Kelekatan selalu dimaknai dengan terbatas: kelekatan pada materi, pada kekuasaan, pada kepandaian, imaje dan reputasi. Semuanya yang menjadikan tamak dan tak berperasaan. Mungkin benar kata orang, bahwa dunia ini cukup untuk menghidupi semua orang, tapi tidak akan cukup untuk menghidupi ketamakan. Seluruh dunia bisa hancur demi memenuhi ketamakan seseorang. Persadaraan bahkan peradaban.
Betapa menggetarkan jika mengingat Majapahit yang digdaya pupus hingga hilang, bahkan membekaskan kenangan pahit antara Jawad an Sunda, bahkan hingga menyusup ke darah. Lebih menggetarkan melihat tidak ada lagi sisa dari kerajaan-kerajaan di tanah air, selain candi-candi dan beberapa artefak yang bisa diselamatkan oleh petugas purbakala. Selebihnya hanya cerita tentang kejayaan dan perang. Sebagian Sidoarjo yang terendam lumpur, hutan-hutan di Kalimantan yang menjelma garis-garis raksasa mesin pengeruk, hutan Sumatera yang berganti lapangan sawit, hingga Freeport yang menilaskan protes tak henti pun tak terdengar dari para Amungme. Apakah tidak hendak belajar dari semua perihal itu? Kelekatan pada awalnya begitu memesona dan memabukkan, hingga beberapa saat (sejauh ingatan) semua lantak. Bagaikan melihat umbi yang meripah, setelah sesaat sebelumnya hijau sepanjang ladang.
Namun bisa jadi kelekatan tidak melulu pada perihal yang tak berperasaan demikian. Namun justru pada perkara-perkara paling berperasaan dan terasa benar. Kelekatan pada kebersihan dan kerapihan, yang begitu rupa, hingga membuat mereka yang tak bersih dan tak rapi tersisih dari kalangan. Bahkan dengan perasaan berdosa. Pada kebenaran hingga membuat orang yang bersalah semakin tertunduk dan tidak berani hadir, atau malah menjadi resisten hingga membenci. Sesuatu yang pada dirinya sendiri baik, namun ketika lupa bahwa segala teori dan teologi akan lekang maka yang didapat hanyalah pengasingan. Ada yang sedemikian gila melekat pada keteraturan, hingga begitu anti pada ketidakteraturan dan mengganggap yang tidak teratur sebagai lawan yang patut ditumpas. Sesuatu yang awalnya begitu baik dan penuh pengharapan akhirnya memupus kehidupan. Teori dan teologi itu akan habis, spiritualitas tidak.
Ada yang lain, kelekatan pada waktu dan kerja. Membuat orang merasa bersalah jika mereka hanya diam tak mengerjakan apa pun. Demikian pun lalu bisa menjelma menjadi begitu berbahaya. Orang harus bekerja, orang harus bergerak. Lalu tidak ada lagi bedanya antara menyepi dan malas. Menyendiri dan egois. Menyamakan hening dengan tidak bersahabat. Menyejajarkan diam dan kesepian. Karena waktu berarti bekerja, waktu terlalu sia-sia dihabiskan tanpa berkegiatan.
Ada kelekatan pada kepastian. Hingga menjadi begitu terhilang tanpa kepastian. Ada kelekatan pada kebiasaan, hingga ketika harus masuk atau menerima sesuatu yang tidak biasanya akhirnya marah dan frustasi, “Harusnya tidak begini!” Ada kelekatan pada ide memperbaiki dunia, hingga tidak bisa menikmati kehidupan itu sendiri karena tuntutan untuk menyelamatkan dunia dan membuatnya tempat yang baik (menurut ukurannya).
Namun bisa jadi ada kelekatan yang paling tidak disadari, karena kelekatan itu paling berperasaan. Ketika seseorang berkata, “Aku membutuhkanmu, aku tak bisa hidup tanpamu.” Cinta. Ketika cinta membuat duniamu jungkir balik, dan dirimu serta merta hancur tanpanya. Seorang anak muda hendak menguburkan ayahnya yang dikasihinya, apakah salahnya? Seorang ibu dan saudara-saudara datang dengan harapan berjumpa dengan Anak yang lama tak dijumpai. Bukankah mengabaikan mereka berarti jahat? Menjadi tidak berperasaan? Lalu mengapa harus dilepaskan, dan membebaskan diri darinya? Karena cinta yang tidak tumbuh atas kesadaran untuk melepaskan bisa jadi adalah kelekatan yang paling berbahaya. Karena kelekatan ini yang paling baik dari semuanya.
Lalu bagaimana? Entahlah, tidak ada jawaban selain dari seorang Meister Eckhart: lepas bebas itu lebih fundamental daripada kasih itu sendiri, karena tanpa kebebasan dari keterikatan-keterikatan, tidak ada kasih yang penuh dan tanpa syarat. Cinta tanpa syarat hanya mungkin ketika dia tinggal dan henyak pada saat yang sama. Karena kita tahu jawabnya (walaupun tanpa kata-kata) atas pertanyaan, “Loh memangnya mencintai itu salah?” Tanpa menjadi (merasa) tidak bertanggung jawab. Tanpa khawatir.
Rasanya, yang dibutuhkan adalah kedisiplinan. Orang muda itu konon pernah mengatakan: Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa. Pada saatnya bukan kita yang melepaskan, namun kelekatan-kelekatan itu akan hilang dengan sukarela - dan tanpa kita menyadarinya.
Cinta tanpa ego (pada apa pun maupun siapa pun) hanya mungkin terjadi ketika: pun dengan (sempat) berkaca-kaca, kita bersyukur: aku bisa pernah mencintainya dengan begitu dalam. Ketika: saatnya melepaskan dia (atau mereka) yang paling intim dan berharga, kita menjawab dalam senyuman tulus “Mangga, Gusti!”
Namun bisa jadi kelekatan tidak melulu pada perihal yang tak berperasaan demikian. Namun justru pada perkara-perkara paling berperasaan dan terasa benar. Kelekatan pada kebersihan dan kerapihan, yang begitu rupa, hingga membuat mereka yang tak bersih dan tak rapi tersisih dari kalangan. Bahkan dengan perasaan berdosa. Pada kebenaran hingga membuat orang yang bersalah semakin tertunduk dan tidak berani hadir, atau malah menjadi resisten hingga membenci. Sesuatu yang pada dirinya sendiri baik, namun ketika lupa bahwa segala teori dan teologi akan lekang maka yang didapat hanyalah pengasingan. Ada yang sedemikian gila melekat pada keteraturan, hingga begitu anti pada ketidakteraturan dan mengganggap yang tidak teratur sebagai lawan yang patut ditumpas. Sesuatu yang awalnya begitu baik dan penuh pengharapan akhirnya memupus kehidupan. Teori dan teologi itu akan habis, spiritualitas tidak.
Ada yang lain, kelekatan pada waktu dan kerja. Membuat orang merasa bersalah jika mereka hanya diam tak mengerjakan apa pun. Demikian pun lalu bisa menjelma menjadi begitu berbahaya. Orang harus bekerja, orang harus bergerak. Lalu tidak ada lagi bedanya antara menyepi dan malas. Menyendiri dan egois. Menyamakan hening dengan tidak bersahabat. Menyejajarkan diam dan kesepian. Karena waktu berarti bekerja, waktu terlalu sia-sia dihabiskan tanpa berkegiatan.
Ada kelekatan pada kepastian. Hingga menjadi begitu terhilang tanpa kepastian. Ada kelekatan pada kebiasaan, hingga ketika harus masuk atau menerima sesuatu yang tidak biasanya akhirnya marah dan frustasi, “Harusnya tidak begini!” Ada kelekatan pada ide memperbaiki dunia, hingga tidak bisa menikmati kehidupan itu sendiri karena tuntutan untuk menyelamatkan dunia dan membuatnya tempat yang baik (menurut ukurannya).
Namun bisa jadi ada kelekatan yang paling tidak disadari, karena kelekatan itu paling berperasaan. Ketika seseorang berkata, “Aku membutuhkanmu, aku tak bisa hidup tanpamu.” Cinta. Ketika cinta membuat duniamu jungkir balik, dan dirimu serta merta hancur tanpanya. Seorang anak muda hendak menguburkan ayahnya yang dikasihinya, apakah salahnya? Seorang ibu dan saudara-saudara datang dengan harapan berjumpa dengan Anak yang lama tak dijumpai. Bukankah mengabaikan mereka berarti jahat? Menjadi tidak berperasaan? Lalu mengapa harus dilepaskan, dan membebaskan diri darinya? Karena cinta yang tidak tumbuh atas kesadaran untuk melepaskan bisa jadi adalah kelekatan yang paling berbahaya. Karena kelekatan ini yang paling baik dari semuanya.
Lalu bagaimana? Entahlah, tidak ada jawaban selain dari seorang Meister Eckhart: lepas bebas itu lebih fundamental daripada kasih itu sendiri, karena tanpa kebebasan dari keterikatan-keterikatan, tidak ada kasih yang penuh dan tanpa syarat. Cinta tanpa syarat hanya mungkin ketika dia tinggal dan henyak pada saat yang sama. Karena kita tahu jawabnya (walaupun tanpa kata-kata) atas pertanyaan, “Loh memangnya mencintai itu salah?” Tanpa menjadi (merasa) tidak bertanggung jawab. Tanpa khawatir.
Rasanya, yang dibutuhkan adalah kedisiplinan. Orang muda itu konon pernah mengatakan: Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa. Pada saatnya bukan kita yang melepaskan, namun kelekatan-kelekatan itu akan hilang dengan sukarela - dan tanpa kita menyadarinya.
Cinta tanpa ego (pada apa pun maupun siapa pun) hanya mungkin terjadi ketika: pun dengan (sempat) berkaca-kaca, kita bersyukur: aku bisa pernah mencintainya dengan begitu dalam. Ketika: saatnya melepaskan dia (atau mereka) yang paling intim dan berharga, kita menjawab dalam senyuman tulus “Mangga, Gusti!”
No comments:
Post a Comment