Whatever you want...

Wednesday, September 28, 2016

Sejak Mereka Hilang

| No comment

Mereka adalah anak-anak muda kritis. Mungkin benar bahwa kehadiran mereka seperti teror. Mereka punya wadah, isinya mereka dan kawan-kawan mereka. Di wadah itu mereka seperti berkuasa berbicara atas nama diri dan yang lain, mengkritik sana dan mengkritik sini, memuji sana dan memuji sini. Mereka mungkin dekat dengan semangat dan ideologi para pejuang idealisme. Dan mereka tidak takut berbantah dengan para pengambil kebijakan. Sayang, yang nampak pada saat itu mereka seolah hidup dari nadi para pembuat kebijakan itu. Dan itu menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk memakan mereka hidup-hidup. Menyebut mereka dan cerita mereka sebagai pahit.

Yang terberat dari semuanya memang seringkali terkait dengan saudara. Apalagi ini bumi Jawa. Bumi Jawa menjaga saudara seperti permata. Dan tak ada yang lebih indah dari itu. Maka seringkali di Jawa, kepada saudara, orang menjadi tak awas. Saudara harus didukung dan dikuatkan. Eman, bagi banyak orang, mengkritik tak termasuk di dalamnya. Maka ketika kritikan dilayangkan, kadang saudara menjadi musuh menyedihkan.

Namun harga yang harus dibayar dengan hilangnya mereka adalah tak ada lagi media. Dan para pembuat kebijakan itu tak mencoba mencari lagi bentuk yang lain. Nyatanya – dan yang membuat sedih – adalah semuanya sama-sama berjuang untuk kebaikan. Hanya saja tak benar-benar siap ketika ada di persimpangan jalan. Bukan hanya itu, namun kita kehilangan lingkaran diskusi kritis, khususnya tentang analisis sosial. Betapa lemah lalu sistem yang tak didukung analisis demikian, keputusan bisa berubah dalam seketika, karena kadag tak berpikir dampak yang lebih panjang. Terlalu banyak upaya penyelamatan. Dan orang tak sadar dibingungkan. Karena tanpa diskusi para muda kritis itu, yang tersisa adalah para penyelenggara. Para pengide menjadi langka, dan dianggap barang absurd yang melelahkan. Ditambah kenyataan pahit banyak orang berhenti membaca. Tidak ada yang salah dengan pragmatisme. Ketika pragmatisme diambil sebagai upaya sementara. Namun jika sebuah sistem dibangun di atas pragmatisme, maka yang terjadi bisa jadi jual beli.

Sekarang para muda yang penuh semangat kadang terasa tak lebih dari pemuja gadget yang menceritakan kebahagiaan mereka dalam foto-foto manja. Memotret kecantikan yang tiada tara. Seolah-olah dunia penuh kebahagiaan semata, dan diam-diam mereka bergalau ria. Begitu rapuh bahkan ketika mereka bersama-sama, seperti seonggok buntalah kapas yang siap diterbangkan angin besar. Menjadi lupa berinvestasi pada yang nyata-nyata dibutuhkan. Lalu menjadi reaktif. Tidak sadarkah bahwa harmoni Jawa ini selalu berada dalam masa antara, selalu menjadi?

Entahlah mungkin aku beromantisme dengan kenangan. Namun aku sendiri merasa benar-benar kehilangan. Aku pesimis, tapi bersama dengan itu, aku tidak bisa berbohong bahwa aku menyimpan harapan besar. 
Tags :

No comments:

Post a Comment