PENGANTAR DISKUSI KELOMPOK BESAR
KONVEN PENDETA GKJW 2016
KONVEN PENDETA GKJW 2016
I
Ayu Utami dalam pengantarnya pada terjemahan Bahasa
Indonesia buku Jesus Today oleh Albert Nolan menyatakan demikian: kita hidup di
era postmodern, tetapi kita kerap masih beriman seperti abad pertengahan dan
berpikir seperti abad pencerahan. Disadari atau tidak pola berteologi kita pada
saat ini masih mengandaikan kita hidup pada masa keemasan gereja. Hal tersebut
membuat kita agak kurang awas pada perubahan-perubahan yang terjadi di
sekeliling kita. Akibatnya adalah spiritualitas kita kadang menjadi tidak
otentik. Dan hal tersebut bisa sangat berdampak pada pelayanan gerejawi kita.
Ketika kehidupan warga jemaat sudah begitu dinamis, kita terlibat dalam dua
pola, jika tidak menjadi relevan dengan kedinamisan kehidupan itu yang
diam-diam menjadikan kita menjadi pragmatis, kita juga bisa jatuh pada
romantisme identitas dan menganggap bahwa identitas itu pas diterapkan dalam
segala macam kondisi termasuk pada berbagai jenis perubahan yang terjadi saat
ini.
Maka nampaknya menjadi cukup beralasan ketika kita
kemudian melihat kembali spiritualitas Yesus dan mencoba mendoalogkannya dengan
konteks kehidupan kita hari ini. Bersama dengan itu menjadi rendah hati
memeriksa di manakah posisi kita di tengah dialog tersebut. Sehingga pada
akhirnya, jika pun kita belum sampai mempunyai kesimpulan-kesimpulan, setidaknya
kita cukup memiliki pijakan untuk berjalan. Toh jika kenyataannya warna
spiritualitas kita bisa sangat beragam, namun akar kita tetap pada teks dan
konteks yang sama.
II
Dunia hari ini mengalami percepatan yang semakin
bergegas. Sejak ditemukannya internet sebagai alat bahkan wahana komunikasi-informasi,
maka corak komunikasi yang dahulu cenderung tertutup dan dua arah, hari ini
menjadi mengarah ke segala penjuru dengan keterbukan tanpa batas. Bersama dengan itu konsep www (whatever, wherever,
whenever) sudah menjadi pola informasi kita hari ini. Orang tidak lagi
menyimpan perasaannya di buku harian atau membagikannya kepada lawan bicaranya,
tetapi hari ini apa pun bisa dibagikan kepada siapa pun di mana pun. Warga
jemaat sudah tidak lagi belajar Alkitab dari pendeta, tetapi sudah dari
berbagai perangkat media sepanjang tersambung dengan jaringan. Teologi menjadi
bukan lagi sesuatu yang eksklusif dimiliki oleh para teolog, tetapi milik semua
orang. Maka tidak jarang terdengar kalimat, “Teologi itu mudah, namun
spiritualitas itu perkara lain.” “Teologi itu berubah namun spiritulitas tetap.”
Dan sejenisnya. Sampai yang paling nampak adalah, “Orang pintar itu di
mana-mana, namun orang yang berkomitmen (termasuk di dalamnya setia) itu
jarang.”
Perubahan pola komunikasi-informasi kadang bahkan sampai
pada: yang terpenting bukan apa yang benar, tetapi apa yang baru. Sebuah pembinaan
akan menarik ketika terasa baru. Khotbah yang baik adalah yang menarik. Gaya
ibadah dan kebaktian perlu bervariasi, dan banyak hal yang serupa dengan itu. Akhirnya
kita seperti dihujani variasi, dan yang tidak bervariaso (monoton) adalah “tidak
njaman”. Di tengah derasnya variasi itu, kreativitas menjadi sebuah standar
yang dituntutkan dan akhirnya dipacu. Namun pada saat yang sama, orang tidak
bisa berjenak. Waktu henti menjadi sedemikian singkat sebelum segala aktivitas
lain. Orang menjadi merasa bersalah ketika diam. Orang harus melakukan sesuatu
dan sesuatu itu harus baru. Upaya mencari kebaruan terjadi terus menerus dan
tanpa henti.
Tradisi ini paling banyak dihidupi dalam dunia kerja.
Profesionalitas menuntut seseorang untuk tidak berhenti, terus berinovasi dan
bergerak. Mereka yang banyak berhenti adalah pemalas. Kenaikan status berarti
sebuah upgrading dari yang pernah ada. Tujuannya melulu pada mencari kebaruan.
Dunia menjadi sedemikian sibuk. Kehidupan menjadi semakin rakus pada sumber
daya. Keluarga ditinggalkan demi profesionalitas. Nilai dinegosiasi demi
tujuan. Mezbah tidak lagi berada di gereja, mezbah ada di tumpukan pekerjaan.
Semakin bekerja semakin bermartabat.
Di sisi lain ada orang-orang yang ingin memperbaiki keadaan
terus menerus. Menganggap yang pernah
ada tidak pernah cukup. Segala sesuatu adalah yang bisa bersaing baik secara
kualitas dan kuantitas. Kontestasi terjadi di mana-mana. Mana gereja yang
paling baik. Siapa pendeta yang paling OK. Siapa yang paling memberi semangat
dan motivasi. Maka dunia menjadi penuh para motivator.
III
Pesan Alkitab hari ini didapatkan melalui berbagai media.
Jika dulu buku teologi menjadi sumber utama, maka har ini film bahkan joke-joke
bisa menjadi sumber berteologi alkitabiah. Media-media ini lantas menjadikan
pesan Alkitab menjadi begitu populer. Dikenal namun juga tidak dikenal. Ada
sebuah istilah yang menjadi mengemuka: banal/ dangkal. Pesan alkitab lalu tidak
menjadi personal, tetapi pertama kali sosial. Ada sebuah pembalikan, jika dulu
yang personal menjadi sosial, hari ini yang sosial bisa menjadi personal.
Hal tersebut menjadikan Alkitab semakin bisa menyebar
dengan skala yang luas, namun pada saat yang sama pesan Alkitab menjadi kembar
dan satu rupa. Begitu orang membaca Matius 6: 33 mereka sudah langsung tahu
maknanya, tanpa perlu berefleksi. Upaya berkaca diri menjadi kedua setelah
retorika.
IV
Lalu stop.
Dunia tiba-tiba mengalami kerinduan besar pada spiritualitas.
Dan ketika sampai di titik itu, gereja dan institusi
religius seperti GKJW dan sejenisnya yang cenderung berjarak dengan percepatan,
telah terlanjur dicap sebagai fosil, legalistik, dogmatis, dan otoritarian. Kelelahan
spiritualitas itu bertemu dan sejajar dengan kelelahan pada institusi
keagamaan.
V
Berbagai model spiritualitas religius mulai digali dan
diteliti dengan seksama. Dale Cannon misalnya membagi pola spiritulitas
seseorang menjadi 6 (Six Ways of Being
Religious, 2006) dengan menyatakan bahwa setiap orang punya corak dominan
dalam hidup spiritualitasnya:
a. Sacred Rite/ Ritus suci: sebuah upaya yang dilakukan secara fisik
dengan mengikuti tradisi untuk menjadi religius.
b. Reasoned Inquiry/ Penggalian akal budi: penggalian makna dengan segala daya
upaya teologis sistematis.
c. Right Action/ Aksi yang tepat: melakukan sebaik-baiknya apa yang
dianggapnya tepat.
d. Devotion/ penyembahan: dengan setiap melakukan pemujaan pada apa
yang dianggapnya paling berarti dan dekat.
e. Shamanic Mediation/ mediasi samanik: upaya untuk
berbicara dengan Tuhan dengan perantaraan penghilatan, mimpi, dan hal-hal yang
supernatural.
f.
Mythical Quest/ jalan mistis:
melakukan peziarahan dengan tujuan untuk memenuhi sebuah panggilan mulia.
Ada yang menjadi begitu canggih, namun juga ada yang
mulai kembali pada kesederhanaan. Para mistikus seperti Meister Eckhart dan
Henri Nouwen menjadi idola banyak spiritualis. Bahkan tidak jarang yang kembali
pada tradisi gereja perdana, Yahudi mula-mula, hingga Buddhisme. Komunitas
meditatif serupa Taize menjadi jujugan wisata rohani. Tempat-tempat retreat
menjamur di segala penjuru dunia. Tempat-tempat tenang menjadi idaman. Maka ada
situs-situs tertentu yang kemudian kembali disakralkan atau dibuat sakral.
Alasannya sederhana, kerinduan besar pada spiritualitas
di tengah segala aktivitas dan hubungan (bahkan yang paling teologis) yang
kemudian menjadi teknis, mekanis, bahkan yang semakin kerap kita dengar:
transaksional.
VI
Kebijakan struktural GKJW kadang dirasakan tidak
berjembatan dengan karya kultural gerejawi. Perpisahan terjadi, bahkan pada
sesuatu yang berangkat dari sumber yang sama, justru karena nilai-nilai berbeda dari sumber yang
sama. Identitas menjadi dirasakan perlu untuk tersimpul dan mengkristal. Pertanyaan
semacam “Eklesiologi GKJW itu semacam apa?” “Teologi GKJW itu yang bagaimana?”
menjadi pertanyaan yang semakin kerap ditanyakan dengan kritis hingga sembrono.
Titik berangkatnya bisa jadi tidak berbeda: kerinduan pada spiritualitas
kristis di tengah perubahan sosial yang semakin deras terjadi.
Hal ini pada akhirnya berpengaruh pada langkah-langkah
(pelayan) gerejawi dalam menetapkan hal-hal yang paling teknis, sebut saja
proyek. Proyek gereja/ program menjadi gambaran paling sederhana dalam melihat
itu. Namun sebelum sampai di sana, bukankah penting untuk kembali dan berefleksi.
Tarikan yang tanpa henti terjadi ada pada tempat yang
tidak jauh berbeda: apa panggilan mula-mula Gereja dan apa yang dihadapi oleh
gereja hari ini. Maka di titik inilah, para pendeta GKJW menjadi perlu
bergumul.
VII
Ada empat hal (4K)
yang tidak bisa hilang dalam perjalanan:
a.
Kompetensi
b.
Kontekstualisasi
c.
Kreativitas
d.
Komitmen
Bagaimanakah keempat hal tersebut bisa berjalan bersama.
Apakah yang perlu dilepaskan? Apakah yang perlu dipegang dan dipertahankan? Di
manakah batasnya?
Selamat berkonven!
No comments:
Post a Comment