Whatever you want...

Saturday, August 6, 2016

Pret

| No comment
Mungkin Anda pernah berjalan di sebuah tempat yang sama sekali baru. Tempat itu begitu sejuk dengan pohon-pohon tinggi yang rindang, daunnya saling bersalaman satu dengan lainnya. Tempat itu begitu hening dan menentramkan. Lalu Anda bertemu dengan kawan, dia menceritakan bahwa tempat itu singup, berhantu, ada jin dan setan yang menjaga, dan mereka yang menjaga tempat itu sering menampakkan diri dalam wujud yang menakutkan, bahkan mengganggu. Maka ketika Anda kembali lagi ke tempat itu, perasaan Anda tidak akan pernah sama lagi. Tempat itu bukan tidak bertudung pepohonan rindang, tapii berganti menjadi dikelilingi pohon-pohon angker. Tempat itu tidak hening, tapi sepi dan mencekam. Demikianlah ketakutan.
Sesungguhnya bukan pengetahuan yang mengganggu, tapi ketakutan kitalah yang mengganggu. Saya bukan sedang mengatakan bahwa tidak ada setan, jin, dan hantu; namun bahwa ketakutan kita kepada makhluk-makhluk itulah yang sebenarnya mengganggu. Jika kita tidak takut, sesungguhnya tidak ada masalah.
Demikianlah sifat dasar ketakutan (dan kekhawatiran), mereka menggerogoti kita dengan hal-hal yang tidak kita ketahui, namun seolah-olah kita ketahui. Siapa yang tahu tentang hari esok, tapi ketakutan dan kekhawatiran kita bahwa esok akan buruk itulah yang menghabisi kita. Tidak ada yang tahu bagaimana setelah kematian, namun kematian begitu menakutkan seseorang. Tidak ada yang tahu apakah nanti saya akan sakit, kecelakaan, ditinggalkan, hancur, tapi ketakutan kita pada hal-hal itu membuat kita tidak berani beranjak pada sebuah kesempatan.
Mari membayangkan tidak lulus sekolah atau kuliah, sebenarnya untuk mereka yang biasa-biasa saja, tidak masalah. Namun, begitu ketakutan dan kekhawatiran melanda kita, semuanya menjadi begitu mencekam dan mencengkeram. Di SMA saya dulu, Cor Jesu Malang, sudah umum yang tidak naik kelas di setiap kelasnya akan sangat banyak, antara 5-10 orang setiap kelas (jumlah kami sekelas 45-50an orang per kelas). Dan karena yang tidak naik banyak, juga dari kelas-kelas lain, maka tidak naik kelas itu biasa. Tidak naik kelas pada saat itu adalah pengetahuan bahwa OK saya harus mengulang lagi. Namun begitu kekhawatiran melanda kita, bagaimana nanti kalau saya dianggap orang lain buruk, bagaimana kalau saya dianggap bodoh, kalau ini dan kalau itu. Kekhawatiran inilah yang sebenarnya merusak. Saya ingat seorang teman saya, Hanny namanya, dia adalah anak yang saya ingat gampang tidak naik kelas. Tapi dia peduli anjing dengan apa yang akan dikatakan orang. Akhirnya tidak naik kelas baginya bukan sesuatu yang menggilakan. Malah ada anak-anak rangking pertama yang jika tidak rangking pertama menjadi ketakutan luar biasa. Mereka sampai lupa kepada teman dan menjadi begitu kejam kepada yang lain. Seolah-olah punya alasan untuk menjadi egois. Mereka justru yang menjadi sangat aneh. Dan hari ini Hanny sudah menjadi Chef di Amrik. Dia pasti menertawakan kisah SMA kami bersama dulu.
Ada orang yang khawatir akan gagal, ada orang khawatir tidak dianggap keren, ada orang khawatir dianggap tidak cerdas, ada orang yang khawatir bahwa masa depannya akan suram, ada orang yang khawatir pernikahannya akan hancur, ada yang khawatir anaknya tidak jadi orang, khawatir miskin, khawatir tidak punya jodoh, khawatir diketahui keburukannya, khawatir bahwa tetangganya ngerasani dia, khawatir dianggap gagal mendidik anak, khawatir tidak berhasil memberdayakan jemaat, khawatir agamanya dicampuri oleh yang lain, khawatir najis, khawatir ditinggalkan, khawatir ini dan itu. Dan berderet yang lain. Mereka menjadi begitu ambisius, berjarak dengan kehidupan dan tidak menikmatinya. Sebut saja kalau misalnya ada orang yang khawatir keburukannya diketahui orang, dia menyembunyikannya bahkan dengan membenci dan merendahkan yang lain, agar kekurangannya tidak dilihat, supaya orang melihat kekurangan orang lain. Nyatanya dia tidak tahu apakah orang memang akan merendahkan dia. Dia tidak tahu bisa jadi orang-orang akan menerima dia dengan segala kekurangannya. Jika orang-orang ternyata tidak menerima kekurangannya dan dia berani berkata, "Pret!" maka selesailah semuanya.
Mungkin ada yang akan mengatakan saya menggampangkan masalah. Bisa jadi, tapi saya tidak khawatir. Khawatir hanya menunjukkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Absen dalam tidur panjang selamanya. Tanpa kekhawatiran, Tuhan hadir sepanjang waktu. Mungkin ada orang suci yang akan mengatakan, "Kamu mencobai Tuhan!" kalau saya lalu bilang, "Pret! Salah sendiri jadi Tuhan!" Selesai, kan. 
Tags : ,

No comments:

Post a Comment

100%