Bu Sisca jelas bukan Merlyn, walaupun mereka sama-sama transgender. Dewan Pembinaan Peranan Wanita (DPPW) di GKJW dalam tiga tahun terakhir ini mengangkat isu kesetaraan pria, wanita, dan transgender.
DPPW DAN KESETARAAN
Bu Denise mati-matian berjuang supaya kata wanita tidak diganti menjadi perempuan dalam Tata Pranata GKJW, sebagaimana bahasa Indonesia memberikan konotasi yang konon katanya lebih baik pada pilihan kata perempuan, dengan alasan yang cukup panjang. Salah satu yang terkuat adalah bahwa justru dalam kata wanita itu sendiri terkandung makna kultural yang mengikatkan perempuan dengan laki-laki. Dharma Wanita misalnya adalah hal yang selalu oleh para feminis dianggap sebagai perendahan kepada perempuan, karena meletakkan perempuan seolah sebagai subordinat dari laki-laki, karena Dharma Wanita adalah himpunan para istri. Tapi bagi Bu Denise, yang alasannya bagiku cukup bisa kuterima, justru menganggap bahwa posisi perempuan itu tidak pernah menjadi lebih rendah dari laki-laki dalam kata wanita. Di sana justru konotasi berdampingan ada, tidak berdiri sendiri. Karena kalau ada perempuan pasti ada laki-laki, demikian sebaliknya. Itu tidak bisa dinafikan. Pengalaman empiris atas peran Darma Wanita itu yang kadang terkesan seolah merendahkan perempuan, padahal pada dirinya sendiri Dharma Wanita adalah sesuatu yang sangat positif. Selain itu alasannya adalah dalam kata wanita terkandung kedewasaan. Karena seorang gadis kecil mungkin akan disebut perempuan, tetapi tidak akan disebut wanita. Wanita itu matang. Wanita secara kultural adalah tingkatan kedewaan yang lebih daripada perempuan yang jauh lebih menyebar. Baiklah tidak usah memperdebatkan wanita atau perempuan di sini, aku akan menggunakannya secara bergantian untuk menunjuk pada posisi yang sama.
Kesetaraan pria dan wanita adalah hal yang sudah bertahun-tahun diperjuangkan di GKJW. Namun pembicaraan tentang transgender bisa dibilang sebagai langkah baru yang luar biasa dari DPPW. Ketika wacana teologis yang lain terkesan masih sangat memuja maskulinitas, DPPW berani mengangkat tema yang secara kegerejaan masih dianggap cukup tabu, walaupun dalam wacana humaniora, secara khusus feminisme, hal ini sudah dilirik lama. Tampaknya teologi dan gereja juga yang pada masa tertentu berdasarkan tafsir yang tidak berimbang atas bagian alkitab tertentu, selama ini turut (jika bukan malah sumber utama) menyebabkan konotasi negatif itu masih menjadi kuat. Gereja berhutang kepada mereka, dan DPPW secara berani mengambil cara mereka untuk membayar hutang sejarah itu. Kalau mengatakan tentang kesetaraan, apalagi ketika sekarang wacana kesetaraan di GKJW bukan sekadar pada sesama manusia, tetapi pada sesama ciptaan, maka transgender adalah kelompok yang tidak boleh ditinggal. Bravo untuk keberanian DPPW!
Tahun demi tahun aku merasa wacana yang dikembangkan oleh DPPW GKJW lebih berani kontekstual. Tentu pandangan ini sama sekali subyektif. Selain alasan penghargaanku kepada tim DPPW, tapi perempuan (femininitas) pada umumnya memang punya bahasa yang sangat indah, yang selama ini terbungkam oleh bahasa maskulin yang kaku dan eksak. Namun bersama dengan diskusi itu sebenarnya diskusi lain di tim Revisi Tata Pranata GKJW memang mulai berani berjuang untuk kesetaraan ini menuju level yang lebih kekinian. Tidak salah kalau aku bangga menjadi bagian dari GKJW.
Tapi tentu tidak semua unsur GKJW sedemikian positif dalam kenyataan keseharian. Usulan harus ada unsur laki-laki di DPPW untuk menyeimbangkan wacana adalah hal yang baik. Tapi kemudian beberapa anggota DPPW seperti Mbak Nicky, Bu Denise, Bu Retno, dan Bu Indri yang cantik jelita menyatakan bahwa masuknya unsur laki-laki di DPPW kadang menjadi buah simalakama bagi sang laki-laki sendiri. Karena tidak jarang lalu laki-laki yang masuk ke sana dianggap sebagai banci dan lain sebagainya. Sampai Mas Totok mati-matian ingin menjadi anggota DPPW untuk mematahkan mitos sesat yang disebarkan dengan tidak sopan itu.
Tahun depan dalam konsep buku pembinaan mereka, Suluh, mereka akan mengangkat spiritualitas perempuan GKJW. Buku itu membahas dari kesehatan tubuh perempuan sampai sumber energi dan bencana alam. Tema yang mereka angkat benar-benar kaya. Dan ketika Bu Retno memintaku memilih dari beberapa tema yang belum dipilih aku dengan bersemangat memilih tema seksualitas dan kekerasan seksual. Bu Retno bertanya kenapa, dan aku menjawab ringan, "Aku korban, sedikit banyak aku tahu rasanya." Dan Bu Sisca salah satu warga jemaat Tunglur yang transgender diminta untuk menulis tentang transgender. Tapi Bu Sisca adalah pribadi yang luar biasa sibuk dan tidak biasa dengan dokumentasi tertulis, maka aku yang akan menuliskan bagian itu dari hasil sharing beliau. Bu Retno setuju.
BU SISCA
Hari ini dia bercerita kepadaku selama beberapa jam tentang kisah hidupnya dan aku tersentak oleh beberapa ceritanya. Beberapa sudah sering kudengar, beberapa yang lain nyata-nyata membuatku terkejut. Aku berani mengatakan bahwa beliau adalah tokoh transgender GKJW. Dengan rendah hati dia bercerita kepadaku bahwa untuk teori yang pintar-pintar a la para ahli dia sama sekali tidak menguasai, tapi dia punya cerita. Itu dia! "Itu yang kami butuhkan, Bu! Kami tidak mau menyusun teori kosong sok pintar, kami membutukan pengalaman real panjenengan." Dan aku menceritakan betapa aku bangga bisa mengenalnya. Dia sungguh sosok yang sederhana dan sangat rendah hati, dengan mengatakan, "Jangan begitu, Pak! Saya hanya bisanya ini."
Lahir dengan nama Darmin, keenam dari tujuh bersaudara ini sering sakit-sakitan sejak kecil. Maka orang tuanya mengganti nama pribadi kelahiran Puhrejo Jatiwrining itu dengan Doko. Do adalah huruf keenam dalam aksara jawa, dan Ko adalah huruf kelima. Jumlahnya sebelas, sama dengan wetonnya Selasa Kliwon, angkanya sebelas. Alasan orang tuanya, "Ben kowe diwelasi karo wong." Aku bertanya tanggal lahirnya, dia tidak tahu tanggal lahirnya, ijazah sekolah rakyatnya di Jatiwringin menyebutkan tanggalnya 22 April 1951, didasarkan dari dokumen gereja dalam Surat Baptisnya. Tapi karena SK Guru menuliskan tanggal 22 April 1953 maka dia mengikuti Ujian Persamaan untuk menyamakan tanggal lahirnya menjadi tanggal 22 April 1953. Dia mengikuti Upers (Ujian Persamaan) gara-gara ijazah SD, SMPnya hilang. Bapaknya memasukkan ijazah itu ke bumbung bambu yang lalu hilang entah di mana. Maka untuk mendapatkan ijazah lagi, dia mengikuti Ujian Persamaan itu. Cukup panjang ceritanya tentang tanggal itu. Aku tertawa sepanjang dia bercerita, dari sana saja sudah menarik.
Masa kecilnya dihabiskan di Jatiwringin. Ketika anak-anak laki-laki lain senang bermain cengkrong atau uncal, dia lebih senang bermain bekel. "Kula menawi disuruh cengkrong babar blas boten saged, tapi kalau bekel kula selalu menang." Ujarnya sambil tertawa. Cengkrong adalah permainan anak ngarit. Mereka akan melemparkan sebatang pendek kayu dengan cara dijentikkan, kayu siapa yang lebih dekat dengan tiang sasaran, maka sang pemenang boleh mengambil rumput yang di-rit temannya. Dia tidak merasa ada yang aneh pada dirinya waktu itu, walaupun dia juga lebih suka membantu ibunya nyugokke geni (memasukkan kayu ke tungku api) di dapur, daripada mencangkul seperti saudara-saudaranya yang laki-laki. Bapaknya sampai mengatakan, "Kowe iki nek ora kerja kantoran, ora isa apa-apa piye mengko. Kerja abot kowe ra isa, nang sawah yo ora isa." Maka sang bapak yang begitu mengasihinya itu menyekolahkan dia setinggi-tingginya yang mungkin waktu itu. Dari seluruh pemuda di desanya, dia satu-satunya yang bersekolah tinggi. Bukan hanya itu dia juga peraih piala Bintang Pelajar yang waktu itu adalah sebuah tanda prestisius untuk anak berprestasi.
Sejak SMP dia dipanggil oleh salah seorang temannya "Dok! Wedok!" dan tidak pernah marah. Itu malah membuatnya merasa senang. Sang pemanggil itu sering mengajaknya bertanding ping pong sampai bulu tangkis, pemenangnya akan mendapatkan kok. Dan Doko selalu berhasil memenangkan permainan, "Waktu itu kalau main badminton, kami harus membayar untuk koknya. Kula tidak pernah bayar, lah wong menang terus kok." Dia tertawa. Dia juga jago menari sejak kecil, dia dibawa oleh seorang panjak untuk menari Bondan ke mana pun kelompok seni itu berkeliling. Sampai akhirnya sang pemanggil "Dok! Wedok!" itu melarangnya. Dia baru tahu alasannya, ternyata sang pemanggil itu tidak rela kalau Doko menari di mana-mana ditonton banyak orang dengan pakaian perempuan seperti itu. Bukan karena apa-apa, tapi karena dia ingin memiliki Doko seorang diri. Dialah pria pertama yang mencintai Doko dan dicintainya juga. Pria itu akhirnya memilih untuk menikah. Namun hubungan mereka tetap dekat. Doko pun kenal dengan istri sang pria dengan sangat baik. Aku tidak seharusnya menyebarkan nama sang pemanggil, maka aku menyebutnya A di sini.
Ketika A menikah, Doko memilih untuk dekat dengan seorang pria lain, anak seorang haji yang sembunyi-sembunyi mengatakan kepadanya bahwa dia sudah menyukai Doko sejak pertama kali melihatnya menari. Aku tidak menyangka bahwa pada masa itu, di Jawa yang budaya masyarakat akar rumputnya sangat anti transgender dan homoseksualitas, ternyata cerita semacam ini bertebaran di mana-mana. Tapi Jawa menurutku memang anomali sendiri. Seorang raja Jawa harus sepandai dia berperang, dia juga harus pandai menari. Sisi maskulin dan feminin di Jawa berpadu dengan sangat harmonis. Oleh karenanya kesenian semacam ludruk, yang hampir semua pemain perempuannya dimainkan laki-laki, adalah kesenian rakyat yang sangat terkenal di Jawa. Dan tidak jarang para pria yang memainkan perempuan ini menjadi bintang sendiri. Doko salah satunya. Sejak saat itu namanya dikenal bukan Doko, tetapi Sisca.
Namun demi kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan masa depan, Sisca muda sadar tidak mungkin hanya menggantungkan dirinya pada kesenian yang ditekuninya. Maka dia pun melamar menjadi guru. Dia diterima dengan hasil ujian yang sangat baik. Maka cerita yang umum terdengar dan sering menjadi bahan guyonan itu malambung, ketika siang dia akan menjadi Pak Guru Doko, dan ketika malam dia menjadi Sisca yang bergabung dengan kelompok seninya untuk menari remong, bondan, gambyong, sampai bermain ludruk, atau menyinden. "Sampai sekarang kula tasik disuwun nyinden, lo Pak Pendeta!" Wow!
Di dunia guru itu dia menemukan kesukaannya kepada dunia mengajar, dasar dia memang seorang yang pandai. Dia tidak hanya menjadi guru kelas, tetapi dia juga diminta oleh banyak TK, SD, SMP (kebanyakan SMP katanya), dan beberapa SMA melatih tari. Dia juga yang sering menjadi perwakilan dinas untuk mewakili kabupaten menari pada acara-acara besar di kabupaten. Namun selain kesenangan itu dia pun mulai merasakan krisis identitas pertamanya. Dia yang selama ini merasa bahwa dirinya baik-baik saja, mulai mendapatkan larangan. Dia dilarang pergi ke sekolah memakai rok. Dan dia merasa bahwa orang-orang itu ada benarnya menurutnya, mengapa dia yang lahir laki-laki justru berjiwa perempuan.
Krisis itu tidak dihadapinya dengan mudah. Di dunia barunya itu dia mulai mendapatkan tekanan di sana sini. Selain itu yang terberat adalah perasaan bersalah yang semakin lama semakin menumpuk dengan bertubi-tubi. "Kula sakit! Itu yang kula rasakan pada waktu itu. Dan kula harus sembuh!" Maka segala cara diupayakan. Seorang kawan mengatakan bahwa ada seorang bernama Kartono di Dander, Bojonegoro yang ahli mengobati segala penyakit. Bahkan Sang Kartono ini bisa mengajarkan orang untuk memasukkan pedang ke dalam mulut tanpa terluka sampai cara memasukkan uang ke dalam buah pepaya yang masih utuh di pohohnnya. Dia tidak butuh itu semua, dia hanya ingin diobati supaya sembuh. Dia ijin kepada kepala sekolahnya dengan alasan ada acara keluarga. dia pergi ke Bojonegoro. Bertemu dengan Kartono dia menceritakan semuanya. Kartono pun mengeluarkan keahlian supranaturalnya, menghipnotisnya. Tapi ternyata seharian di tempat itu tidak membuatnya semakin sehat, dia tetap merasa bahwa dia lebih menyukai laki-laki daripada perempuan. Dan di dalam dirinya dia tidak bisa membohongi bahwa dirinya perempuan.
Demi kesembuhan ini dia pun pergi ke Penyembuhan Internasional yang ada di Malang atas usul temannya seorang dari Gereja Pantekosta. Penyembuhan Internasional ini adalah tim ibadat KKR Kesembuhan dari Australia. Dalam KKR itu dia berdoa terus dalam hati supaya dia bisa bisa menjadi laki-laki sejati yang bisa mencintai perempuan. Bersama dengan puluhan orang lain yang sakit lumpuh, difabel, dan sakit macam-macam dipanggil ke depan. Pulang dari KKR itu ternyata dia tidak mengalami perubahan apa pun.
Akhirnya dia kembali bertemu dengan A dan istirnya. Dia bercerita kepada A dan istrinya bahwa dia ingin sembuh, bisa menjadi lelaki sejati. Istrinya si A lalu melihatnya dengan mata memicing, mengangguk-anggukkan kepalanya, dan mendekatinya. "Kamu ini kerasukan roh feminim!" Dia pun bertanya bagaimana cara menghilangkan 'roh feminim' itu. Dan istrinya A lalu memegang kepalanya dan menggosok-gosok rambutnya sambil membacakan mantra dan doa-doa, "Rambut saya diulet-ulet! Sirah ini dijompa-jampi." "Gimana hasilnya, Bu?" "Mboten ngefek!" Dan kami tertawa berdua. Bu Sisca lantas mendapatkan masukan dari istrinya si A, bahwa di Solo ada pertapa dari Yunani, mungkin pertapa dari Yunani itu bisa mengobatinya. Maka atas saran istrinya si A itu, dia berangkat ke Solo. Di sana dia bertemu dengan sang pertapa. Sang pertapa berbicara bahasa asing, tetapi ada penerjemah di sana. Dia menceritakan apa yang dialaminya, dan sang pertapa mengatakan kepada saya, "Itu tidak bisa disembuhkan. Bapak sama seperti saya." Bu Sisca tertawa keras, "Tibane kok podho!" Tapi pertapa itu memberikan masukan kepadanya, supaya dia melakukan hal yang sama seperti sang pertapa, bekerja di ladang Tuhan.
Segala cara yang aneh dan macam-macam ditempuhnya, tak ada yang berhasil. Dia bahkan sampai menjual sapi untuk biaya riwa-riwi ke mana-mana demi mendapatkan kesembuhannya. Sampai akhirnya dia pun memilih cara medis. Dia berangkat ke Rumah Sakit Baptis Kediri. Dia minta bertemu dengan dokter yang paling bagus. Kebetulan pada masa itu masih banyak dokter asing di RS Baptis. Dia bertemu dengan dr. Duvall dan menceritakan bahwa dia laki-laki tetapi perasaannya perempuan. Dia ingin bisa disembuhkan secara medis, segala cara sudah dilakukannya tidak ada yang berhasil. Sang dokter mengatakan kepadanya bahwa apa yang dialaminya bukan penyakit. Itu tidak bisa disembuhkan. Medis kedokteran tidak punya obat untuk yang disebutnya dengan sakit itu. Jika ada yang bisa mengubahnya itu hanya keajaiban Tuhan.
Dia pun mulai menerima dirinya. "Kula kan suka kewanitaan, Pak Pendeta! Kebetulan di Jombang waktu itu ada sekolah atau kursus untuk rias Solo Basahan dan Solo Putri. Saya pun mendaftar." Di sana dia pertama kali belajar merias, pada tahun 1990an. Dia mendapatkan sertifikat dengan nilai yang memuaskan. Dia pun mengikuti ujian negara, ujian praktik dan ujian tulis, keduanya meluluskan dia dengan nilai yang sangat bagus. Banyak perias yang belajar rias dengan cara mengikuti perias yang sudah terkenal lalu meniru di sini situ, tetapi Bu Sisca memilih cara yang bisa memberikan dia pendidikan yang lebih formal. "Kula kan kepingin tahu bukan cuma caranya tetapi juga kok ini seperti ini, bagaimana sejarahnya, asal usulnya. Kalau ikut orang kula tidak dapat itu, hanya dapat caranya, kalau di sana kula diajar, bukunya sangat banyak." Dia pun mengikuti seminar-seminar lain tentang pengantin gaya Eropa, gaya Muslim, sampai hias mobil pengantin. "Semua dapat sertifikat, Pak. Tapi tidak tahu di mana sekarang, kalau dicari ya pasti masih ada." "Ah jenengan tidak membutuhkan sertifikat itu, kok, Bu!" "Inggih, yang penting kan ilmunya, ya, Pak!"
Suatu saat ada seorang penilik sekolah yang menyukainya, kita sebut ini B. Si B mengutarakan bahwa dia menyukai Sisca sejak dulu, tapi perasaan itu disembunyikan dan dipendamnya. Mereka tidak berani menjalin hubungan, karena mereka sama-sama PNS. Mereka tidak membayangkan apa yang akan dikatakan oleh rekan-rekan, bahkan anak-anak didik mereka jika anak-anak sekolah itu tahu bahwa gurunya berpacaran sesama laki-laki. Akhirnya mereka terus menyembunyikan perasaan itu berdua, hanya mereka yang tahu. Mereka pun tidak pernah membicarakan lagi satu sama lain setelah peristiwa pengutaraan perasaan oleh B itu. Mereka hanya menyimpannya. Pada saat yang lain ada seorang Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kepala UPTD) dari Sidorejo yang ingin ingin mencarikan menantu untuk anaknya. Sang Kepala Dinas hanya ingin anaknya menikah dengan orang yang tepat, dan pilihannya hanyalah Doko atau si B. Jelas keputusan itu membuat mereka tidak nyaman dan gamang.
Si B pun mengatakan kepadanya, "Kalau anaknya Pak Kepala Dinas menyukai sampeyan, sampeyan terima. Aku kepingin sampeyan juga bahagia." Tapi Sisca muda itu pun mengatakan bahwa dia tidak bisa membohongi perasaannya. Dia lebih memilih untuk tidak menikah daripada harus membuat sebuah pernikahan yang sepenuhnya kebohongan. Dia juga takut menyakiti hati sang perempuan. Dan ternyata bersama dengan waktu, sang anak Kepala Dinas ternyata lebih dekat dengan si B. Dan si B semakin jauh darinya. Si B akhirnya benar-benar bisa menjadi suami bagi sang anak Kepala Dinas. Dan Si B mengatakan kepadanya, "Sampeyan apa masih kepingin menjadi laki-laki sejati?" Dan dia menjawab iya. "Kalau kepingin sepertiku, sampeyan bisa ke Kandangan. Ada orang yang pintar yang bisa menyembuhkan di sana."
Maka Sisca pun berangkat ke Kandangan. Di tempat itu dia ditelanjangi bulat, dipijat, bahkan menerima sebuah pengobatan yang sangat tidak lazim yang tidak mungkin kutuliskan di sini. Dia terus menerus ditanya apakah perasaannya sudah berubah bisa menyukai perempuan, dan berkali-kali jawabannya tidak. Akhirnya orang itu pun menyentuh batas perut atasnya, persis di atas pinggul. Wajah pengobatnya itu tampak terkejut. Matanya membelalak dan melongo. "Pantes!" "Pantes punapa?" tanyanya. "Sampeyan iki puruse wedok. Yo jelas nek ndilok wong wedok melu lengkak lengkok, nen ndilok wong lanang nggantheng langsung thang theng." Bu Sisca yang menceritakan itu kepadaku langsung tertawa. Aku pun tidak kalah keras tertawa.
Tidak hanya itu, dia pun juga mengirimkan surat kepada Sinar Kasih Jakarta, sebuah majalah Kristen. Dari surat menyurat yang berpuluh-puluh kali hingga suratnya bertumpuk itu, dia kemudian terus diyakinkan bahwa jalannya salah. Majalah Kristen itu juga mengirimkan ayat kepadanya yang kemudian disimpannya dalam Alkitab, 1 Korintus 6: 9-10 "Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah." Dia pun semakin dalam batas yang serba bersalah dan berdosa. Sepanjang hidupnya, walaupun dia sekarang sudah bisa mendapatkan uang halal dari mengajar, merias, menyewakan kebutuhan pengantin, dia tetap merasa bahwa dirinya adalah orang yang tidak pantas bagi Tuhan. Tidak hanya itu, beberapa temannya serupa di beberapa gereja juga diingatkan bahwa mereka salah. Akhirnya ketika ke gereja, teman-temannya itu pun memilih berpakaian laki-laki. Bu Sisca tidak bisa, dia tetap memilih menjadi dirinya sendiri. Tapi dia tidak pernah berhenti berjuang, setiap jam 12 malam dia berdoa dan bertanya kepada Tuhan. Tapi Tuhan tidak pernah secara langsung memberikan jawaban kepadanya selain pertanyaan yang terus bertumpuk. "Siapa yang ingin seperti kula, Pak Pendeta. Kalau boleh memilih kula tidak memilih demikian. Kalau bisa kula kepingin lahir sebagai perempuan. Kula senang dengan apa pun yang berbau perempuan. Kula senang memakai pakaian perempuan. Kalau memakai pakaian laki-laki, kula merasa terpaksa dan ada yang salah dengan itu. Itu bukan kula."
Beberapa warga gereja menolak dia, akhirnya dia pun berpindah-pindah gereja. "Sampai kula ke Tunglur ini waktu itu. Di sini kula rumaos diterima. Orang-orang di sini tidak merendahkan. Kula pun bisa datang ke gereja dengan pakaian perempuan yang biasanya kula agem." Orang-orang di Tunglur tidak menghakiminya dengan sewenang-wenang. Bahkan mereka menerima dia apa adanya. Setiap ada pengantin dia yang selalu diminta merias. Dia pun merasa berguna di sini. Ketakutan itu, walau tidak serta merta hilang, sedikit demi sedikit menyingkir darinya. Dia bisa bergereja dengan bebas. Orang-orang mau mengajak dia acara-acara gereja. Bahkan dia dicatat sebagai anggota KPPW di gereja itu. Aku pernah mendengar cerita dari seorang ibu di Tunglur, "Dulu kalau ada acara di Tunglur ngaten, nginepe nggih boten purun kaliyan bapak-bapak, nggih sare kaliyan ibu-ibu."
Sampai suatu saat dia mengundang orang-orang di jemaat Tunglur untuk beribadat di rumahnya. Semua disiapkan dengan sebaik-baiknya. Ibadat berjalan dengan baik sampai selesai. Ketika semua tamu yang nuweni itu pulang, tiba-tiba ganti orang dari kelompok lain datang, mereka dari desa dan beberapa pemuka agama lain. Mereka menegurnya dengan sangat keras. Dia dilarang untuk mengadakan kebaktian lagi di rumahnya, "Nek sampek wani mengadakan kebaktian lagi di sini, awas!" Ketika orang-orang di gereja menerimanya, ternyata tidak semua orang di sekitarnya menerima, "Menawi tiyang gereja ngaten sae-sae, tapi kadang tiyang njawi punika yang tidak bisa terima dan merendahkan." Dia akhirnya setelah bergumul lama, dia tidak kuat dan pindah ke Puncu. Dia tetap mencatatkan dirinya di Tunglur, walaupun karena jarak yang sangat jauh, dia tidak bisa lagi bergereja secara rutin seperti dulu. Dia ikut beribadat di Sidorejo setelah itu.
Bersama dengan waktu, dia pun menjadi tua. Dia semakin bisa menerima dirinya apa adanya. Di Puncu dia mengajari anak-anak yang drop out dari sekolah wayang orang. Dia mengajar dan menyewakan mereka pakaian untuk tampil dalam acara-acara desa dan mantenan. Bersama dengan itu dia tetap bekerja di sekolah pada waktu siang, pada waktu malam dia terus menyinden dan menari pada waktu malam. Dia bahkan kadang demi menemani teman-teman yang senasib dengannya, dalam segala kelebihan materi yang dimilikinya sekarang, dia masih rela menemani mereka mengamen dari rumah ke rumah. Dia mengajari teman-temannya merias. Dia menerima orang-orang yang kursus rias manten kepadanya. Dan dia semakin terkenal sebagai perias manten.
Dia tetap memilih tidak menikah. Dia mengangkat anak, Yuliana Kristanti. Anak itu dibesarkannya dari kecil, tetapi masih diijinkannya untuk pulang ke rumah orang tuanya. Pada waktu kecil anak ini merasa malu dengan bapak atau ibunya yang seorang transgender. Anak itu sering melarangnya untuk ikut tanggapan. Tapi dia menjelaskan, "Nek aku gak nari, sampeyan piye sekolahe? Sapa mengko sing nukokne ngene ngono?" Ketika Yuliana masuk SMEA, dia mulai bisa menerima Bu Sisca, walaupun dia tidak bisa mengubah panggilannya. Dia tetap memanggil bapak. Tidak masalah baginya. Yuliana pun belajar merias dari Bu Sisca, dan sekarang sudah bisa membantunya merias. "Dia anak yang baik, Bu?" tanyaku. "Sangat baik. Ngertos tiyang sepuh. Dia tetap memilih bersama kula, ngopeni kula mangke menawi kula sepuh." Bu Sisca juga yang menggelar pernikahan untuk Yuliana. Dan sekarang anak dan menantunya itu menyuruhnya bersantai menikmati masa tuanya. "Tapi nggih napa kula saged leren. Ngantos sakniki walaupun tidak semua job kula terima, kadang-kadang kalau cocok kula nggih masih menyinden." Dia juga aktif dalam kegiatan anti HIV di kelompoknya, menjadi aktivis dalam usianya yang sudah tidak lagi muda.
BU SISCA DAN GKJW HARI INI
Dia tidak menyangka ketika aku mengajaknya ikut pertemuan DPPW di Malang pada waktu itu. Aku mengatakan kepadanya bahwa pertemuan itu adalah pertemuan untuk membicarakan kesetaraan pria, wanita, dan transgender. Dia tidak menyangka bahwa GKJW bisa menerima kelompoknya yang demikian. "Kami hari ini sadar, Bu! Dalam perjalanan sejarah, kadang gereja juga melakukan kesalahan. Kami berbicara kasih Tuhan untuk semua, tapi kami lupa untuk mengasihi kelompok transgender." Dan aku sangat menghargai DPPW atas usaha mereka memperjuangkan ini.
Dalam pertemuan itu, Bu Sisca memberikan kesaksian tentang bagaimana dia berjuang selama ini. Tentang banyak hal senang dan susah yang dialaminya. Tentang dia yang dalam kondisinya mencoba untuk terus berbuat baik dan menjadi berarti bagi yang lain. "Kalau cuma tidak nyolong, nresnani musuh, membagikan kasih, menghormati orang lain, itu semua sangat mudah bagi saya. Tapi kalau saya diminta untuk menjadi laki-laki yang mencintai perempuan, yang hidup seperti laki-laki pada umumnya, itu yang saya tidak bisa. Menawi Gusti tidak mau menerima saya karena itu, saya pasrah. Ya sudah, bisa apa lagi, apa saya bisa membohongi diri sendiri." Aku tersenyum dan mengatakan kepadanya, "Saya saja mengerti, saya yakin teman-teman pendeta yang lain juga mengerti. Dan kita percaya kalau Tuhan jauh lebih mengerti daripada kita. Bukankah Dia Tuhan?"
Setelah saat itu Bu Sisca dikenal sebagai tokoh transgender di GKJW, tentu saja tidak setenar Merlyn. Tahun ini GKJW Jatiwringin mengundangnya untuk berbicara tentang transgender, demikian juga dengan MD Malang II. Dalam pertemuan di Jatiwringin, seorang ibu bertanya kepadanya. "Bu Sisca apa ya masih sampai sekarang suka sama laki-laki." Dan dia menjawab dengan jelas, keras, dan tegas, "Ijik! Sampai saiki ijik seneng!" Dan semuanya tertawa. Seorang penanya lain mengajukan sebuah pertanyaan, "Kalau nanti meninggal kepingin didandani lak-laki atau perempuan?" Dia pun menjawab, "Dalam diri saya, saya perempuan. Saya ingin ketika nanti meninggal saya didandani perempuan. Saya tidak peduli orang menguburkan saya di mana, mau dikuburkan di sini atau di sana toh saya sudah meninggal. Mau dikintirne kali ya saya masak saya kerasa, wong sudah meninggal." Dia mengatakan kepadaku, "Kula boten ngertos apakah Gusti akan menerima atau tidak. Kula tidak keberatan kalau masuk neraka sebagai perempuan." Aku diam.
Dia pun bertanya tentang pemburit dan banci yang ada di Alkitab. Aku berbicara tentang konteks jemaat Korintus dan Kota Sodom pada waktu itu. Bahwa mereka yang melakukan itu banyak yang melakukannya karena gaya hidup dan hanya memuaskan keinginan mereka. Itu bedanya dengan Bu Sisca. Pembicaran kami cukup panjang tentang hal itu.
Dan dia bertanya kepadaku, "Kula kan diudang dhateng Sitiarjo masalah transgender ini. Karena itu sebelum nanti tanggal 30 kula tindak Sitiarjo, kula kepingin tanya kepada pendeta kula rumiyin. Bagaimana kula menika kedahipun, Pak?" Aku diam. Aku tersenyum, "Ibu cukup menjadi Bu Sisca yang saya kenal. Tidak usah menjadi yang lain. Bagikan cerita ini supaya dunia tahu. Supaya mereka tidak asal mengatakan bahwa para transgender itu tidak berjuang." Aku pun memberitahu kepadanya bahwa ini salah satu perjuangan GKJW saat ini. "Kami ingin memperjuangkan supaya kelompok ini diterima oleh masyarakat, diakui keberadaannya. Dan ini perjuangan yang saya yakin tidak mudah dan tidak singkat. Kami mohon ibu mau kuat berjuang bersama kami." Dia mengangguk.
Dan dia sampai pada pertanyaan terakhirnya. Aku tahu pertanyaan ini akan ditanyakan, tapi aku tahu bahwa aku tidak pernah sebenar-benarnya tahu jawabannya. "Apakah kula punika bisa diberkati pernikahannya di GKJW, Pak, menawi kula menikah dengan sesama laki-laki?" Aku tidak berani menatapnya. Aku masih terdiam cukup lama sampai aku mencoba menjawabnya, aku menata kata-kataku, tapi aku tahu bahwa semuanya berantakan. Aku mengatakan kepadanya, "Secara pribadi saya sangat senang jika ibu bertemu dengan orang yang tepat dan akhirnya bisa bersama-sama dengan dia. Saya senang kalau saya bisa menjadi orang yang mendapat bagian dalam kebahagiaan ibu itu. Tapi ..." Aku menunduk, "Tata Pranata kita masih belum bisa memberkati pernikahan sesama jenis. Beberapa gereja di luar negeri bisa. Kalau ibu menghendaki saya bisa menghubungkan ibu. Tapi saya harus minta maaf, kalau untuk saat ini, secara pribadi mungkin saya bisa dan berharap hal itu bisa terwujud. Tapi lagi-lagi kita terbatas, bukan hanya Tata Pranata, Undang-undang Perkawinan di negara kita, UU No 1 tahun 1974 itu masih mengatakan bahwa pernikahan adalah antara laki-laki dan perempuan pada pasal 1-nya. Saya yakin aturan-aturan itu pun terbatas, tapi tentu bukan tanpa tujuan mengapa demikian. Saya minta maaf, Bu!" Dia yang tadi begitu bersemangat tampak sedikit kecewa, senyum itu hilang dari wajahnya. "Kalau ibu benar-benar menginginkan itu, beberapa negara di Eropa mengijinkan. Saya akan membantu jika ibu mungkin mengarapkan hal itu." Dia menarik napas panjang, "Kula punika sampun sepuh. Beberapa orang yang terakhir sareng kula nggih boten wonten ingkang sejatosipun niat untuk menikah kaliyan kula. Kathah ingkang namung kepingin ngeret banda. Wonten ingkang utang ngantos puluhan juta, nggih sampun kula lilaaken. Kula lampahi mawon Pak gesang kula niki. Sing penting jangan sampai melewati batas. Kula saged kok menawi ngempet, menahan diri."
Aku tidak tahu, semuanya serba membingungkan. "Bisa dibilang kita ini baru merintis jalan, Bu. Entah bagaimana hasilnya, kita juga tidak tahu sebenar-benarnya jalan Tuhan. Kalau jalan ini benar, ditekan bagaimana pun pasti Tuhan membuka jalannya. Entah pada saat itu nanti kita masih hidup atau sudah tidak ada. Tapi mungkin saja kita keliru, dan jika memang begitu, pasti ada cara Tuhan ngenggokne." Aku menyempatkan mengambil napas panjang, "Bu ... ah ... kadang kita menanam sesuatu, bukan untuk kita sendiri, tapi supaya anak-anak kita bisa memakan buahnya. Kadang di sanalah kebahagiaan itu. Bukan ketika kita mereguk semuanya, namun ketika kita memberikan yang terbaik yang kita bisa demi kehidupan. Mungkin kita tidak akan merasakan hasil dari perjuangan ini. Panjenengan dan saya. Namun untuk harapan itulah, saya nyuwun supaya ibu jangan menyerah, karena kami pun tidak." Dia tersenyum, "Nggih kados tiyang kakung ingkang terakhir kaliyan kula, tibane kula namung ditipu. Rumiyin kula tanglet apa mau kaliyan kula, jawabe ngggih. Tibane mung karep kaliyan bandha kula. Terakhir-terakhir kula ngertos tibane gadhah pacar arek wedok. Areke telpon, kula sing ngangkat. Nggih mbok bilih Gusti boten lila kula namung digunakan sebagai alat kemawon." Aku tidak tahu harus bagaimana selain tersenyum.
DPPW DAN KESETARAAN
Bu Denise mati-matian berjuang supaya kata wanita tidak diganti menjadi perempuan dalam Tata Pranata GKJW, sebagaimana bahasa Indonesia memberikan konotasi yang konon katanya lebih baik pada pilihan kata perempuan, dengan alasan yang cukup panjang. Salah satu yang terkuat adalah bahwa justru dalam kata wanita itu sendiri terkandung makna kultural yang mengikatkan perempuan dengan laki-laki. Dharma Wanita misalnya adalah hal yang selalu oleh para feminis dianggap sebagai perendahan kepada perempuan, karena meletakkan perempuan seolah sebagai subordinat dari laki-laki, karena Dharma Wanita adalah himpunan para istri. Tapi bagi Bu Denise, yang alasannya bagiku cukup bisa kuterima, justru menganggap bahwa posisi perempuan itu tidak pernah menjadi lebih rendah dari laki-laki dalam kata wanita. Di sana justru konotasi berdampingan ada, tidak berdiri sendiri. Karena kalau ada perempuan pasti ada laki-laki, demikian sebaliknya. Itu tidak bisa dinafikan. Pengalaman empiris atas peran Darma Wanita itu yang kadang terkesan seolah merendahkan perempuan, padahal pada dirinya sendiri Dharma Wanita adalah sesuatu yang sangat positif. Selain itu alasannya adalah dalam kata wanita terkandung kedewasaan. Karena seorang gadis kecil mungkin akan disebut perempuan, tetapi tidak akan disebut wanita. Wanita itu matang. Wanita secara kultural adalah tingkatan kedewaan yang lebih daripada perempuan yang jauh lebih menyebar. Baiklah tidak usah memperdebatkan wanita atau perempuan di sini, aku akan menggunakannya secara bergantian untuk menunjuk pada posisi yang sama.
Kesetaraan pria dan wanita adalah hal yang sudah bertahun-tahun diperjuangkan di GKJW. Namun pembicaraan tentang transgender bisa dibilang sebagai langkah baru yang luar biasa dari DPPW. Ketika wacana teologis yang lain terkesan masih sangat memuja maskulinitas, DPPW berani mengangkat tema yang secara kegerejaan masih dianggap cukup tabu, walaupun dalam wacana humaniora, secara khusus feminisme, hal ini sudah dilirik lama. Tampaknya teologi dan gereja juga yang pada masa tertentu berdasarkan tafsir yang tidak berimbang atas bagian alkitab tertentu, selama ini turut (jika bukan malah sumber utama) menyebabkan konotasi negatif itu masih menjadi kuat. Gereja berhutang kepada mereka, dan DPPW secara berani mengambil cara mereka untuk membayar hutang sejarah itu. Kalau mengatakan tentang kesetaraan, apalagi ketika sekarang wacana kesetaraan di GKJW bukan sekadar pada sesama manusia, tetapi pada sesama ciptaan, maka transgender adalah kelompok yang tidak boleh ditinggal. Bravo untuk keberanian DPPW!
Tahun demi tahun aku merasa wacana yang dikembangkan oleh DPPW GKJW lebih berani kontekstual. Tentu pandangan ini sama sekali subyektif. Selain alasan penghargaanku kepada tim DPPW, tapi perempuan (femininitas) pada umumnya memang punya bahasa yang sangat indah, yang selama ini terbungkam oleh bahasa maskulin yang kaku dan eksak. Namun bersama dengan diskusi itu sebenarnya diskusi lain di tim Revisi Tata Pranata GKJW memang mulai berani berjuang untuk kesetaraan ini menuju level yang lebih kekinian. Tidak salah kalau aku bangga menjadi bagian dari GKJW.
Tapi tentu tidak semua unsur GKJW sedemikian positif dalam kenyataan keseharian. Usulan harus ada unsur laki-laki di DPPW untuk menyeimbangkan wacana adalah hal yang baik. Tapi kemudian beberapa anggota DPPW seperti Mbak Nicky, Bu Denise, Bu Retno, dan Bu Indri yang cantik jelita menyatakan bahwa masuknya unsur laki-laki di DPPW kadang menjadi buah simalakama bagi sang laki-laki sendiri. Karena tidak jarang lalu laki-laki yang masuk ke sana dianggap sebagai banci dan lain sebagainya. Sampai Mas Totok mati-matian ingin menjadi anggota DPPW untuk mematahkan mitos sesat yang disebarkan dengan tidak sopan itu.
Tahun depan dalam konsep buku pembinaan mereka, Suluh, mereka akan mengangkat spiritualitas perempuan GKJW. Buku itu membahas dari kesehatan tubuh perempuan sampai sumber energi dan bencana alam. Tema yang mereka angkat benar-benar kaya. Dan ketika Bu Retno memintaku memilih dari beberapa tema yang belum dipilih aku dengan bersemangat memilih tema seksualitas dan kekerasan seksual. Bu Retno bertanya kenapa, dan aku menjawab ringan, "Aku korban, sedikit banyak aku tahu rasanya." Dan Bu Sisca salah satu warga jemaat Tunglur yang transgender diminta untuk menulis tentang transgender. Tapi Bu Sisca adalah pribadi yang luar biasa sibuk dan tidak biasa dengan dokumentasi tertulis, maka aku yang akan menuliskan bagian itu dari hasil sharing beliau. Bu Retno setuju.
BU SISCA
Hari ini dia bercerita kepadaku selama beberapa jam tentang kisah hidupnya dan aku tersentak oleh beberapa ceritanya. Beberapa sudah sering kudengar, beberapa yang lain nyata-nyata membuatku terkejut. Aku berani mengatakan bahwa beliau adalah tokoh transgender GKJW. Dengan rendah hati dia bercerita kepadaku bahwa untuk teori yang pintar-pintar a la para ahli dia sama sekali tidak menguasai, tapi dia punya cerita. Itu dia! "Itu yang kami butuhkan, Bu! Kami tidak mau menyusun teori kosong sok pintar, kami membutukan pengalaman real panjenengan." Dan aku menceritakan betapa aku bangga bisa mengenalnya. Dia sungguh sosok yang sederhana dan sangat rendah hati, dengan mengatakan, "Jangan begitu, Pak! Saya hanya bisanya ini."
Lahir dengan nama Darmin, keenam dari tujuh bersaudara ini sering sakit-sakitan sejak kecil. Maka orang tuanya mengganti nama pribadi kelahiran Puhrejo Jatiwrining itu dengan Doko. Do adalah huruf keenam dalam aksara jawa, dan Ko adalah huruf kelima. Jumlahnya sebelas, sama dengan wetonnya Selasa Kliwon, angkanya sebelas. Alasan orang tuanya, "Ben kowe diwelasi karo wong." Aku bertanya tanggal lahirnya, dia tidak tahu tanggal lahirnya, ijazah sekolah rakyatnya di Jatiwringin menyebutkan tanggalnya 22 April 1951, didasarkan dari dokumen gereja dalam Surat Baptisnya. Tapi karena SK Guru menuliskan tanggal 22 April 1953 maka dia mengikuti Ujian Persamaan untuk menyamakan tanggal lahirnya menjadi tanggal 22 April 1953. Dia mengikuti Upers (Ujian Persamaan) gara-gara ijazah SD, SMPnya hilang. Bapaknya memasukkan ijazah itu ke bumbung bambu yang lalu hilang entah di mana. Maka untuk mendapatkan ijazah lagi, dia mengikuti Ujian Persamaan itu. Cukup panjang ceritanya tentang tanggal itu. Aku tertawa sepanjang dia bercerita, dari sana saja sudah menarik.
Masa kecilnya dihabiskan di Jatiwringin. Ketika anak-anak laki-laki lain senang bermain cengkrong atau uncal, dia lebih senang bermain bekel. "Kula menawi disuruh cengkrong babar blas boten saged, tapi kalau bekel kula selalu menang." Ujarnya sambil tertawa. Cengkrong adalah permainan anak ngarit. Mereka akan melemparkan sebatang pendek kayu dengan cara dijentikkan, kayu siapa yang lebih dekat dengan tiang sasaran, maka sang pemenang boleh mengambil rumput yang di-rit temannya. Dia tidak merasa ada yang aneh pada dirinya waktu itu, walaupun dia juga lebih suka membantu ibunya nyugokke geni (memasukkan kayu ke tungku api) di dapur, daripada mencangkul seperti saudara-saudaranya yang laki-laki. Bapaknya sampai mengatakan, "Kowe iki nek ora kerja kantoran, ora isa apa-apa piye mengko. Kerja abot kowe ra isa, nang sawah yo ora isa." Maka sang bapak yang begitu mengasihinya itu menyekolahkan dia setinggi-tingginya yang mungkin waktu itu. Dari seluruh pemuda di desanya, dia satu-satunya yang bersekolah tinggi. Bukan hanya itu dia juga peraih piala Bintang Pelajar yang waktu itu adalah sebuah tanda prestisius untuk anak berprestasi.
Sejak SMP dia dipanggil oleh salah seorang temannya "Dok! Wedok!" dan tidak pernah marah. Itu malah membuatnya merasa senang. Sang pemanggil itu sering mengajaknya bertanding ping pong sampai bulu tangkis, pemenangnya akan mendapatkan kok. Dan Doko selalu berhasil memenangkan permainan, "Waktu itu kalau main badminton, kami harus membayar untuk koknya. Kula tidak pernah bayar, lah wong menang terus kok." Dia tertawa. Dia juga jago menari sejak kecil, dia dibawa oleh seorang panjak untuk menari Bondan ke mana pun kelompok seni itu berkeliling. Sampai akhirnya sang pemanggil "Dok! Wedok!" itu melarangnya. Dia baru tahu alasannya, ternyata sang pemanggil itu tidak rela kalau Doko menari di mana-mana ditonton banyak orang dengan pakaian perempuan seperti itu. Bukan karena apa-apa, tapi karena dia ingin memiliki Doko seorang diri. Dialah pria pertama yang mencintai Doko dan dicintainya juga. Pria itu akhirnya memilih untuk menikah. Namun hubungan mereka tetap dekat. Doko pun kenal dengan istri sang pria dengan sangat baik. Aku tidak seharusnya menyebarkan nama sang pemanggil, maka aku menyebutnya A di sini.
Ketika A menikah, Doko memilih untuk dekat dengan seorang pria lain, anak seorang haji yang sembunyi-sembunyi mengatakan kepadanya bahwa dia sudah menyukai Doko sejak pertama kali melihatnya menari. Aku tidak menyangka bahwa pada masa itu, di Jawa yang budaya masyarakat akar rumputnya sangat anti transgender dan homoseksualitas, ternyata cerita semacam ini bertebaran di mana-mana. Tapi Jawa menurutku memang anomali sendiri. Seorang raja Jawa harus sepandai dia berperang, dia juga harus pandai menari. Sisi maskulin dan feminin di Jawa berpadu dengan sangat harmonis. Oleh karenanya kesenian semacam ludruk, yang hampir semua pemain perempuannya dimainkan laki-laki, adalah kesenian rakyat yang sangat terkenal di Jawa. Dan tidak jarang para pria yang memainkan perempuan ini menjadi bintang sendiri. Doko salah satunya. Sejak saat itu namanya dikenal bukan Doko, tetapi Sisca.
Namun demi kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan masa depan, Sisca muda sadar tidak mungkin hanya menggantungkan dirinya pada kesenian yang ditekuninya. Maka dia pun melamar menjadi guru. Dia diterima dengan hasil ujian yang sangat baik. Maka cerita yang umum terdengar dan sering menjadi bahan guyonan itu malambung, ketika siang dia akan menjadi Pak Guru Doko, dan ketika malam dia menjadi Sisca yang bergabung dengan kelompok seninya untuk menari remong, bondan, gambyong, sampai bermain ludruk, atau menyinden. "Sampai sekarang kula tasik disuwun nyinden, lo Pak Pendeta!" Wow!
Di dunia guru itu dia menemukan kesukaannya kepada dunia mengajar, dasar dia memang seorang yang pandai. Dia tidak hanya menjadi guru kelas, tetapi dia juga diminta oleh banyak TK, SD, SMP (kebanyakan SMP katanya), dan beberapa SMA melatih tari. Dia juga yang sering menjadi perwakilan dinas untuk mewakili kabupaten menari pada acara-acara besar di kabupaten. Namun selain kesenangan itu dia pun mulai merasakan krisis identitas pertamanya. Dia yang selama ini merasa bahwa dirinya baik-baik saja, mulai mendapatkan larangan. Dia dilarang pergi ke sekolah memakai rok. Dan dia merasa bahwa orang-orang itu ada benarnya menurutnya, mengapa dia yang lahir laki-laki justru berjiwa perempuan.
Krisis itu tidak dihadapinya dengan mudah. Di dunia barunya itu dia mulai mendapatkan tekanan di sana sini. Selain itu yang terberat adalah perasaan bersalah yang semakin lama semakin menumpuk dengan bertubi-tubi. "Kula sakit! Itu yang kula rasakan pada waktu itu. Dan kula harus sembuh!" Maka segala cara diupayakan. Seorang kawan mengatakan bahwa ada seorang bernama Kartono di Dander, Bojonegoro yang ahli mengobati segala penyakit. Bahkan Sang Kartono ini bisa mengajarkan orang untuk memasukkan pedang ke dalam mulut tanpa terluka sampai cara memasukkan uang ke dalam buah pepaya yang masih utuh di pohohnnya. Dia tidak butuh itu semua, dia hanya ingin diobati supaya sembuh. Dia ijin kepada kepala sekolahnya dengan alasan ada acara keluarga. dia pergi ke Bojonegoro. Bertemu dengan Kartono dia menceritakan semuanya. Kartono pun mengeluarkan keahlian supranaturalnya, menghipnotisnya. Tapi ternyata seharian di tempat itu tidak membuatnya semakin sehat, dia tetap merasa bahwa dia lebih menyukai laki-laki daripada perempuan. Dan di dalam dirinya dia tidak bisa membohongi bahwa dirinya perempuan.
Demi kesembuhan ini dia pun pergi ke Penyembuhan Internasional yang ada di Malang atas usul temannya seorang dari Gereja Pantekosta. Penyembuhan Internasional ini adalah tim ibadat KKR Kesembuhan dari Australia. Dalam KKR itu dia berdoa terus dalam hati supaya dia bisa bisa menjadi laki-laki sejati yang bisa mencintai perempuan. Bersama dengan puluhan orang lain yang sakit lumpuh, difabel, dan sakit macam-macam dipanggil ke depan. Pulang dari KKR itu ternyata dia tidak mengalami perubahan apa pun.
Akhirnya dia kembali bertemu dengan A dan istirnya. Dia bercerita kepada A dan istrinya bahwa dia ingin sembuh, bisa menjadi lelaki sejati. Istrinya si A lalu melihatnya dengan mata memicing, mengangguk-anggukkan kepalanya, dan mendekatinya. "Kamu ini kerasukan roh feminim!" Dia pun bertanya bagaimana cara menghilangkan 'roh feminim' itu. Dan istrinya A lalu memegang kepalanya dan menggosok-gosok rambutnya sambil membacakan mantra dan doa-doa, "Rambut saya diulet-ulet! Sirah ini dijompa-jampi." "Gimana hasilnya, Bu?" "Mboten ngefek!" Dan kami tertawa berdua. Bu Sisca lantas mendapatkan masukan dari istrinya si A, bahwa di Solo ada pertapa dari Yunani, mungkin pertapa dari Yunani itu bisa mengobatinya. Maka atas saran istrinya si A itu, dia berangkat ke Solo. Di sana dia bertemu dengan sang pertapa. Sang pertapa berbicara bahasa asing, tetapi ada penerjemah di sana. Dia menceritakan apa yang dialaminya, dan sang pertapa mengatakan kepada saya, "Itu tidak bisa disembuhkan. Bapak sama seperti saya." Bu Sisca tertawa keras, "Tibane kok podho!" Tapi pertapa itu memberikan masukan kepadanya, supaya dia melakukan hal yang sama seperti sang pertapa, bekerja di ladang Tuhan.
Segala cara yang aneh dan macam-macam ditempuhnya, tak ada yang berhasil. Dia bahkan sampai menjual sapi untuk biaya riwa-riwi ke mana-mana demi mendapatkan kesembuhannya. Sampai akhirnya dia pun memilih cara medis. Dia berangkat ke Rumah Sakit Baptis Kediri. Dia minta bertemu dengan dokter yang paling bagus. Kebetulan pada masa itu masih banyak dokter asing di RS Baptis. Dia bertemu dengan dr. Duvall dan menceritakan bahwa dia laki-laki tetapi perasaannya perempuan. Dia ingin bisa disembuhkan secara medis, segala cara sudah dilakukannya tidak ada yang berhasil. Sang dokter mengatakan kepadanya bahwa apa yang dialaminya bukan penyakit. Itu tidak bisa disembuhkan. Medis kedokteran tidak punya obat untuk yang disebutnya dengan sakit itu. Jika ada yang bisa mengubahnya itu hanya keajaiban Tuhan.
Dia pun mulai menerima dirinya. "Kula kan suka kewanitaan, Pak Pendeta! Kebetulan di Jombang waktu itu ada sekolah atau kursus untuk rias Solo Basahan dan Solo Putri. Saya pun mendaftar." Di sana dia pertama kali belajar merias, pada tahun 1990an. Dia mendapatkan sertifikat dengan nilai yang memuaskan. Dia pun mengikuti ujian negara, ujian praktik dan ujian tulis, keduanya meluluskan dia dengan nilai yang sangat bagus. Banyak perias yang belajar rias dengan cara mengikuti perias yang sudah terkenal lalu meniru di sini situ, tetapi Bu Sisca memilih cara yang bisa memberikan dia pendidikan yang lebih formal. "Kula kan kepingin tahu bukan cuma caranya tetapi juga kok ini seperti ini, bagaimana sejarahnya, asal usulnya. Kalau ikut orang kula tidak dapat itu, hanya dapat caranya, kalau di sana kula diajar, bukunya sangat banyak." Dia pun mengikuti seminar-seminar lain tentang pengantin gaya Eropa, gaya Muslim, sampai hias mobil pengantin. "Semua dapat sertifikat, Pak. Tapi tidak tahu di mana sekarang, kalau dicari ya pasti masih ada." "Ah jenengan tidak membutuhkan sertifikat itu, kok, Bu!" "Inggih, yang penting kan ilmunya, ya, Pak!"
Suatu saat ada seorang penilik sekolah yang menyukainya, kita sebut ini B. Si B mengutarakan bahwa dia menyukai Sisca sejak dulu, tapi perasaan itu disembunyikan dan dipendamnya. Mereka tidak berani menjalin hubungan, karena mereka sama-sama PNS. Mereka tidak membayangkan apa yang akan dikatakan oleh rekan-rekan, bahkan anak-anak didik mereka jika anak-anak sekolah itu tahu bahwa gurunya berpacaran sesama laki-laki. Akhirnya mereka terus menyembunyikan perasaan itu berdua, hanya mereka yang tahu. Mereka pun tidak pernah membicarakan lagi satu sama lain setelah peristiwa pengutaraan perasaan oleh B itu. Mereka hanya menyimpannya. Pada saat yang lain ada seorang Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kepala UPTD) dari Sidorejo yang ingin ingin mencarikan menantu untuk anaknya. Sang Kepala Dinas hanya ingin anaknya menikah dengan orang yang tepat, dan pilihannya hanyalah Doko atau si B. Jelas keputusan itu membuat mereka tidak nyaman dan gamang.
Si B pun mengatakan kepadanya, "Kalau anaknya Pak Kepala Dinas menyukai sampeyan, sampeyan terima. Aku kepingin sampeyan juga bahagia." Tapi Sisca muda itu pun mengatakan bahwa dia tidak bisa membohongi perasaannya. Dia lebih memilih untuk tidak menikah daripada harus membuat sebuah pernikahan yang sepenuhnya kebohongan. Dia juga takut menyakiti hati sang perempuan. Dan ternyata bersama dengan waktu, sang anak Kepala Dinas ternyata lebih dekat dengan si B. Dan si B semakin jauh darinya. Si B akhirnya benar-benar bisa menjadi suami bagi sang anak Kepala Dinas. Dan Si B mengatakan kepadanya, "Sampeyan apa masih kepingin menjadi laki-laki sejati?" Dan dia menjawab iya. "Kalau kepingin sepertiku, sampeyan bisa ke Kandangan. Ada orang yang pintar yang bisa menyembuhkan di sana."
Maka Sisca pun berangkat ke Kandangan. Di tempat itu dia ditelanjangi bulat, dipijat, bahkan menerima sebuah pengobatan yang sangat tidak lazim yang tidak mungkin kutuliskan di sini. Dia terus menerus ditanya apakah perasaannya sudah berubah bisa menyukai perempuan, dan berkali-kali jawabannya tidak. Akhirnya orang itu pun menyentuh batas perut atasnya, persis di atas pinggul. Wajah pengobatnya itu tampak terkejut. Matanya membelalak dan melongo. "Pantes!" "Pantes punapa?" tanyanya. "Sampeyan iki puruse wedok. Yo jelas nek ndilok wong wedok melu lengkak lengkok, nen ndilok wong lanang nggantheng langsung thang theng." Bu Sisca yang menceritakan itu kepadaku langsung tertawa. Aku pun tidak kalah keras tertawa.
Tidak hanya itu, dia pun juga mengirimkan surat kepada Sinar Kasih Jakarta, sebuah majalah Kristen. Dari surat menyurat yang berpuluh-puluh kali hingga suratnya bertumpuk itu, dia kemudian terus diyakinkan bahwa jalannya salah. Majalah Kristen itu juga mengirimkan ayat kepadanya yang kemudian disimpannya dalam Alkitab, 1 Korintus 6: 9-10 "Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah." Dia pun semakin dalam batas yang serba bersalah dan berdosa. Sepanjang hidupnya, walaupun dia sekarang sudah bisa mendapatkan uang halal dari mengajar, merias, menyewakan kebutuhan pengantin, dia tetap merasa bahwa dirinya adalah orang yang tidak pantas bagi Tuhan. Tidak hanya itu, beberapa temannya serupa di beberapa gereja juga diingatkan bahwa mereka salah. Akhirnya ketika ke gereja, teman-temannya itu pun memilih berpakaian laki-laki. Bu Sisca tidak bisa, dia tetap memilih menjadi dirinya sendiri. Tapi dia tidak pernah berhenti berjuang, setiap jam 12 malam dia berdoa dan bertanya kepada Tuhan. Tapi Tuhan tidak pernah secara langsung memberikan jawaban kepadanya selain pertanyaan yang terus bertumpuk. "Siapa yang ingin seperti kula, Pak Pendeta. Kalau boleh memilih kula tidak memilih demikian. Kalau bisa kula kepingin lahir sebagai perempuan. Kula senang dengan apa pun yang berbau perempuan. Kula senang memakai pakaian perempuan. Kalau memakai pakaian laki-laki, kula merasa terpaksa dan ada yang salah dengan itu. Itu bukan kula."
Beberapa warga gereja menolak dia, akhirnya dia pun berpindah-pindah gereja. "Sampai kula ke Tunglur ini waktu itu. Di sini kula rumaos diterima. Orang-orang di sini tidak merendahkan. Kula pun bisa datang ke gereja dengan pakaian perempuan yang biasanya kula agem." Orang-orang di Tunglur tidak menghakiminya dengan sewenang-wenang. Bahkan mereka menerima dia apa adanya. Setiap ada pengantin dia yang selalu diminta merias. Dia pun merasa berguna di sini. Ketakutan itu, walau tidak serta merta hilang, sedikit demi sedikit menyingkir darinya. Dia bisa bergereja dengan bebas. Orang-orang mau mengajak dia acara-acara gereja. Bahkan dia dicatat sebagai anggota KPPW di gereja itu. Aku pernah mendengar cerita dari seorang ibu di Tunglur, "Dulu kalau ada acara di Tunglur ngaten, nginepe nggih boten purun kaliyan bapak-bapak, nggih sare kaliyan ibu-ibu."
Sampai suatu saat dia mengundang orang-orang di jemaat Tunglur untuk beribadat di rumahnya. Semua disiapkan dengan sebaik-baiknya. Ibadat berjalan dengan baik sampai selesai. Ketika semua tamu yang nuweni itu pulang, tiba-tiba ganti orang dari kelompok lain datang, mereka dari desa dan beberapa pemuka agama lain. Mereka menegurnya dengan sangat keras. Dia dilarang untuk mengadakan kebaktian lagi di rumahnya, "Nek sampek wani mengadakan kebaktian lagi di sini, awas!" Ketika orang-orang di gereja menerimanya, ternyata tidak semua orang di sekitarnya menerima, "Menawi tiyang gereja ngaten sae-sae, tapi kadang tiyang njawi punika yang tidak bisa terima dan merendahkan." Dia akhirnya setelah bergumul lama, dia tidak kuat dan pindah ke Puncu. Dia tetap mencatatkan dirinya di Tunglur, walaupun karena jarak yang sangat jauh, dia tidak bisa lagi bergereja secara rutin seperti dulu. Dia ikut beribadat di Sidorejo setelah itu.
Bersama dengan waktu, dia pun menjadi tua. Dia semakin bisa menerima dirinya apa adanya. Di Puncu dia mengajari anak-anak yang drop out dari sekolah wayang orang. Dia mengajar dan menyewakan mereka pakaian untuk tampil dalam acara-acara desa dan mantenan. Bersama dengan itu dia tetap bekerja di sekolah pada waktu siang, pada waktu malam dia terus menyinden dan menari pada waktu malam. Dia bahkan kadang demi menemani teman-teman yang senasib dengannya, dalam segala kelebihan materi yang dimilikinya sekarang, dia masih rela menemani mereka mengamen dari rumah ke rumah. Dia mengajari teman-temannya merias. Dia menerima orang-orang yang kursus rias manten kepadanya. Dan dia semakin terkenal sebagai perias manten.
Dia tetap memilih tidak menikah. Dia mengangkat anak, Yuliana Kristanti. Anak itu dibesarkannya dari kecil, tetapi masih diijinkannya untuk pulang ke rumah orang tuanya. Pada waktu kecil anak ini merasa malu dengan bapak atau ibunya yang seorang transgender. Anak itu sering melarangnya untuk ikut tanggapan. Tapi dia menjelaskan, "Nek aku gak nari, sampeyan piye sekolahe? Sapa mengko sing nukokne ngene ngono?" Ketika Yuliana masuk SMEA, dia mulai bisa menerima Bu Sisca, walaupun dia tidak bisa mengubah panggilannya. Dia tetap memanggil bapak. Tidak masalah baginya. Yuliana pun belajar merias dari Bu Sisca, dan sekarang sudah bisa membantunya merias. "Dia anak yang baik, Bu?" tanyaku. "Sangat baik. Ngertos tiyang sepuh. Dia tetap memilih bersama kula, ngopeni kula mangke menawi kula sepuh." Bu Sisca juga yang menggelar pernikahan untuk Yuliana. Dan sekarang anak dan menantunya itu menyuruhnya bersantai menikmati masa tuanya. "Tapi nggih napa kula saged leren. Ngantos sakniki walaupun tidak semua job kula terima, kadang-kadang kalau cocok kula nggih masih menyinden." Dia juga aktif dalam kegiatan anti HIV di kelompoknya, menjadi aktivis dalam usianya yang sudah tidak lagi muda.
BU SISCA DAN GKJW HARI INI
Dia tidak menyangka ketika aku mengajaknya ikut pertemuan DPPW di Malang pada waktu itu. Aku mengatakan kepadanya bahwa pertemuan itu adalah pertemuan untuk membicarakan kesetaraan pria, wanita, dan transgender. Dia tidak menyangka bahwa GKJW bisa menerima kelompoknya yang demikian. "Kami hari ini sadar, Bu! Dalam perjalanan sejarah, kadang gereja juga melakukan kesalahan. Kami berbicara kasih Tuhan untuk semua, tapi kami lupa untuk mengasihi kelompok transgender." Dan aku sangat menghargai DPPW atas usaha mereka memperjuangkan ini.
Dalam pertemuan itu, Bu Sisca memberikan kesaksian tentang bagaimana dia berjuang selama ini. Tentang banyak hal senang dan susah yang dialaminya. Tentang dia yang dalam kondisinya mencoba untuk terus berbuat baik dan menjadi berarti bagi yang lain. "Kalau cuma tidak nyolong, nresnani musuh, membagikan kasih, menghormati orang lain, itu semua sangat mudah bagi saya. Tapi kalau saya diminta untuk menjadi laki-laki yang mencintai perempuan, yang hidup seperti laki-laki pada umumnya, itu yang saya tidak bisa. Menawi Gusti tidak mau menerima saya karena itu, saya pasrah. Ya sudah, bisa apa lagi, apa saya bisa membohongi diri sendiri." Aku tersenyum dan mengatakan kepadanya, "Saya saja mengerti, saya yakin teman-teman pendeta yang lain juga mengerti. Dan kita percaya kalau Tuhan jauh lebih mengerti daripada kita. Bukankah Dia Tuhan?"
Setelah saat itu Bu Sisca dikenal sebagai tokoh transgender di GKJW, tentu saja tidak setenar Merlyn. Tahun ini GKJW Jatiwringin mengundangnya untuk berbicara tentang transgender, demikian juga dengan MD Malang II. Dalam pertemuan di Jatiwringin, seorang ibu bertanya kepadanya. "Bu Sisca apa ya masih sampai sekarang suka sama laki-laki." Dan dia menjawab dengan jelas, keras, dan tegas, "Ijik! Sampai saiki ijik seneng!" Dan semuanya tertawa. Seorang penanya lain mengajukan sebuah pertanyaan, "Kalau nanti meninggal kepingin didandani lak-laki atau perempuan?" Dia pun menjawab, "Dalam diri saya, saya perempuan. Saya ingin ketika nanti meninggal saya didandani perempuan. Saya tidak peduli orang menguburkan saya di mana, mau dikuburkan di sini atau di sana toh saya sudah meninggal. Mau dikintirne kali ya saya masak saya kerasa, wong sudah meninggal." Dia mengatakan kepadaku, "Kula boten ngertos apakah Gusti akan menerima atau tidak. Kula tidak keberatan kalau masuk neraka sebagai perempuan." Aku diam.
Dia pun bertanya tentang pemburit dan banci yang ada di Alkitab. Aku berbicara tentang konteks jemaat Korintus dan Kota Sodom pada waktu itu. Bahwa mereka yang melakukan itu banyak yang melakukannya karena gaya hidup dan hanya memuaskan keinginan mereka. Itu bedanya dengan Bu Sisca. Pembicaran kami cukup panjang tentang hal itu.
Dan dia bertanya kepadaku, "Kula kan diudang dhateng Sitiarjo masalah transgender ini. Karena itu sebelum nanti tanggal 30 kula tindak Sitiarjo, kula kepingin tanya kepada pendeta kula rumiyin. Bagaimana kula menika kedahipun, Pak?" Aku diam. Aku tersenyum, "Ibu cukup menjadi Bu Sisca yang saya kenal. Tidak usah menjadi yang lain. Bagikan cerita ini supaya dunia tahu. Supaya mereka tidak asal mengatakan bahwa para transgender itu tidak berjuang." Aku pun memberitahu kepadanya bahwa ini salah satu perjuangan GKJW saat ini. "Kami ingin memperjuangkan supaya kelompok ini diterima oleh masyarakat, diakui keberadaannya. Dan ini perjuangan yang saya yakin tidak mudah dan tidak singkat. Kami mohon ibu mau kuat berjuang bersama kami." Dia mengangguk.
Dan dia sampai pada pertanyaan terakhirnya. Aku tahu pertanyaan ini akan ditanyakan, tapi aku tahu bahwa aku tidak pernah sebenar-benarnya tahu jawabannya. "Apakah kula punika bisa diberkati pernikahannya di GKJW, Pak, menawi kula menikah dengan sesama laki-laki?" Aku tidak berani menatapnya. Aku masih terdiam cukup lama sampai aku mencoba menjawabnya, aku menata kata-kataku, tapi aku tahu bahwa semuanya berantakan. Aku mengatakan kepadanya, "Secara pribadi saya sangat senang jika ibu bertemu dengan orang yang tepat dan akhirnya bisa bersama-sama dengan dia. Saya senang kalau saya bisa menjadi orang yang mendapat bagian dalam kebahagiaan ibu itu. Tapi ..." Aku menunduk, "Tata Pranata kita masih belum bisa memberkati pernikahan sesama jenis. Beberapa gereja di luar negeri bisa. Kalau ibu menghendaki saya bisa menghubungkan ibu. Tapi saya harus minta maaf, kalau untuk saat ini, secara pribadi mungkin saya bisa dan berharap hal itu bisa terwujud. Tapi lagi-lagi kita terbatas, bukan hanya Tata Pranata, Undang-undang Perkawinan di negara kita, UU No 1 tahun 1974 itu masih mengatakan bahwa pernikahan adalah antara laki-laki dan perempuan pada pasal 1-nya. Saya yakin aturan-aturan itu pun terbatas, tapi tentu bukan tanpa tujuan mengapa demikian. Saya minta maaf, Bu!" Dia yang tadi begitu bersemangat tampak sedikit kecewa, senyum itu hilang dari wajahnya. "Kalau ibu benar-benar menginginkan itu, beberapa negara di Eropa mengijinkan. Saya akan membantu jika ibu mungkin mengarapkan hal itu." Dia menarik napas panjang, "Kula punika sampun sepuh. Beberapa orang yang terakhir sareng kula nggih boten wonten ingkang sejatosipun niat untuk menikah kaliyan kula. Kathah ingkang namung kepingin ngeret banda. Wonten ingkang utang ngantos puluhan juta, nggih sampun kula lilaaken. Kula lampahi mawon Pak gesang kula niki. Sing penting jangan sampai melewati batas. Kula saged kok menawi ngempet, menahan diri."
Aku tidak tahu, semuanya serba membingungkan. "Bisa dibilang kita ini baru merintis jalan, Bu. Entah bagaimana hasilnya, kita juga tidak tahu sebenar-benarnya jalan Tuhan. Kalau jalan ini benar, ditekan bagaimana pun pasti Tuhan membuka jalannya. Entah pada saat itu nanti kita masih hidup atau sudah tidak ada. Tapi mungkin saja kita keliru, dan jika memang begitu, pasti ada cara Tuhan ngenggokne." Aku menyempatkan mengambil napas panjang, "Bu ... ah ... kadang kita menanam sesuatu, bukan untuk kita sendiri, tapi supaya anak-anak kita bisa memakan buahnya. Kadang di sanalah kebahagiaan itu. Bukan ketika kita mereguk semuanya, namun ketika kita memberikan yang terbaik yang kita bisa demi kehidupan. Mungkin kita tidak akan merasakan hasil dari perjuangan ini. Panjenengan dan saya. Namun untuk harapan itulah, saya nyuwun supaya ibu jangan menyerah, karena kami pun tidak." Dia tersenyum, "Nggih kados tiyang kakung ingkang terakhir kaliyan kula, tibane kula namung ditipu. Rumiyin kula tanglet apa mau kaliyan kula, jawabe ngggih. Tibane mung karep kaliyan bandha kula. Terakhir-terakhir kula ngertos tibane gadhah pacar arek wedok. Areke telpon, kula sing ngangkat. Nggih mbok bilih Gusti boten lila kula namung digunakan sebagai alat kemawon." Aku tidak tahu harus bagaimana selain tersenyum.
Kami masih berbicara banyak sesudahnya. Tentang rumahnya yang kemarin terdampak erupsi Kelud, tentang liku-liku pernikahan anaknya dengan menantunya, sampai sekarang menantunya bisa menjadi majelis gereja. Tentang cucunya yang sering ikut kalau dia tanggapan, dan selalu menarik wig dan bulu mata palsunya, "'Ojok ngono lah mbah, kayak banci lo!' Kula manut, lah wong putu." Kami juga berbicara tentang rencana pernikahan Rizal, warga jemaat Tunglur yang nanti menikah Bulan September, kebetulan aku yang memberkati dan Bu Sisca yang mengurus semuanya mulai dari riasan, dekor, hiburan, sampai video shootingnya.
Bu Bekti yang kebetulan ada di gereja memberikan dua gelas es kepada kami, kebetulan di Tunglur kami sedang merenovasi kamar mandi untuk persiapan sidang MD, dan Bu Bekti selama beberapa minggu ini membantu di gereja bahkan tanpa imbalan, "Kula sagede niki, Pak! Nggih niki pisungsung kula." Bu Sisca menolak halus dan memilih meminum Aqua yang aku berikan. "Sampeyan ngerti opo'o kok aku gak ngombe es?" Dia bertanya kepada Bu Bekti. Dia lalu menembang sebuah tembang Jawa. Aku melongo. Tahukah kalian, ketika dia menyinden, suaranya yang ngebass itu berubah menjadi nyengkling dan sangat indah. Itu benar-benar suara sinden!
Dia pamit. Aku, Bu Bekti, dan Bu Sri, yang terakhir bergabung bersama kami, mengantarkannya ke mobil. Di dalam mobil ada konde dan pakaian remong. Dia diminta untuk menari dan nyinden nanti malam.
Dia pamit. Aku, Bu Bekti, dan Bu Sri, yang terakhir bergabung bersama kami, mengantarkannya ke mobil. Di dalam mobil ada konde dan pakaian remong. Dia diminta untuk menari dan nyinden nanti malam.
No comments:
Post a Comment