Aku duduk di sebelahnya, tidak persis di dekatnya. Kami
saling menghadap dalam sudut sembilan puluh derajat. Dia menikmati kopinya. Lalu
jarinya bermain kembali dengan tetikus hitam berkabel yang tersambung ke laptop
hitamnya. Aku menikmati rokokku, membuka-buka majalah lama.
“Muse!” Aku bergumam.
“Kenapa?”
“Iya! Muse! Itu istilahnya. Kamu tahu kan dalam sebuah geng
penjahat selalu ada seseorang yang akan dikasihi dengan sukarela. Seseorang
yang bukan pemimpin. Mungkin dia yang terlemah dari semuanya. Dia bukan
petarung. Namun apa yang dikatakannya memengaruhi yang lain. Bahkan sang
pemimpin. Biasanya dia yang paling indah dari semuanya. Paling artistik.”
Dia menyalakan rokoknya. Kami hampir selalu berseberangan. Dia
dengan rokok gabusnya, dan aku dengan kretekku. Dia meminum kopi, sedang aku hampir
tidak bersentuhan dengan kopi jika tidak terpaksa. Dia selalu mengatakan bahwa
aku pecinta manis. Namun dalam perihal yang terdalam kami tahu ada yang
menghubungkan kami. Dan sampai tahap tertentu kami akan saling mencari.
“Sama seperti Yohanes.” Ujarnya. “Yohanes tidak akan menjadi
pemimpin dari rombongan para rasul. Tapi Yohanes kukuh sebagai murid yang
dikasihi. Posisi yang tidak akan digantikan siapa pun.”
“Tapi orang-orang juga menyebut bahwa murid yang dikasihi
itu bisa jadi Maria Magdalena, Lazarus, atau bahkan seseorang yang namanya
tidak dikenal.”
“Kamu tahu mereka mengada-ada. Hari ini relasi itu menjadi
sedemikian terbatas. Orang hanya tahu tentang berteman, berpacaran, bermusuhan.
Lalu mereka hanya berkutat di antara ketiga hal itu. Melulu.”
Aku menatapnya. Bergantian menatap layar laptop di depannya.
Masih saja dia berkutat dengan halaman 170an. Entahlah berapa hari dia tidak
beranjak dari halaman-halaman itu juga. Seorang penulis lebih baik tidak
sealigus menjadi editor. Tapi untuk seseorang yang sedemikian perfeksionis, aku
tahu bahwa dia tidak rela seorang editor mengobrak-abrik apa yang sudah
ditulisnya. Aku jarang menemukan tulisannya diredaksi habis-habisan.
Paling-paling cuma salah ketik.
Dia melanjutkan, “Dalam perubahan dunia yang semakin
berwarna hari ini, orang sebenarnya tidak lebih daripada sebelumnya. Bahkan
hari ini orang tidak bisa lagi membedakan antara kecurigaan dan rasa ingin
tahu. Mengapa orang tidak puas dengan Yohanes, karena mereka tidak rela murid
yang dikasihi itu adalah seseorang yang begitu jelas.”
“Dan laki-laki. Homofobia.”
“Dan jika ada seorang laki-laki begitu mengasihi laki-laki
yang lain, dengan serta merta mereka mengatakan itu gay. Karena pilihan mereka
hanya tiga hubungan itu.”
“Dan akhirnya mereka mengajukan nama-nama lain karena itu
lebih aman dan nyaman bagi mereka.” Aku sekali lagi mengisap rokokku. “Aku
ingat dengan Daud dan Yonatan, banyak yang mengatakan bahwa mereka gay.”
“Untuk yang tahu dunia gay. Tapi banyak yang lain mengatakan
itu persahabatan. Karena ruang bermain mereka hanyalann berkutat di tiga
hubungan itu. Jika tidak berkawan pasti pacaran. Seolah-olah tidak ada hubungan
jenis yang lain. Lalu bagaimana menjelaskan tentang muse-mu tadi? Sama seperti
pelukis, kita hanya tahu warna-warna dasar yang mencolok. Padahal dunia ini
penuh gradasi.”
“Bisa jadi antara Daud dengan Saul pun pada akhirnya bukan
musuh.”
“Apakah semata-mata Daud tidak membunuh Saul ketika dia
memiliki kesempatan, murni karena dia hendak menunjukkan dia orang yang lebih
baik dari Saul secara iman. Bisa jadi. Namun aku rasa hubungan mereka jauh
lebih kompleks daripada sekadar berkawan atau bermusuhan. Mereka para pemimpin,
mereka bukan orang-orang bodoh.”
“Dan sebaik-baiknya menjelaskan, jika perspektif yang
dimiliki masih semata-mata hitam putih, maka akhirnya apa pun selalu dikotomis.
Jika tidak ini maka itu. Aku bisa mengerti mengapa anak-anak muda sekarang
begitu gampang berbagi perasaannya di media sosial dan begitu mengakrabi galau.
Jangan-jangan mereka bersentuhan dengan rasa-rasa itu, tapi tak bisa
menamainya. Mereka pun tak terbiasa mencari karena biasa dilolohi. Akhirnya
rasa-rasa yang begitu kaya tadi benar-benar mengkristal menjadi galau yang
sesungguhnya.” Aku mengisap rokokku, “Ah andai saja mereka lebih banyak
membaca.”
Dia menatap laptopnya dan menuliskan beberapa kata. Novelnya
tidak selesai-selesai. Aku berjanji akan membantunya meriset. Tapi sejak awal
dia tahu bahwa aku tak terlalu berminat pada topik yang dia tuliskan. Nyatanya
toh sampai hari ini dia menyusun kepingan-kepingan ceritanya sendiri.
“Generasi ini lebih senang quote daripada membaca utuh.
Generasi salah paham. Pseudointelektual.”
“Kamu begitu pahit.”
“Dan kamu terlalu optimis.”
“Apalagi caranya berhadapan dengan berbagai macam nuansa
yang sekarang menjadi serba mungkin, jika bukan dengan menjadi optimis? Hanya
itu yang masuk akal.”
“Asal kamu tidak gampang patah hati saja.”
Aku tertawa, “Asal kami tidak nihilistis saja.” Dan aku tahu
dia tidak demikian. “Mau makan? Aku tadi beli ayam. Ada ayam coca cola. Enak
banget pakai parsley sama kucai.”
“Sejak kapan aku makan begituan?”
“Mungkin saja kamu akan terbukakan mata hatimu. Atau menjadi
lebih optimis.”
“Percaya kalau kamu bisa memasak? Tidak, terima kasih.
Makanlah!”
Aku beranjak. Mengambil dua piring dan mencidukkan nasi
sekaligus lauknya. Oranye kemerahan dari tomat bersemburat titik-titik hijau potongan
daun-daun kecil. Aku suka warnanya Dan aromanya. Coca-cola menghilangkan sangir
bawang bombai. Aku mendapatkan yang besar-besar hari ini. Mungkin sedang musim.
Ketika potongan-potongan dadu ayam itu bergelimang di atas kuah kental itu, aku
bisa melihat kilau sinarnya yang keemasan. Mungkin rasanya terlalu kuat menurut
beberapa orang. Aku selalu suka makanan yang membekaskan kesan yang melekat
setelah dikunyah. Tidak begitu saja hilang. Mungkin aku memang suka dengan
kenangan.
“Mau telur? Atau sosis?”
Dan dia tak menjawab.
Aku selalu menimkati perjalanan ke pasar. Juga memasak.
Bukan hobi. Tapi meracik sesuatu dari bahan-bahan mentah dan membuat perpaduan
selalu menjadi intensiku. Aku bukan orang yang suka bertengkar. ‘Tapi kalau
sudah punya musuh tidak bisa hilang’ selalu begitu komentarnya ketika aku
mengatakan tidak suka bertengkar. Tapi bukankah mendendam dan menyimpan
perasaan tak senang itu menggairahkan? Aku bisa berlama-lama dengan itu,
walaupun orang-orang yang kuperlakukan demikian tidak banyak. Aku berbeda
dengannya, dia tak banyak berteman, tapi hampir dengan semuanya dia dekat. Aku
banyak berteman, tapi tak benar-benar memiliki yang dekat. Tapi aku punya
musuh-musuh abadi. Dan tidak perlu banyak alasan untuk menjadi musuhku. Aku
tahu begitu saja orang yang tidak kusukai. Dan jika sudah demikian biasaya
kesumat.
Aku membawa dua piring nasi itu kepadanya. Lalu kembali ke
dapur, mengambilkan piring lain berisi telur, sosis gulung, dan tempe tepung.
Juga dua gelas air putih kemasan. Meletakkan satu di depanku dan satu di
sebelah laptopnya. Nyatanya dia memakannya juga.
“Sejak facebook muncul, orang tidak lagi punya ruang
pribadi. Semuanya dibagikan.”
“Untuk dilike.”
“Bukankah momen paling istimewa itu harusnya untuk dinikmati
sendiri. Bagaimana bisa kamu membagikan rasa terkejut, terpesona, atau
kekaguman. Bukankah hal-hal yang demikian itu soliter. Tapi hari ini tidak ada
lagi ruang soliter. Semuanya menjadi milik umum. Bahkan perasaan yang
semestinya tersimpan, kini diumbar dengan kasar.”
Aku masih mengunyah nasiku tak bisa berkomentar.
“Dulu orang kehausan degan ruang publik,” Dia mengambil
telur dadar dan memotongnya kecil-kecil dengan sendoknya, mencampurnya dengan
nasi. Menyisihkan ayam-ayam keemasan itu sebelah. Tak hendak memakannya. “Sampai
hari ini pun masih sama, tapi media sosial sudah menjadi jalan keluar.”
“Ada yang tidak tergantikan oleh perjumpaan. Dan perjumpaan
paling berkesan adalah perjumpaan pribadi.”
“Iya! Dan jika semuanya dishare, apalagi yang tersisa untuk
pribadi. Selain itu, apakah mereka sadar, bahwa momen-momen istimewa yang
dibagikan itu, foto-foto dan video yang memukau itu sebenarnya hanya
membangkitkan kecemburuan orang lain untuk bermimpi dan hidup di dunia mimpi.
Padahal kalau jujur, berapa dari momen-momen yang dibagikan itu apa adanya?
Semuanya serba polesan. Atau tidak utuh. Dan orang berpikir bahwa yang demikian
itu asli. Yang sedang terjadi sebenarnya pabrik mimpi, mimpi yang sayangnya
maya.”
“Mungkin itu awal banalitas. Kedangkalan. Mereka percaya
pada artis-artis berambut pirang, atau berkulit putih sempurna. Semua serba
editan. Kalau kita lihat dunia entertainment saat ini berapa dari yang
ditampilkan itu jujur? Semuanya serba pabrikan. Furnished!”
“Dan orang tak lagi mengenal misteri. Semuanya serba gamblang.
Sebuah refleksi dibagikan dengan kasar untuk dilike dan dikomentari. Tidak ada
lagi yang soliter. Semuanya serba ada di antara membosankan dan asik. Keren
atau tidak memesona. Semakin banyak jempol yang kamu yang dapatkan, semakin
baik katanya. Padahal palsu. Mimpi-mimpi yang tak ada. Khayalan.”
“Cinta, patah hati, bahkan seks diumbar. Seperti bisnis
pornografi.”
“Dan jangan salah, yang suka pornografi juga banyak!”
Ujarnya.
“Aku salah satunya.”
Dia terkikik. Akhirnya dia memakan ayam-ayamnya. Mengangkat
dua baris alisnya.
“Ketika aku kesepian. Dan setelah itu pun masih sama saja.
Pabrik obat kesepian, yang tidak benar-benar menyembuhkan. Pabrik khayalan.
Ketika aku sedang berhubungan serius dengan seseorang, aku hampir tidak
menyentuh pornografiku, tapi ketika aku kesepian semuanya mendadak ranum.”
“Seorang dalam sejatinya itu pasti kesepian, kok! Mana ada
pertapa yang tidak kesepian. Tapi hari ini kesepian itu dilarang. Orang tidak
lagi mau berkawan dengan sepi. Semuanya harus ramai. Karena yang ramai itu
asyik. Tak perlu lagi merenung, semuanya sudah disajikan. Kalau kata
Melancholic Bitch, kita tak perlu lagi berimajinasi, televisi sudah menyediakan
semuanya. Dan setelah ini buku tak lagi dibaca.”
“Diam tidak laku.”
“Diam dan hening hari ini dianggap sedang bermasalah.”
“Aku sadar apa yang hilang dariku beberapa waktu ini. Dengan
kesibukanku yang begitu menggebu-gebu. Aku tidak lagi punya ruang untuk diriku
sendiri. Tidak pernah lagi menulis. Sesuatu yang selama ini dikenal orang
dariku, apa yang kukenal dari diriku. Aku bahkan kelihangan semuanya. Tidak
benar-benar sempat merenung. Semuanya langsung kubagikan di facebook atau
istagram, untuk sebuah tujuan yang sangat murahan, dilike. Sedemikiankah aku
butuh perhatian?”
Dia mengangkat bahunya, “Dunia remaja yang abadi.
Menghentikan waktu. Tak hendak berdamai dengan usia. Sejak mereka memakan buah
pengetahuan, mereka tahu segalanya, tapi mereka diusir dari taman itu. Mereka
tidak bisa bersentuhan dengan pohon kehidupan yang bisa membuat mereka immortal.
Maka mereka membuat sendiri pohon kehidupan itu. Photoshop. Facebook.
Instagram. Twitter. Mereka tak hendak berkawan dengan sakit dan hening. Momen
yang membatu menjadi kenangan itu abadi, tapi sejak pabrik kenangan diciptakan,
kenangan hanya menjadi kicauan sehari, sementara, besok akan berganti dengan
cerita lain. Diam-diam, orang hidup tanpa kenangan, hanya dengan ilusi
kenangan. Tanpa relasi selain dagang jempol dan tanda hati. Semuanya serba
transaksi. Dan selebihnya kekosongan.”
Aku menghabiskan makananku. Dia pun juga. Aku meringkas
piring dan sendok. Membiarkannya bersendiri dulu. Membiarkanku bersendiri dulu.
Sejenak kemudian aku kembali berhadapan denganya. Dia sudah menyalakan sebatang
rokoknya. Aku meminum air putihku. Segar.
No comments:
Post a Comment