Whatever you want...

Thursday, December 15, 2016

Membaca Pola (1)

| No comment
Membaca not balok bukan seperti membaca rumus matematis (walaupun sebenarnya matematis) bahwa di garis terbawah treble clef kunci G adalah nada E. Membaca biji-biji kecambah itu lebih seperti membaca sebuah gambar dan menemukan polanya, jari lalu bergerak seiring pola yang tergambar di sana. Membacanya sebagai rumus akan membuat orang berpikir dua kali, seperti menerjemahkan bahasa jawa dalam konsep pikir bahasa Indonesia.

Demikian pula menjahit, tidak mungkin orang menjahit tanpa pola. Bahkan yang paling unconventional sekalipun. Bahkan mereka yang sudah sangat ahli dan tak perlu kertas pola pun sebenarnya sudah punya gambaran pola itu di dalam benaknya. Pola itu menjadi panduan dasar untuk mengembangkan ke arah yang lebih kaya.

Bahkan dalam teori chaos pun, ada pola berulang (salah satu yang terkenal misalnya Lorenz System). Teori chaos menunjukkan bahwa sesuatu yang sangat random dan tanpa arah pun (bahkan menuju pada kematian dan ketiadaan abadi pun) sebenarnya punya pola yang jelas dan bisa dibaca.

Demikian pun dengan masalah berbangsa belakangan. Atraktor-atraktornya bisa dilihat dari jejak yang sudah ditilaskan pada masa-masa yang sebelumnya. Karena itu pembacaan atas sejarah diri dan track record menjadi penting dalam membaca seorang tokoh. Demikianlah peribahasa Jawa menyebutnya, "Nek watuk ana obate, tapi nek watak gak nok tambane." Menarik bahwa radikalisme lagi-lagi muncul di tengah suasana pilkada yang ramai. Sebenarnya segera nampak siapa yang hendak dikorbankan (yang adalah rakyat) dan siapa yang sedang mengorbankan, siapa yang membela mereka yang dikorbankan. Tentu masih ada lubang-lubang teka-teki, namun lubang itu sebenarnya bisa dibaca dari pola-pola berulang yang telah dilakukan sepanjang kehidupan para tokoh itu.

Masalahnya adalah jika generasi hari ini lantas memilih (dipilihkan) sistem berpikir ignorant. Dampaknya adalah seolah-olah paham, namun sebenarnya tidak, atau yang lebih buruk yang sama sekali tidak peduli dengan apa pun yang terjadi. Dan akhirnya menjadi serta merta generasi have fun, as long as I am having fun, no matter with the others. Ini layak membuat prihatin.
Berikut adalah organisasi keagamaan. Radikalisme agama semestinya bersinggungan dengan permasalahan organisasi keagamaan. Jika lembaga keagamaan lantas lebih nyaman dengan proyek tahunan ketimbang melihat perubahan sosial yang terjadi, maka itu menyedihkan.

Pola sistem yang sedang terjadi di Indonesia memang tidak sekadar melibatkan Indonesia, rasanya, namun juga melibatkan pihak-pihak luar yang berkepentingan secara politis dan ekonomi. Pola ini sekilas mirip dengan pola yang terjadi di Indonesia tahun 1955 ketika terjadi Pemilu pertama, ketika akhirnya pada tahun 1956 Hatta memilih meninggalkan Soekarno dan menjadi oposisi. Namun perbedaannya adalah bahwa sekalipun di panggung politik Soekarno dan Hatta saling menyerang, tetapi dalam kehidupan pribadi mereka tetap dekat sebagai sahabat. Arah perjuangan mereka jelas, pada kedaulatan NKRI. Hatta dengan sistem multipartainya, Soekarno dengan upaya penjagaan stabilitas nasional.

Sedangkan jika harus menyamakan pola, rasanya pola hari ini lebih dekat dengan pola yang terjadi pada tahun 1965. Soekarno dengan mimpinya bersama PKI untuk mimpinya pada kedaulatan rakyat bersama, disusupi oleh kepentingan orang untuk maju memperjuangkan keuntungan pribadinya. Namun pada saat itu posisi Soekarno memang semakin lemah di antara para sekutunya, karena dikenal otoriter dan feodal. Bahkan Soekarno membredel koran dan majalah mengkritik dirinya. Jika ada variabel yang lain yang ikut bermain pada saat ini, maka itu adalah media.

Upaya yang perlu dilakukan secara politis sedang ditempuh hari ini baik oleh eksekutif maupun legislatif. Maka nampaknya selain upaya pembangunan kesadaran politis, nampaknya media menjadi alat yang perlu disadari juga posisinya.
(bersambung)
Tags :

No comments:

Post a Comment