Whatever you want...

Saturday, August 13, 2016

SPIRITUALITAS PELAYANAN PENDETA GKJW

| No comment
PENGANTAR DISKUSI KELOMPOK BESAR
KONVEN PENDETA GKJW 2016

I
Ayu Utami dalam pengantarnya pada terjemahan Bahasa Indonesia buku Jesus Today oleh Albert Nolan menyatakan demikian: kita hidup di era postmodern, tetapi kita kerap masih beriman seperti abad pertengahan dan berpikir seperti abad pencerahan. Disadari atau tidak pola berteologi kita pada saat ini masih mengandaikan kita hidup pada masa keemasan gereja. Hal tersebut membuat kita agak kurang awas pada perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling kita. Akibatnya adalah spiritualitas kita kadang menjadi tidak otentik. Dan hal tersebut bisa sangat berdampak pada pelayanan gerejawi kita. Ketika kehidupan warga jemaat sudah begitu dinamis, kita terlibat dalam dua pola, jika tidak menjadi relevan dengan kedinamisan kehidupan itu yang diam-diam menjadikan kita menjadi pragmatis, kita juga bisa jatuh pada romantisme identitas dan menganggap bahwa identitas itu pas diterapkan dalam segala macam kondisi termasuk pada berbagai jenis perubahan yang terjadi saat ini.
Maka nampaknya menjadi cukup beralasan ketika kita kemudian melihat kembali spiritualitas Yesus dan mencoba mendoalogkannya dengan konteks kehidupan kita hari ini. Bersama dengan itu menjadi rendah hati memeriksa di manakah posisi kita di tengah dialog tersebut. Sehingga pada akhirnya, jika pun kita belum sampai mempunyai kesimpulan-kesimpulan, setidaknya kita cukup memiliki pijakan untuk berjalan. Toh jika kenyataannya warna spiritualitas kita bisa sangat beragam, namun akar kita tetap pada teks dan konteks yang sama.

II
Dunia hari ini mengalami percepatan yang semakin bergegas. Sejak ditemukannya internet sebagai alat bahkan wahana komunikasi-informasi, maka corak komunikasi yang dahulu cenderung tertutup dan dua arah, hari ini menjadi mengarah ke segala penjuru dengan keterbukan tanpa batas.  Bersama dengan itu konsep www (whatever, wherever, whenever) sudah menjadi pola informasi kita hari ini. Orang tidak lagi menyimpan perasaannya di buku harian atau membagikannya kepada lawan bicaranya, tetapi hari ini apa pun bisa dibagikan kepada siapa pun di mana pun. Warga jemaat sudah tidak lagi belajar Alkitab dari pendeta, tetapi sudah dari berbagai perangkat media sepanjang tersambung dengan jaringan. Teologi menjadi bukan lagi sesuatu yang eksklusif dimiliki oleh para teolog, tetapi milik semua orang. Maka tidak jarang terdengar kalimat, “Teologi itu mudah, namun spiritualitas itu perkara lain.” “Teologi itu berubah namun spiritulitas tetap.” Dan sejenisnya. Sampai yang paling nampak adalah, “Orang pintar itu di mana-mana, namun orang yang berkomitmen (termasuk di dalamnya setia) itu jarang.”
Perubahan pola komunikasi-informasi kadang bahkan sampai pada: yang terpenting bukan apa yang benar, tetapi apa yang baru. Sebuah pembinaan akan menarik ketika terasa baru. Khotbah yang baik adalah yang menarik. Gaya ibadah dan kebaktian perlu bervariasi, dan banyak hal yang serupa dengan itu. Akhirnya kita seperti dihujani variasi, dan yang tidak bervariaso (monoton) adalah “tidak njaman”. Di tengah derasnya variasi itu, kreativitas menjadi sebuah standar yang dituntutkan dan akhirnya dipacu. Namun pada saat yang sama, orang tidak bisa berjenak. Waktu henti menjadi sedemikian singkat sebelum segala aktivitas lain. Orang menjadi merasa bersalah ketika diam. Orang harus melakukan sesuatu dan sesuatu itu harus baru. Upaya mencari kebaruan terjadi terus menerus dan tanpa henti.
Tradisi ini paling banyak dihidupi dalam dunia kerja. Profesionalitas menuntut seseorang untuk tidak berhenti, terus berinovasi dan bergerak. Mereka yang banyak berhenti adalah pemalas. Kenaikan status berarti sebuah upgrading dari yang pernah ada. Tujuannya melulu pada mencari kebaruan. Dunia menjadi sedemikian sibuk. Kehidupan menjadi semakin rakus pada sumber daya. Keluarga ditinggalkan demi profesionalitas. Nilai dinegosiasi demi tujuan. Mezbah tidak lagi berada di gereja, mezbah ada di tumpukan pekerjaan. Semakin bekerja semakin bermartabat.
Di sisi lain ada orang-orang yang ingin memperbaiki keadaan terus menerus. Menganggap yang  pernah ada tidak pernah cukup. Segala sesuatu adalah yang bisa bersaing baik secara kualitas dan kuantitas. Kontestasi terjadi di mana-mana. Mana gereja yang paling baik. Siapa pendeta yang paling OK. Siapa yang paling memberi semangat dan motivasi. Maka dunia menjadi penuh para motivator.

III
Pesan Alkitab hari ini didapatkan melalui berbagai media. Jika dulu buku teologi menjadi sumber utama, maka har ini film bahkan joke-joke bisa menjadi sumber berteologi alkitabiah. Media-media ini lantas menjadikan pesan Alkitab menjadi begitu populer. Dikenal namun juga tidak dikenal. Ada sebuah istilah yang menjadi mengemuka: banal/ dangkal. Pesan alkitab lalu tidak menjadi personal, tetapi pertama kali sosial. Ada sebuah pembalikan, jika dulu yang personal menjadi sosial, hari ini yang sosial bisa menjadi personal.
Hal tersebut menjadikan Alkitab semakin bisa menyebar dengan skala yang luas, namun pada saat yang sama pesan Alkitab menjadi kembar dan satu rupa. Begitu orang membaca Matius 6: 33 mereka sudah langsung tahu maknanya, tanpa perlu berefleksi. Upaya berkaca diri menjadi kedua setelah retorika.

IV
Lalu stop.
Dunia tiba-tiba mengalami kerinduan besar pada spiritualitas.
Dan ketika sampai di titik itu, gereja dan institusi religius seperti GKJW dan sejenisnya yang cenderung berjarak dengan percepatan, telah terlanjur dicap sebagai fosil, legalistik, dogmatis, dan otoritarian. Kelelahan spiritualitas itu bertemu dan sejajar dengan kelelahan pada institusi keagamaan.

V
Berbagai model spiritualitas religius mulai digali dan diteliti dengan seksama. Dale Cannon misalnya membagi pola spiritulitas seseorang menjadi 6 (Six Ways of Being Religious, 2006) dengan menyatakan bahwa setiap orang punya corak dominan dalam hidup spiritualitasnya:
a.      Sacred Rite/ Ritus suci: sebuah upaya yang dilakukan secara fisik dengan mengikuti tradisi untuk menjadi religius.
b.      Reasoned Inquiry/ Penggalian akal budi: penggalian makna dengan segala daya upaya teologis sistematis.
c.       Right Action/ Aksi yang tepat: melakukan sebaik-baiknya apa yang dianggapnya tepat.
d.      Devotion/ penyembahan: dengan setiap melakukan pemujaan pada apa yang dianggapnya paling berarti dan dekat.
e.       Shamanic Mediation/ mediasi samanik: upaya untuk berbicara dengan Tuhan dengan perantaraan penghilatan, mimpi, dan hal-hal yang supernatural.
f.        Mythical Quest/ jalan mistis: melakukan peziarahan dengan tujuan untuk memenuhi sebuah panggilan mulia.
Ada yang menjadi begitu canggih, namun juga ada yang mulai kembali pada kesederhanaan. Para mistikus seperti Meister Eckhart dan Henri Nouwen menjadi idola banyak spiritualis. Bahkan tidak jarang yang kembali pada tradisi gereja perdana, Yahudi mula-mula, hingga Buddhisme. Komunitas meditatif serupa Taize menjadi jujugan wisata rohani. Tempat-tempat retreat menjamur di segala penjuru dunia. Tempat-tempat tenang menjadi idaman. Maka ada situs-situs tertentu yang kemudian kembali disakralkan atau dibuat sakral.
Alasannya sederhana, kerinduan besar pada spiritualitas di tengah segala aktivitas dan hubungan (bahkan yang paling teologis) yang kemudian menjadi teknis, mekanis, bahkan yang semakin kerap kita dengar: transaksional.

VI
Kebijakan struktural GKJW kadang dirasakan tidak berjembatan dengan karya kultural gerejawi. Perpisahan terjadi, bahkan pada sesuatu yang berangkat dari sumber yang sama, justru  karena nilai-nilai berbeda dari sumber yang sama. Identitas menjadi dirasakan perlu untuk tersimpul dan mengkristal. Pertanyaan semacam “Eklesiologi GKJW itu semacam apa?” “Teologi GKJW itu yang bagaimana?” menjadi pertanyaan yang semakin kerap ditanyakan dengan kritis hingga sembrono. Titik berangkatnya bisa jadi tidak berbeda: kerinduan pada spiritualitas kristis di tengah perubahan sosial yang semakin deras terjadi.
Hal ini pada akhirnya berpengaruh pada langkah-langkah (pelayan) gerejawi dalam menetapkan hal-hal yang paling teknis, sebut saja proyek. Proyek gereja/ program menjadi gambaran paling sederhana dalam melihat itu. Namun sebelum sampai di sana, bukankah penting untuk kembali dan berefleksi.
Tarikan yang tanpa henti terjadi ada pada tempat yang tidak jauh berbeda: apa panggilan mula-mula Gereja dan apa yang dihadapi oleh gereja hari ini. Maka di titik inilah, para pendeta GKJW menjadi perlu bergumul.

VII
Ada empat hal  (4K) yang tidak bisa hilang dalam perjalanan:
a.       Kompetensi
b.      Kontekstualisasi
c.       Kreativitas
d.      Komitmen
Bagaimanakah keempat hal tersebut bisa berjalan bersama. Apakah yang perlu dilepaskan? Apakah yang perlu dipegang dan dipertahankan? Di manakah batasnya?

Selamat berkonven!
Tags :

No comments:

Post a Comment