertahan saja di luaran sambil menikmati beberapa instalasi patung dan kolam teratai. "Tiga puluh ribu terlalu murah untuk semua ini!" Mbak Ari mengatakan hal yang membuat kami semua mengangguk-angguk. "Harusnya aku ke sini sama anakku dan suamiku, Andit itu sukanya ke Museum loh, Om!" Katanya padaku. "Syukurlah!" "Nanti kalau wisuda Mbak Ari, aku diajak." Ucap Astrid. Tawaran tepat ujar Mbak Ari.

Kami keluar dan beruntung melihat di belakang kami Merapi menjulang tanpa tertutup awan sedikit pun. "Alam pun menyambut kita!" Ucap Mbak Ari. Ketika giliranku berfoto, tante-tante tadi keluar dari kawan museum, "Ya ampun habis lihat raja-raja sekarang lihat monyet!" ucap mereka tertawa-tawa. "Aku suka dengan mereka!" kataku memandang mereka yang berjalan menjauh. Kami turun, dan setelah sampai di depan museum lagi kami melihat Merapi tiba-tiba tertutup awan dan tak lagi nampak, apa-apaan ini. Tuhan! Kamu lagi main-main kan? Ini liburan paling istimewa yang tidak pernag kuduga. Ah Tuhan, hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang-Mu, sekarang mataku sendiri memandangmu. Aku menyesal, aku duduk di atas debu dan abu. Aku minta maaf telah memarah-marahiMu sebelum keberangkatan ini.

Di depan museum kami sempat berfoto-foto sebentar. Tapi aku masih punya pertarungan yang belum dituntaskan, dengan mbak penjaga tiket yang ketus. Maka aku datang kepadanya, "Mbak Ullen Sentalu singkatannya apa?" Kali ini dia tersenyum hampir tertawa, "Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku." Cukup senyummu merekonsiliasi hubungan kita. 

***

Kami mampir di rumah makan Pak Min tidak jauh dari situ. "Mana mungkin dengan melihat itu semua orang bisa ngomong bahwa orang jawa itu tidak egaliter, tidak feminis. Lihat saja peranan perempuan di sana." Aku mengudal rasaku. "Iya lihat saja dalam pembagian kerja di sawah, laki-laki mencangkul, perempuan mencabuti rumput dan menanam. Tapi ketika panen semua ikut, tidak ada laki-laki perempuan." Jawab Mbak Ari. "Gila ya! Kenapa banyak orang Jawa gak cinta Jawanya! Padahal aku saja begitu terpesona dengan kejawaan ini." Ujar Astrid. "Tapi mungkin saja itu hanya berlaku untuk para permaisuri, gimana dengan para selir. Ah tetap saja ada bolongnya di sana. Pemberontakan Gusti Nurul pun terjadi karena dia diterima walaupun memberontak. Dan aku gak bohong bahwa dia diuntungkan karena kecantikannya." Aku melanjutkan. "Menurutku dia itu perempuan yang tahu bahwa dirinya cantik, dia tidak perlu lagi berusaha menjadi cantik. Yang terpenting dia tidak mengambil keuntungan dari kecantikannya." Jawab Mbak Ari. Aku rasa benar. 

Cerita memang selalu bisa dibaca dalam berbagai rupa cara. Seperti liburanku ini. Kalau dari daftar tempat yang hendak kukunjungi, jelas aku tidak mencapai sasaran. Tapi aku mendapatkan lebih baik dari itu. Mbak Ari membayar makanan, kami kembali melanjutkan jalan pulang.

Entah kenapa sepanjang perjalanan pulang aku ingat peristiwa di Bilik Syair Untuk Tineke itu. "Dik! Sini!" Aku ingat Mbak Ari menunjukkanku sebuah puisi, dan merapalnya seperti mantra. Dan kali ini aku seperti merasakan ada yang aneh, dan tiba-tiba aku ingat apa yang dirapalkannya itu. Perasaan dongkol di perut itu sepertinya bahwa petilan puisi itu akan menjelma sesuatu yang punya arti besar bagi perjalananku ini. Mbak Ari membacakan petilan surat itu.

Gelarlah selimut cinta
di atas dosa dan kekurangan orang lain
Itulah kebahagiaan

Kepalaku berdenyutan. Hujan merintik. "Yub, kita ke tempat Erni!"
Tags : ,

No comments:

Post a Comment