Tradisi Road Service GKJW menjadi kekhasan pelayanan pemuda di GKJW, yang sampai saat ini tidak ada duanya di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Ini bukan kesombongan apalagi unjuk kehebatan, apalah pelayanan selain sebuah pengabdian menjadi lebih rendah daripada apa pun yang lain. Namun ini adalah identitas, dan atas itu kita, setidaknya saya, bersyukur bahwa GKJW memilikinya.
Mungkin kebaktian bernuansa kontekstual dan jagongan, serta ikut sertanya ratusan pemuda dalam sebuah kegiatan sudah kita akrabi di berbagai tempat, baik gereja atau pun komunitas sosial kultural yang lain. Namun memadukan itu demi kebanggaan akan rumah dan Kekristenan (atas sebuah identitas diri di tengah dinamika masyarakat postmodern), membangkitkan semangat berpelayanan menjadi terang, dan utamanya kesediaan rekan-rekan pendeta, vikar, dan para pemuda yang terlibat di dalamnya, berkumpul bersama, berelasi, bahkan hingga puluhan yang terlibat dalam persiapan hingga pelaksanaan, itu yang bisa dikatakan belum pernah saya temui. Bahkan kerelaan mereka untuk ikut urunan dan tidak dibayar (bahasa transaksional era industri) malah mempersembahkan dirinya adalah kekhasan yang menyenangkan. Bersama dengan itu saling melengkapi kekurangan dan memperbaiki diri hari demi hari. Itu mendasar.
Bayangkan Anda masuk ke sebuah gereja disambut pendeta bertoga berjajar di depan pintu, dipersilakan masuk dan duduk. Menyaksikan puluhan pendeta menari dalam sebuah koreografi, dan yang lain bermusik dengan toga yang serupa, berdoa pribadi bagi jemaat. Bukankah itu luar biasa jika tidak malah ajaib? Lalu setelahnya jagongan bersama ratusan pemuda, mencerca hingga berbangga atas rumahnya, GKJW, dan melihat perihal-perihal tersebut dengan kritis dan terbuka bersama-sama dalam kamar-kamar pergumulan kontekstual pemuda hari ini. Maka, tidak ada ungkapan yang lebih pas selain ucapan syukur.
Road Service GKJW telah dimulai tahun 2016, dan dari jajak pendapat yang muncul baik di kalangan warga dewasa, pemuda, termasuk pendeta harapannya bisa berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Ini menunjukkan bahwa kebanggaan dan sukacita memiliki identitas Kristen, bahkan secara lebih khusus GKJW, sebenarnya tidak pernah pudar, hanya kadang butuh diingatkan lagi.
Dalam perjalanan Road Service GKJW, bagi saya setidaknya, terangkum masalah-masalah umum dan khusus dalam perjalanan bergereja. Berikutnya perjumpaan gereja dengan berbagai perihal remeh temeh hingga substansial dalam kehidupan bersama bermasyarakat bahkan berdunia bersama (ekumene). Kerinduan pada spiritualitas Kristen itu ternyata selalu hidup. Setiap daerah memiliki kekhasannya, mempunyai perihal khususnya yang kadang tidak bisa serta merta disejajarkan. Dan itu menumbuhkan tradisi riset dan evaluasi bagi semakin baiknya pelayanan GKJW waktu ke waktu. Dukungan berbagai pihak kultural maupun struktural semakin terasa, menunjukkan bahwa gerakan ini adalah salah satu pilihan antitode bagi kelesuan berpelayanan.
Ke depan, tentu Road Service GKJW, sama seperti sebuah gerakan yang lain, dugaan saya, akan menular dalam bentuk-bentuk khas di tempat-tempat lain, baik di GKJW sendiri maupun secara ekumenikal. Pada tahap tertentu ini akan merata, dan pada saat itu, percayalah tidak bisa tidak semangat akan berubah menjadi kewajiban. Kerinduan menjadi keharusan. Namun, jika budaya riset dan kontekstualisasi dihidupi dalam kesadaran panggilan bersama, maka Road Service akan tetap memiliki nyawanya. Road Service tahun 2022 bisa jadi tidak akan sama lagi dengan yang sekarang dilaksanakan di tahun 2016. Kesadaran akan perubahan masyarakat, terkhusus dinamika kehidupan spiritualitas Kristen perlu terus dikaji dan ditemukan, agar Road Service tetap mengarah pada engagement dan bukan sekadar entertainment rohani. Regenerasi perlu terus mempertimbangkan semangat gerakan tanpa menjadi kaku oleh tradisi. Apalagi jika berbicara mengenai pemuda.
Semoga Road Service GKJW terus berupaya menemukan dirinya dan terutama Tuhan dalam setiap langkahnya. Menunjukkan bahwa berbicara spiritualitas dan Tuhan di abad postmodern ini masih sangat relevan, jika tidak malah selalu berarti.
No comments:
Post a Comment