Whatever you want...

Thursday, February 2, 2017

RAPUH: Tentang Kejahatan dan Kebaikan, Terutama Cinta dan Melepaskan (Surat untuk Sahabat)

| No comment
D yang terkasih,

Di hadapan keluarga yang sedang berduka karena kematian ibu mereka, seorang pendeta mengungkapkan sesuatu yang menenangkan, “Hari ini Ibu telah bersama Bapa di Sorga, dia pulang ke negeri kekal. Negeri di mana mentari bersinar sejuk dan padang rumput sepanjang hamparan mata, Bunga-bunga merah, ungu, hijau, kuning, oranye, biru, putih, coklat bersemi sepanjang hari. Kecil dan besar. Air bergemericik, bening seperti kaca. Di sana kita mendengar suara tonggeret mengerik sepanjang pagi, burung berkicau sepanjang siang, dan jengkerik menjelang gelap. Kunang-kunang berpendar hijau kekuningan, terbang di sepanjang sulur-sulur markisa dan sirih merah. Jambu, rambutan, kelengkeng bersemi di tengah kembang pacar dan bunga pukul empat.” Maka aku berpikir, betapa rapuhnya kehidupan ini.

Sebuah syair lagu yang biasa dinyanyikan ketika kepergian seorang terkasih, “Tiap hari Tuhan besertaku/ diberi rahmatNya tiap jam/ diangkatNya bila aku jatuh/ dihalauNya musuhku kejam/ Yang namanya Raja Maha Kuasa/ Bapa yang kekal dan abadi/ Mengimbangi suka duka dan menghibur yang sedih ... Suka dan derita bergantian memperkuat imanku” Maka aku semakin yakin, betapa rapuhnya kehidupan.

Cinta membuat kita kuat. Seorang bapak mengatakan kepada anak perempuannya, “Besok ayah belikan. Yang roda belakangnya bisa dilepas dan dipasang. Yang warnanya biru. Nanti bisa kamu naiki ke sekolah.” Seorang ibu memandang anaknya di rumah mereka yang tak lebih dari sebuah petak kecil, lalu berbisik kepada suminya, “Ayo nabung, Pak. Kasihan nanti kalau dia sudah besar. Teman-temannya datang ke sini, belajar kelompok. Lalu dia malu tinggal di rumah seperti ini.” Mereka mencintai, tersenyum, dan berbahagia menyaksikan orang yang mereka cintai tersenyum. Bahagia.

Namun cinta juga membuat kita lemah. Seorang nenek memandang cucu laki-lakinya yang terbaring karena tumor di otaknya. Lalu berbisik dalam hatinya, “Tidak apa-apa! Aku tahu iini dilarang oleh gereja. Tidak seperti yag Tuhan kehendaki. Tapi cucuku akan sembuh. Mereka akan memasukkan penyakit cucuku ke dalam telur. Dan segala penderitaannya akan lenyap.” Seorang perempuan mengiris lengannya, karena suaminya mencintai perempuan lain. Namun upaya itu gagal, lalu dia mengurung dirinya di kamar, tak hendak makan atau keluar. Atau seorang pria yang pernah ditolak ketika dia sudah begitu yakin bahwa gadis itu yang akan menemani hidupnya. Dia lalu sungguh-sungguh memperhatikan penampilannya. Dia berjuang keras menjadi kaya dan terpandang. Dan setelahnya dia menjadi begitu pemilih. Dia menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk orang yang bersamanya. Begitu bertemu dengan yang demikian, dia meninggalkan juga gadis itu. Seorang teman berkata kepadanya, “Karena kamu pernah ditolak, tidak berarti kamu berhak menyakiti orang lain. Kamu dulu seorang korban, dan sekarang kamu mengorbankan. Kamu belum selesai mencintainya, bahkan sampai hari ini.”

D, mengapa cinta bisa yang sama bisa begitu menguatkan, namun juga begitu menjadikan lemah? Sedemikian rapuhkan kehidupan, hingga kita perlu menceritakan kebahagiaan di tengah duka cita?

D yang terkasih,

Ada sebuah cerita tentang seorang petani yang pemalas namun begitu ambisius. Dia begitu ingin menjadi kaya dan berhasil. Istrinya setiap hari bekerja, namun dia tak mau beranjak dari layang-layangnya. Suatu hari dia bertemu dengan hantu pohon bambu. Dan hantu itu menawarkan padanya kekayaan yang tidak habis-habis. Syaratnya dia harus membunuh istrinya. Maka dia pun pulang, dan ketika istrinya tidur, lehernya dipotong dengan parang. Perempuan itu sembat bergelenjat tidak karuan sebelum ajal benar-benar menjemputnya. Sebelum pagi sempat terbit, dia menguburkan mayat istrinya di bawah rerimbunan bambu. Paginya dia tersedu. Tetangganya bertanya, “Ada apa?” Dan dia menjawab, “Istriku kabur dibawa pria lain.” Orang-orang desa itu kasihan kepadanya. Satu per satu ganti menghiburnya. Hantu pohon bambu itu tersenyum, dan setiap bulan, tumbuh tunas baru dari bekas kuburan istrinya. Dia memotong tunas itu, dan membuat layang-layang darinya. Beraneka warna, beraneka rupa. Orang-orang dari penjuru negeri akhirnya mengenal layang-layangnya, dia menjadi begitu terkenal. Layang-layangnya bahkan dijual sampai ke seberang pulau. Dia benar-benar menjadi kaya. Dia akhirnya punya banyak sekali pekerja. Dan begitu murah hati kepada para pekerjanya, yang dulu adalam pengangguran pemalas sepertinya. Orang-orang mengenalnya sebagai seorang bos layang-layang dan duda. Dia lalu menikahi seorang perempuan lain, dan mereka memiliki tiga orang anak. Mereka hidup bahagia sampai ajal menjemput mereka kembali. Dan kau bertanya, bukankah itu tidak adil. Dia pembunuh, tapi mengapa dia hidup bahagia dan dicintai? Entahlah, mungkin demikianlah kehidupan. Begitu rapuh.

Atau kisah seorang pangeran yang matanya bisa mengalirkan sungai. DI sebuah negeri nan jauh, terdapatlah sebuah kerajaan yang diserang kekeringan panjang. Begitu panjang, sampai pepohonan mati dan kulit penduduk desa itu bersisik karena saking keringnya. Sang pangeran melihat keadaan negerinya dan menangis. Tidak disangkanya, air matanya membeludak, mengalir seperti sungai dan membentuk danau di alun-alun kota. Dan sepanjang aliran air matanya, tumbuh tunas-tunas muda. Penduduk negeri begitu terkejut sekaligus terpesona. Sang pangeran pun menjadi begitu bahagia. Dia pun berhenti menangis. Hanya sebulan saja, air itu pun menjadi kering kembali. Orang-orang itu melihat kepada sang pangeran, tapi dia tidak lagi bisa menangis. Pada bulan berikutnya orang-orang bergantian bercerita sedih, sang pangeran menangis, dan kembali terbentuk danau di alun-alun. Penduduk bisa kembali hidup. Namun hanya sebulan saja, pangeran menjadi kebas dengan dengan cerita sedih, cerita paling memilukan pun tak membuatnya meneteskan air mata. Akhirnya penduduk desa membunuh adik perempuan sang pangeran. Sang pangeran menangis menjadi-jadi, dan danau itu kembali penuh. Lalu bergantian, adik laki-lakinya, lalu kakeknya, neneknya, istrinya, anaknya, bapaknya, ibunya, semuanya dibunuh. Dan penduduk desa itu memiliki persediaan air yang lebih dari cukup untuk mereka hidup ratusan tahun.

Kau mengatakan mengapa harus ada korban untuk sebuah kebaikan. Mengapa harus patah hati untuk bisa melanjutkan kehidupan. Mengapa menjadi begitu pahit padahal memiliki segalanya. Mengapa kebaikan dan kejahatan harus berkelindan dengan begitu mesra. Aku tidak tahu. Tapi demikianlah yang terjadi.

D yang terkasih,

Mengapa kehidupan begitu rapuh? Sedemikian rapuh hingga kita membutuhkan janji sorgawi atas kematian. Begitu rapuh hingga kita tidak rela kejahatan dan kebaikan sesungguhnya begitu melekat.

Atau jangan-jangan bukan kehidupan, tetapi kitalah yang begitu rapuh, hingga kita membutuhkan karma, hingga kita membutuhkan iman, hingga kita membutuhkan harapan, dan cinta. Karena melepaskan memang tidak pernah mudah. Melapaskan berarti membiarkan diri kita tidak berdaya. Namun kita tak rela menjadi tak berdaya, karenanya jika terlalu berat untuk melepaskan, kita memilih untuk terus menggenggam. Cinta pun menggenggam, karenanya dia menguatkan. Cinta menggenggam, karenanya dia begitu melemahkan. Dan ketika kita begitu kuat menggenggam, semakin kuat kita kehilangan. "Jangan pergi, aku membutuhkanmu." Cinta konon akan begitu. Cinta yang rapuh. Cinta diri.

Lebih mendasar dari mencintai adalah melepaskan. Karena dengan melepaskan saja, cinta menjadi tidak bersyarat, karma menjadi tidak menghukum, iman menjadi bernilai, dan harapan menjadi tidak egois. Hanya dengan melepaskan, kita menghargai arti memeluk.

Dalam pesta pemakaman itu, setelah sang pendeta menyampaikan penghiburannya. Anak-anak bergantian memeluk dan mencium ibu mereka sebelum peti ditutup. Mereka semua bersedih karena cianta mereka begitu kuat. Dan sang pendeta mengatakan, “Saatnya kita melepaskan.” Dan pintu peti pun ditutup.

Gide
Tags :

No comments:

Post a Comment