Whatever you want...

Wednesday, December 7, 2016

Pendidikan Media, Kemiskinan, dan Pendidikan

| No comment
Perbincangan tentang dunia adalah senantiasa perbincangan tentang dua kubu yang saling memenangkan pengaruh -kekuasaan. Kendaraannya bisa apa saja, umumnya materi dan SARA. Peta dunia selalu bisa dilihat dari peta negara terbesarnya. Itu pertama, berikutnya adalah kekuatan ekonominya, dan berikutnya adalah militer. Maka aku yakin seusai 1991, wajah dunia berubah.
Maka bisa dibilang gerakan Non Blok yang sebenarnya sudah dirintis tahun 1961 adalah sebuah gerakan alternatif dari pelanduk yang tidak hendak mati di tengah-tengah gajah. Namun toh sebenarnya tidak mungkin ada gerakan ketiga - yang ideal itu. Karena gerakan ketiga demikian pasti akan terlalu mudah disusupi atau dimatikan. Pertarungan pengaruh - kekuasaan senantiasa berkisar antara dua kubu. (Tentu ini bukan tentang siapa pihaknya, tapi pola).

Di Indonesia riak-riaknya bisa terasa. Setelah 1961 ada peristiwa 1965. Setelah peristiwa 1991 ada 1998. Belum termasuk menghitung kekalahan NAZI 1939-1945, dan berikut disusul kemerdekaan Indonesia. Butuh waktu sampai riak itu sampai di sini. Tetapi afiliasinya jelas nampak menuju ke mana. Dan pihak mana yang terlibat selalu bisa terbaca, walaupun tidak selalu jelas. Dan aku selalu membaca bahwa Indonesia selalu tentang dua orang itu, Soekarno dan Soeharto (setidaknya dua orang itu yang tampil di panggung, perancang strateginya rasanya yang terbesar adalah Sutan Sjahrir dan Ali Moertopo - jika hendak lebih vulgar).

Kekuasaan besar hari ini terjadi antara Negara penghasil Apple versus Xiaomi. Dulu negara Xiaomi tidak diperhitungkan karena produknya selalu berkualitas nomor dua. Namun pada saat-saat ini, mereka merangkak menjadi kekuatan besar. Apalagi sejak mereka tidak ikut terpecah karena peristiwa 1991.

Di Indonesia, wacana yang dihembuskan senantiasa tentang SARA. Didukung oleh tingginya kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan (semangat belajar) warga negara ini, masalah SARA saja bisa sudah cukup untuk menggoyahkan konstitusi. Sedih memang, bahwa identitas yang dibenturkan adalah identitas-identitas primordial. Dan apa pun yang primordial, pasti akan mengikat secara primer.

Maka masalah utama sebenarnya adalah tentang damai sejahtera. Damai dan sejahtera. Agama bisa menjadi jalan damai yang mumpuni. Namun jika ini tidak dibarengi sejahtera, maka singa tetap akan memakan lembu. Aku sedang menisbikan kemungkinan bahwa ada rantai makanan, untuk tulisan ini, karena dengan memasukkan itu, maka aku akan menjadi nihilistis. Tidak ada yang salah dengan nihilistis, namun sejak Piagam Hak Asasi Manusia disetujui oleh PBB, maka arahnya adalah pro-eksistensi. Dan untuk pro-eksistensi, nihilisme semestinya sejenak dipinggirkan.

Genjotan sejahtera diupayakan minimal dengan tiga hal: perbaikan ekonomi, perbaikan pendidikan, dan perbaikan layanan kesehatan. Miris bahwa dua yang terakhir hari ini sudah dinilai dari yang pertama: ekonomi. Materialisme sudah merajalela, karena penguasaan materi menjadi berarah pada penguasaan kedua hal yang lain. Dan sejak materi menjadi rajanya, maka satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah pendidikan - karena pendidikan menghasilkan nilai dan pro eksistensi.
Peristiwa 411, 3011, 212, 412 sebenarnya mengambil pola yang tak berbeda dengan peristiwa 1965 dan 1998. Namun ada satu hal yang nampaknya sedikit berbeda. Bahwa kekuasaan militer hari ini tidak mutlak, karena di samping militer juga ada kekuatan baru yang sedang bertumbuh kencang: Media. Artinya, bahwa untuk negeri ini diplomasi yang bisa dilakukan sekarang bukan sekadar diplomasi kenegaraan seperti paska 1945, namun diplomasi juga melibatkan pendekatan media.
Maka tidak salah jika strategi pertama yang dilakukan hari ini adalah pembenahan UU ITE. Karena ini adalah langkah darurat sebelum menuju pada Kemiskinan dan Pendidikan. Namun ini hanya langkah antara. Tujuannya tetap pada sejahtera.

Dengan kata lain, kemendesakan ini menuntutkan pendidikan media yang baik. Pendidikan media di era digital ini termasuk pengunggahan, penyebaran, dan pembacaan. Ini yang harus pertama kali diselesaikan. Namun bagaimanapun ini tetap perlu menimbang siapa penerimanya. Karena di tengah arus skeptisme nasional pada banyak golongan potensial (baca: muda), caranya harus cerdik dan cermat. Bahkan bisa jadi tahapannya lebih panjang. Sehingga bersama dengan tahapan panjang itulah maka pembenahan ekonomi dan pendidikan bisa menjadi jalan samping yang mulai dikerjakan sungguh-sungguh. Sebut saja tahun pertama ini ada alokasi 50 persen, letakkanlah yang 20 persen untuk pendidikan media, sedangkan 15 persen untuk kemiskinan, dan 10 persen untuk pendidikan. Sedangkan lima persen yang lain untuk kerja sosial. Aku rasa lima persen sudah terhitung 10 persennya dari 50 persen. Jangan lupakan amal.

Untuk tulisan ini, saya harus mencukupkan sampai di sini. Karena jika dibaca oleh bagi para pemikir strategis, aku rasa ini cukup. Untuk para praktisi, semoga aku bisa menuliskan berikutnya.
Tags :

No comments:

Post a Comment