Whatever you want...

Wednesday, August 31, 2016

Gereja yang Melupakan Kreativitas

| No comment
Untuk beberapa orang ini akan bikin panas. Tapi ada baiknya begitu.
Kreativitas itu mahal. Dan itu yang seringkali dilupakan oleh gereja. Apresiasi gereja pada kreativitas bisa dibilang sangat kecil. Beberapa gereja mulai menyadarinya, namun puluhan persen lebih banyak lainnya tidak sadar dengan itu.
Karena kreativitas itu mahal, maka seharusnya investasi gereja pada kreativitas itu diperhitungkan. Gereja tidak sekadar walking around, tapi walking to a certain purpose. Dan kalau kreativitas itu menjadi metode untuk sampai pada tujuan itu, maka sebenarnya gereja harus berani investasi.
Dengan menghadapkan pada paradigma kuno bahwa reward (apalagi uang) itu mamoon, segala sesuatu harus bernilai pelayanan alias kalau bisa gratisan yo budhalo nek ora kunu-kunu. Prinsipnya kalau bisa keluar sekecil-kecilnya, dapat sebanyak-banyaiknya. "Kuwi ngimpi!" Gereja bisa jadi lupa bahwa usaha yang sangat berkembang pada masa sepuluh tahun terakhir ini adalah industri kreatif.
Mengapa gereja kerap ketinggalan kereta? Jangan-jangan salah satu perihalnya adalah gereja seringkali tidak kreatif. Bahkan berteologi pun tidak kreatif. Spiritualitasnya tidak kreatif. Apa-apa masih diukur dalam masanya Yesus. Dan ketika berbicara demikian maka paradigma yang dihadapkan selalu ketidakpuasan. Orang yang tidak demikian spiritualitasnya rendah. Gereja menjadi anti kritik, termasuk otokritik. Bukankah sebenarnya gereja juga perlu introspeksi diri? Ngomong profesional tapi cara berpikirnya sendiri tidak profesional, ya mana bisa.
Sebenarnya tidak masalah jika mau terima konsekuensinya, bahwa akan semakin ditinggalkan. Namun jika pada saat yang sama gereja berharap bahwa mereka akan terus berkembang bahkan bisa bersaing dengan yang lain maka itu omong kosong.
Akhirnya segalanya apa adanya. Kebaktian apa adanya. Musik apa adanya. Katekisasi apa adanya. Lihat saja musik di gereja, paduan suara di gereja, yang seringkali menjadi ikon kehadiran gereja di dunia. Sekarang dalam dua hal itu saja gereja sudah kalah kereta sangat jauh dengan perusahaan-perusahaan, kampus-kampus. Gereja tidak berani berinvestasi pada upaya mengkreatifkan dirinya. Seolah-olah jika semuanya masih seperti jamannya Luther atau Calvin itu yang paling baik. Benar itu baik pada masanya. Pada masa teknologi informasi ini tidak. Gereja tidak berani bermain dengan risiko, beraninya terus-terusan bermain aman.
Perayaan Paskah yang sebenarnya membosankan, karena yang mengisi tidak kreatif, tapi demi menjaga perasaan dikatakan baik saja lah. Sebenarnya tidak memberikan kesan apa pun. Kebaktian anak yang membosankan. Pelayanan diakonia sekenanya. Hasilnya orang beriman tidak lagi otentik, tapi karena menjaga sungkan. Coba kalau gereja berani berinvestasi lebih kepada kreativitas ini. Musiknya gak asal jreng jreng. Katesisasi gak asal pokoknya ada yang mengajar. Lah gak ada orangnya, jelas lah wong gak mau berinvestasi. Disuruh berkembang sendiri, begitu gagal dimaki, begitu berhasil diplokotho dengan alasan spiritualitas dan pelayanan. Uang untuk investasi datang dari mana? Itu salah satu contoh tidak kreatifnya. Tidak mungkin segala sesuatu bisa dilakukan bersama-sama dalam satu waktu. Perlu digambar secara jelas petanya. Dan dalam mencapai tujuan itu semuanya sama-sama tahu, sehingga itu menjadi mimpi bersama. Dan itulah pentingnya bermitra. Karen sik urip neng jagad ya bermitranya yang bisa sama-sama menguntungkan. Kalau tidak ya akhirnya siapa yang mau bermitra jangka panjang, Bakul sayur saja emoh.
Penindasan yang dulu terjadi pada orang kulit hitam, pada kaum LGBT, pada para pezinah, pada orang miskin, bisa jadi sedang dilakukan oleh gereja pada kreativitas. Gereja jarang pernah menginvestasikan pada proses kreatif. Hanya menginvestasikan dirinya pada pelayanan yang jangan-jangan sedang meneruskan tradisi tanpa tahu apa proyeksi yang hendak dicapai. Selain bahwa aku melakukan pelayananku, kebaktianku, katekisasiku, dan lain-lainnya. Jika masih ada penindas hari ini, selain mereka yang bertolak belakang dengan Kristus, jangan-jangan itu gereja sendiri pada kreativitas.
Proses kreatif selalu memuat berbagai risiko kesalahan bahkan rusak di dalamnya. Dan gereja kadang menjadi anti pada kesalahan. Orang yang salah dalam proses kreatif - termasuk proses kreatif dalam imannya - kadang begitu saja ditinggalkan. Kurang membaca peluang dan prospek ke depan. Karena itu gereja yang berisi orang-orang baik ini seringkali menjadi tidak berkawan dengan dunia. Tidak sadar bahwa mereka hidup di dunia.
Reward bukan pada akhirnya memang tidak selalu berupa sesuatu yang material. Bisa jadi reward itu sesuatu yang spiritual. Bisa jadi persahabatan, bisa jadi kesempatan meneduh, peluang berkembang, bisa jadi apresiasi. Atau yang lain. Namun betapa naifnya gereja yang seringkali melupakan itu.
Wis gini lah gampangannya, untuk yang menganggap arah tulisan ini ke mana dan biar ini gak dianggap sekadar wacana: investasilah pada pendidikan kreatif dan beranilah membayar mahal untuk itu. Lalu pertimbangakan sistem reward yang masih sejalan dengan panggilan dan tujuan gereja. Satu lagi belajar manajemen risiko.
Tags :

No comments:

Post a Comment