Mereka adalah anak-anak muda kritis. Mungkin benar bahwa kehadiran mereka seperti teror. Mereka punya wadah, isinya mereka dan kawan-kawan mereka. Di wadah itu mereka seperti berkuasa berbicara atas nama diri dan yang lain, mengkritik sana dan mengkritik sini, memuji sana dan memuji sini. Mereka mungkin dekat dengan semangat dan ideologi para pejuang idealisme. Dan mereka tidak takut berbantah dengan para pengambil kebijakan. Sayang, yang nampak pada saat itu mereka seolah hidup dari nadi para pembuat kebijakan itu. Dan itu menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk memakan mereka hidup-hidup. Menyebut mereka dan cerita mereka sebagai pahit.
Yang terberat
dari semuanya memang seringkali terkait dengan saudara. Apalagi ini bumi Jawa.
Bumi Jawa menjaga saudara seperti permata. Dan tak ada yang lebih indah dari
itu. Maka seringkali di Jawa, kepada saudara, orang menjadi tak awas. Saudara
harus didukung dan dikuatkan. Eman, bagi banyak orang, mengkritik tak termasuk
di dalamnya. Maka ketika kritikan dilayangkan, kadang saudara menjadi musuh
menyedihkan.
Namun harga yang
harus dibayar dengan hilangnya mereka adalah tak ada lagi media. Dan para
pembuat kebijakan itu tak mencoba mencari lagi bentuk yang lain. Nyatanya – dan
yang membuat sedih – adalah semuanya sama-sama berjuang untuk kebaikan. Hanya
saja tak benar-benar siap ketika ada di persimpangan jalan. Bukan hanya itu,
namun kita kehilangan lingkaran diskusi kritis, khususnya tentang analisis
sosial. Betapa lemah lalu sistem yang tak didukung analisis demikian, keputusan
bisa berubah dalam seketika, karena kadag tak berpikir dampak yang lebih
panjang. Terlalu banyak upaya penyelamatan. Dan orang tak sadar dibingungkan.
Karena tanpa diskusi para muda kritis itu, yang tersisa adalah para
penyelenggara. Para pengide menjadi langka, dan dianggap barang absurd yang
melelahkan. Ditambah kenyataan pahit banyak orang berhenti membaca. Tidak ada
yang salah dengan pragmatisme. Ketika pragmatisme diambil sebagai upaya
sementara. Namun jika sebuah sistem dibangun di atas pragmatisme, maka yang
terjadi bisa jadi jual beli.
Sekarang para
muda yang penuh semangat kadang terasa tak lebih dari pemuja gadget yang
menceritakan kebahagiaan mereka dalam foto-foto manja. Memotret kecantikan yang
tiada tara. Seolah-olah dunia penuh kebahagiaan semata, dan diam-diam mereka
bergalau ria. Begitu rapuh bahkan ketika mereka bersama-sama, seperti seonggok
buntalah kapas yang siap diterbangkan angin besar. Menjadi lupa berinvestasi
pada yang nyata-nyata dibutuhkan. Lalu menjadi reaktif. Tidak sadarkah bahwa
harmoni Jawa ini selalu berada dalam masa antara, selalu menjadi?
No comments:
Post a Comment