Whatever you want...

Saturday, July 2, 2016

Kisah Orang Biasa (1)

| No comment
KISAH ORANG BIASA (1)

“Aku mulai berkebun sayur dan bunga di belakang.”
Entah mengapa pernyataannya itu terus terngiang. Mungkin karena untuk seorang gadis secantik itu, membayangkannya duduk di berpaut lumpur dan tanah kering terasa begitu romantis. Tangannya menggenggam cetok dan sayur segar.
Jantungku berderap mendekati rumahnya. Ada perasaan yang mendadak tidak nyaman. Namun bersama itu ada dorongan kuat untuk terus berjalan. Ini kencan. Seolah tidak puas, aku berkali-kali mengatakan itu dalam hatiku. Mungkin bibirku ikut berkomat-kamit tanpa kusadari. Aku sempat bingung harus membawakan apa, coklat rasanya terlalu remaja, bunga jelas tidak dibutuhkannya. Tentu tidak buah, seperti menjenguk orang sakit saja. Maka akhirnya aku tak membawa apa pun, hanya niat.
Dan dia sudah duduk di terasnya berpakaian gaun putih polkadot biru, bukan itu bunga-bunga yang lembut. Rambutnya rapih, kering, ikal yang menggantung di ujung-ujung rambutnya. Dia berdiri seketika melihatku, lalu senyumnya. Sial. Aku seperti ingin berhenti dan menatapnya selama beberapa menit. Meletakkannya dalam bingkai kusen pintu coklat, kontras dengan warna kulitnya yang cokat keemasan. Gelap terbakar matahari. Malaikat.
Aku mungkin tersenyum juga. Dia berjalan mendekat.
“Maaf! Sampai menunggu.”
Dia menggeleng, “Belum jamnya kok. Aku ingin lebih awal.”
Aku hanya mampu mengangguk. “Kamu...” aku hendak mengatakan cantik, tapi kurasa dia tak membutuhkan itu. Atau bibirku yang tidak mampu mengatakannya. “Kamu sudah siap?”
Dia tertawa kecil melihatku yang kikuk. Lalu mengangguk.
***
“Pada waktu kecil aku selalu ingin jadi dokter. Klise ya. Kalau ditanya cita-citanya apa, anak-anak pasti menjawab dokter. Dan yang begitu jutaan." Dia tertawa sejenak, "Tapi sungguhan. Aku dulu merasa jadi dokter itu istimewa, apalagi setiap hari bisa berjalan di koridor rumah sakit.” Dia menatapku lalu kembali menatap jalan raya yang lengang malam itu. “Berjalan di koridor rumah sakit itu rasanya luar biasa ya. Seperti ada rasa yang asing, sesering apa pun kita berjalan di sana. Kadang rasanya seperti model di catwalk licin.” Dia tersenyum.
“Maaf ya akhirnya kita ngemper di angkringan.”
Dia gemas, “Haduh! Ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan itu. Kamu pikir aku serapuh apa? Aku bukan anak kota yang merasa duduk di pinggir jalan itu sesuatu yang eksotis. Aku suka.”
“Habisnya kamu pakai rok.”
Dia terkikik. Manis sekali. “Sudah biasa. Ini kan ngedate. Apalagi pertama, ya harus istimewa dong.” Dia memiringkan wajahnya, mengulurkan ujung telunjuknya ke dagu kiriku. Basah. “Ada bekas kopi. Gimana kerjaan?”
“Halah! Karyawan saja ya gimana, ya gini ini. Pergi pagi, sehari-harian kerja di belakang komputer, ngurusin surat jalan dan nota-nota. Sudah begitu terus setiap hari.”
“Bapakku dulu kerja di dinas perkebunan. Sejak kecil aku biasa dengan kebun. Tidak pernah tahu rasanya kantor.” Lalu tersenyum. “Kisah orang-orang biasa. Tidak ada yang mau menulis kisah seperti ini.”
"Nanti aku yang nulis." Kelakarku.
Dia tersenyum.
“Jadi kamu tinggal sendirian di rumahmu?”
Dia mengangguk, “Adikku kadang pulang dua minggu sekali. Tapi ya setiap hari sendiri. Sejak bapak ibu gak ada,” Aku merasa dia menghentikan perkataannya sejenak, “hanya kami berdua. Ini sudah sebulan gak pulang, mungkin sibuk dengan tugas-tugasnya. Ya tapi juga rumah cuma dipakai tempat tidur, setiap hari sibuk di gereja. Apalagi kalau pas lagi ada acara, bisa pulang sampai lewat tengah malam.”
“Adikmu juga kerja?”
“Enggak lah! Jangan! Biar mbaknya saja. Toh aku gak punya tanggungan lain selain dia. Salah satu dari kami harus jadi orang sukses.” Dia meminum es susunya putihnya, “Aku senang adikku bisa kuliah. Dia yang aku perjuangkan biar jadi orang. Semoga dua tahun lagi selesai. Biayanya banyak ternyata.” Dia tertawa.
“Apa yang gak mahal sekarang?”
“Iya. Tapi senang lah, nilainya lumayan.”
“Dia ambil apa?”
“Teknik arsitektur. Biaya prakteknya yang banyak. Dia sedang mencoba mencari beasiswa. Semoga semester depan bisa dapat, lumayan kalau bisa lebih enteng.” Dia tertawa menyesap kembali es susunya.
Gadis di sebelahku. Orang yang tidak menyerah dengan hidup. Memilih untuk bekerja menjadi merbot gereja, demi bisa mengkuliahkan adiknya. Jika saja orang tuanya masih hidup pasti dia sudah kuliah. Sayang sebelum dia rampung SMA orang tuanya sudah dipanggil bersama dalam kecelakaan. Dua sekaligus. Dan dalam usia enam belas tahun dia harus menanggung sekolahnya sampai kelulusannya. Itu juga ditambah adiknya yang kala itu masih baru masuk SMP.
“Aku dulu membayangkan aku bisa kuliah. Hitung-hitungannya bapak, dengan pinjaman dia bisa menguliahkanku di STIKES, setidaknya jika toh tidak kedokteran bisa jadi perawat. Tapi ya hidup punya ceritanya sendiri.” Dia tertawa kecil.
Aku hanya diam. Memegang gelas kopiku yang mulai menghangat. Aku tak menatapnya, “Halah kuliah itu ya gitu itu kok. Akhirnya toh ujung-ujungnya juga kayak aku gini, mentok-mentok berhenti di ruangan kecil, berbagi kantor dengan tiga teman lain.”
Dia tersenyum. Lalu melihat kepada angkringan di belakang kami, “Aku boleh minta sate ati ya!”


Aku mengangguk, tersenyum kepadanya. Aku berjanji dalam hatiku pada saat itu, akan menuliskan kisah kami itu. Kami toh nyatanya tak bisa bersama-sama pada akhirnya. Tapi tentu satu setengah tahun bersamanya tidak bisa hilang, kisah kami, kisah orang-orang biasa. Orang-orang tanpa nama.
Tags :

No comments:

Post a Comment