Whatever you want...

Saturday, March 5, 2016

Maya: Review Novel Ayu Utami - Bukan Kesimpulan tetapi Menghidupi Perjalanan

| No comment
Sampai hari ini, Ayu Utami belum pernah mengecewakanku. Sebagai anak buku ketiga dari sang babon Bilangan Fu, Maya masih menyelaraskan diri dengan sang buku induk. Rasa, nuansa, dan pesan yang dibawanya masih tidak jauh-jauh dari yang pola pendahulunya. Ayu masih menjadi penulis perempuan paling kusukai saat ini. Bahkan aku berani bilang, dia kukuh menjaga kualitasnya.

Buku ini mencoba menyembuhkan luka atas rindu pada Saman, paska Larung. Memang potensi cheesy bisa saja muncul dengan pilihan yang terkesan populer dan gampangan ini. Tapi nyatanya kehadiran Yasmin di dalam buku ini, bukan semata-mata sebagai lambang kehadiran ecek-ecek. Memang bahwa Yasmin dan Saman bisa digantikan oleh tokoh yang sama sekali baru, andaikata nama mereka diganti menjadi Rani dan Rano pun tidak berdampak besar pada cerita. Tapi pada akhir cerita ketika sang maya mengungkapkan wujudnya, takdir Yasmin yang pada dasarnya juga tak lebih dan tak kurang dari maya itu tidak bisa dianggap pilihan sepele. Kita tak bisa membungkam, bahwa pahit dan manis itu dalam bayang-bayang semu itu diam-diam melahirkan seorang Samantha.

Berangkat dari sebuah surat dan berujung pada sebuah batu. Verbal yang kemudian menjelma concise, namun pada saat yang sama yang verbal itu digantungi tanda tanya, sedang yang concise justru retoris. Lagi-lagi maya. Tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa yang dimunculkan dalam novel ini pun mengandung mayanya sendiri: tokoh-tokoh dengan tinggi badan tidak genap, ibu yang putih tanpa suara, wayang manusia, Lara Jonggrang, termasuk batu supersemar yang bergerak di pasaran diam-diam.

Sejarah dan spiritualitas kritis telah menjadi pilihan Ayu dalam menggarap seri Bilangan Fu. Dan nuansa keduanya dibalut dalam diksi yang 'itulah Ayu'. Maka Maya pun tidak lepas dari jerat tema sang parasit yang tak lagi melajang itu. Orde Baru masih menjadi garapan Ayu yang mengajak pembaca lagi-lagi untuk tidak gampang terpesona oleh lupa. Bersama dengan itu, kelupaan dijajarkan dengan ketidaktahuan, dan keduanya tak sama, tidak pernah sama. Ketika Maya akhirnya menemukan dunia luar, perjumpaannya pada mimpi yang yang disangkakannya indah dibenturkan sekeras-kerasnya pada kenyataan. Kepercayaannya pada si Tuyul jahanam tidak membuatnya lantas memilih untuk begitu saja meninggalkan dan lalu menjadikan novel ini hitam dan putih. Tokoh Yasmin yang diidolakannya sekaligus sedemikian dibencinya. Sejarah yang diungkap dalam arca Durga sang Lara Jonggrang menyentak namun juga menenangkan pada akhirnya. Sedemikian juga tentang kepentingan batu Supersemar yang lamat-lamat mengungkapkan keyakinan purba di tengah realitas politik nasional. Bahkan Parangjati sekalipun tidak luput, sang pemuda indah itu ikut dipermainkan oleh ketidaktahuan. Akhirnya maya harus bertemu nyata untuk menjadi lengkap, namun bukan seperti ketidaktahuan yang akhirnya harus menuju pada ke-mengetahui-an, Maya tak harus menjelnya Nyata. Maya adalah dalam dirinya sendiri sempurna berdampingan dengan nyata.

Sedemikiankah sempurna? Mungkin juga tidak. Dua ratusan halaman memang tidak bisa mengungkap detail dan pencarian selengkap Bilangan Fu yang gempita. Maya adalah sebuah novel yang menyorot satu sisi penting, jangan lupa dan bernostalgia dengan romansa. Tapi hadapilah. Namun nyatanya dalam periode hari ini ketika Orde Baru tak lagi menjadi tema besar (tanpa sedang mengatakan bahwa perannya sama sekali hilang), sebagaimana batu Supersemar (yang kemudian menjadi jalan kita mengintip Freeport dan CIA) adalah pesan yang agak antik. Artinya bahwa, Maya tetap berbunyi, tapi tidak akan menyentak seperti Saman. Pesannya sudah lewat.

Gaya Ayu dengan ending yang legawa, menentramkan. Ini kekuatan, namun juga pada akhirnya seperti mengatakan bahwa, "Baiklah, Ayu! Tak ingin kembali menampar orang-orang lagi kah? Kisah Durga dan Lara Jonggrang sebagaimana Lalita sudah terbuka jembar sekarang. Batu Supersemar sudah tidak bertenaga dewa hari ini." Artinya bahwa momentum buku ini sudah lewat. Tapi bukan berarti jelek. Rasanya seperti menonton Film Doubt si Meryl Streep, momentumnya sudah lewat, tapi bukan berarti buruk. Walaupun toh LGBT di Indonesia sedang digunakan sebagai kelambu untuk menutupi isu politik dan radikalisme yang sedang di(lawan)operasikan polisi sekarang. Jadi buku ini pun sebenarnya mengajak kita bernostalgia. Berbeda dengan Bilangan Fu yang muncul di tengah kelompok radikal atas nama agama yang membuatnya tetap relevan.

Tapi lagi-lagi buku Ayu Utami memang bukan untuk dibaca sebagai kesimpulan. Novel-novel Ayu selalu tentang proses dan menghidupinya agar tak jatuh di jurang yang sama. Dan untuk itu Maya berhasil meringkus dengan cermat.
Tags :

No comments:

Post a Comment