Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta di depan mata. Siapa yang akan berpeluang memimpin Jakarta
ke bukan ditentukan Februari tahn depan. Ada beberapa gejala otentisitas
menarik dari Pilgub Jakarta tersebut:
- Resistensi pada parpol menunjukkan reaksi otentik masyarakat atas kerja Parpol di Indonesia. Ketiga calon gubernur bukan berasal dari Parpol. Ahok pernah naik sebagai Kader Gerindra, namun nyatanya dia memutuskan untuk melepaskan diri karena perbedaan paham. Parpol tentu menyatakan dukungannya. Bisa dimengerti kepentingan Parpol di sini. Namun dalam jajak pendapat publik nyatanya Parpol bukan pertimbangan utama. Ketokohan seseorang akhirnya lebih menentukan. Dan ketokohan dibangun dari track record. Tentu saja Parpol akan menentukan sangat banyak ke depan, namun kali ini permainan mereka lebih ‘nampak’ berbudaya.
- Bukan janji. Yang menarik dari ketiga cagub Jakarta adalah bahwa ketiganya tidak berangkat dari janji mereka pada rakyat. Rakyat Indonesia sudah lelah dengan janji. Kerja Ahok di Jakarta, keterlibatan Anies Baswedan di Pendidikan, dan Agus di militer (selain tentu saja di anak SBY) adalah penentu. Otentisitas pemilihan lahir dari apresisiasi kerja, ini adalah langkah yang baik dalam demokrasi.
- SARA sering dipergunakan sebagai alat permainan kekuasaan selama beberapa dekade di Indonesia. Sampai hari ini gejala demikian masih kuat. Hal ini nampak misalnya: dukungan warga Kristen dan Katolik pada Ahok, demikian juga warga etnis keturunan, masih menyisakan itu. Dukungan partai Islam pada masyarakat beragama Islam hingga viralnya pulangkan Ahok ke China di media sosial masih sangat kuat. Ahok memang media darling karena kemampuannya untuk tampil frontal dan apa adanya, tanpa sadar itu seperti memberikan kesempatan bernaapas bagi banyak pihak yang terepresi oleh sistem. Namun faktor SARA demikian sangat lemah untuk menentukan elektabilitas calon, tetapi karena kinerjanya. Hal ini menunjukkan kesadaran berpolitik (minimal di aras thin consciouseness) sedang bertumbuh.
- Kebebasan berbicara yang semakin tinggi. Hal ini nampak dari lahirnya banyak polling baik yang bertanggungjawab maupun yang abal-abal di media. Lahirnya berbagai web dan blog yang bisa berbicara apa pun berbicara lebih banyak daripada sekadar hasil yang mereka paparkan. Sehingga bisa dikatakan bahwa hari ini orang menjadi lebih otentis, tidak takut dan khawatir berbicara. Memang ekses negatif dari pemberitaan false media semakin besar juga. Namun ini konsekuensi dari demokrasi. Saya pribadi lebih apresiatif ketimbang menyarankan harus dikontrol berlebihan. Setidaknya ini menunjukkan bahwa media kita memang bukan untuk para faint hearted yang menye-menye bersama sinetron dan reality show tidak bermutu Indonesia.
Jadi saya pribadi
agak optimis dengan aliran kebebasan ini. Walaupun tentu saja tidak mungkin
pendulum hanya akan bergerak ke satu arah, namun setidaknya hari ini akan
menjadi catatan sejarah penting bagi kehidupan warga Indonesia ke depan. Dan
bagi saya, kebebasan itu menunjukkan penghargaan pada kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment