mari berbicara sejarah GKJW, maka kita akan langsung bertemu dengan para bapa leluhur GKJW tahun 1830-1850an, Coolen dan Emde. hampir setiap orang GKJW mengenal Coolen dan Emde minimal nama. selanjutnya kita akan bertemu dengan tokoh-tokoh Mojowarno, Ditataruna, Carolus Wiryaguna dan beberapa nama yang bersama-sama mereka.
agak aneh, bahwa tokoh-tokoh tahun 1931an, hampir satu abad sesudah masa awal GKJW itu, yang justru menjadi momen peletak dasar manunggalnya pasamuwan-pasamuwan Jawa pada waktu itu hampir tidak diketahui. siapa yang ada dalam proses itu nyaris tidak dikenal, serta bagaimana proses penyatuan jemaat-jemaat itu menjadi sebuah GKJW hampir tidak pernah diungkapkan.
hal ini sama seperti berbicara sejarah Kekristenan, orang akan langsung ingat pada Kristus dan murid-muridnya, namun siapa yang mau berlama-lama berbicara tentang masa-masa kegelapan dalam abad pertengahan yang agung, ketika justru pada waktu itu dogma Kekristenan dan doktrin sebagai turunannya justru digumuli dengan gila-gilaan, lalu orang meloncat begitu saja pada Luther dan Calvin. akhirnya tidak ada yang cukup jelas mendapatkan gambaran-gambaran indah proses penuh nuansa sebelum mekanistis Protestan dengan bebayang abad Pencerahan.
ada beberapa indikasi memang:
1. ketertarikan sejarah adalah ketertarikan kepahlawanan. ketertarikan sejarah bukanlah ketertarikan politis, sehingga nuansa politis yang membujur lintang membentuk sistem dan struktur memang tidak pernah dicermati. orang lebih tertarik pada tokoh ketimbang pada proses menjadi. akhirnya dampak yang sangat kuat adalah pada hilangnya nuansa politis dalam sejarah, semuanya serba kepahlawanan. cara pandangnya lalu menjadi dikotomis hitam dan putih. politik tidak dilihat sebagai jalan untuk sebuah nilai.akhirnya politik boleh negatif dan boleh dilihat negatif.
2. orang tidak terlalu tertarik pada sistem dan struktur, tetapi lebih senang dengan dengan yang kultural. agak aneh di dunia yang serba struktural di Indonesia misalnya, apa-apa tanya surat, hari ini orang lebih senang dengan yang kultural. akhirnya ada keterpisahan yang tidak disadari antara yang kultural dengan yang struktural/ sistemik. hal ini misalnya saja nampak dalam orang yang banyak mengatakan Kristen kan gak perlu ke gereja, yang penting percaya Kristus. karena semata-mata yang dilihat adalah pada yang kultural, bukan yang struktural.
3. orang lebih senang dengan masa lalu, sejarah selalu dilihat sejarah masa lalu, setelah masa lalu tidak ada sejarah. karena itu ada orang yang bilang mari kita membuat sejarah, seolah-olah bahwa setiap hari orang tidak membuat sejarah. sedangkan mereka yang hari ini dicatat dalam sejarah, nampaknya bukan orang-orang yang ingin membuat sejarah. muncul romantisme kuat pada masa lalu. kenapa? karena masa lalu itu pasti, jelas, dan sudah tahu endingnya apa, yaitu apa yang ada hari ini. maka nuansa membawa selalu cara masa lalu menjadi kuat. tanpa disadari cara berpikir demikian bisa jadi mematikan khazanah atas apa yang ada di sekitar.
4. kuatnya pseudointelektual, bahwa membaca kutipan atau pembuka dan penutup berarti tahu isi keseluruhan. semacam generasi twitter gitu. hehehe.
agak aneh, bahwa tokoh-tokoh tahun 1931an, hampir satu abad sesudah masa awal GKJW itu, yang justru menjadi momen peletak dasar manunggalnya pasamuwan-pasamuwan Jawa pada waktu itu hampir tidak diketahui. siapa yang ada dalam proses itu nyaris tidak dikenal, serta bagaimana proses penyatuan jemaat-jemaat itu menjadi sebuah GKJW hampir tidak pernah diungkapkan.
hal ini sama seperti berbicara sejarah Kekristenan, orang akan langsung ingat pada Kristus dan murid-muridnya, namun siapa yang mau berlama-lama berbicara tentang masa-masa kegelapan dalam abad pertengahan yang agung, ketika justru pada waktu itu dogma Kekristenan dan doktrin sebagai turunannya justru digumuli dengan gila-gilaan, lalu orang meloncat begitu saja pada Luther dan Calvin. akhirnya tidak ada yang cukup jelas mendapatkan gambaran-gambaran indah proses penuh nuansa sebelum mekanistis Protestan dengan bebayang abad Pencerahan.
ada beberapa indikasi memang:
1. ketertarikan sejarah adalah ketertarikan kepahlawanan. ketertarikan sejarah bukanlah ketertarikan politis, sehingga nuansa politis yang membujur lintang membentuk sistem dan struktur memang tidak pernah dicermati. orang lebih tertarik pada tokoh ketimbang pada proses menjadi. akhirnya dampak yang sangat kuat adalah pada hilangnya nuansa politis dalam sejarah, semuanya serba kepahlawanan. cara pandangnya lalu menjadi dikotomis hitam dan putih. politik tidak dilihat sebagai jalan untuk sebuah nilai.akhirnya politik boleh negatif dan boleh dilihat negatif.
2. orang tidak terlalu tertarik pada sistem dan struktur, tetapi lebih senang dengan dengan yang kultural. agak aneh di dunia yang serba struktural di Indonesia misalnya, apa-apa tanya surat, hari ini orang lebih senang dengan yang kultural. akhirnya ada keterpisahan yang tidak disadari antara yang kultural dengan yang struktural/ sistemik. hal ini misalnya saja nampak dalam orang yang banyak mengatakan Kristen kan gak perlu ke gereja, yang penting percaya Kristus. karena semata-mata yang dilihat adalah pada yang kultural, bukan yang struktural.
3. orang lebih senang dengan masa lalu, sejarah selalu dilihat sejarah masa lalu, setelah masa lalu tidak ada sejarah. karena itu ada orang yang bilang mari kita membuat sejarah, seolah-olah bahwa setiap hari orang tidak membuat sejarah. sedangkan mereka yang hari ini dicatat dalam sejarah, nampaknya bukan orang-orang yang ingin membuat sejarah. muncul romantisme kuat pada masa lalu. kenapa? karena masa lalu itu pasti, jelas, dan sudah tahu endingnya apa, yaitu apa yang ada hari ini. maka nuansa membawa selalu cara masa lalu menjadi kuat. tanpa disadari cara berpikir demikian bisa jadi mematikan khazanah atas apa yang ada di sekitar.
4. kuatnya pseudointelektual, bahwa membaca kutipan atau pembuka dan penutup berarti tahu isi keseluruhan. semacam generasi twitter gitu. hehehe.
No comments:
Post a Comment