Saya punya
imajinasi yang terus berlompatan tanpa bisa dihentikan. Hal itu hidup dalam
diri saya sejak sangat kecil. Melihat halaman saya ketika pagi, saya seperti
melihat beberapa tumbuhan segera bermunculan di sana, warna-wani dengan
sulur-sulur. Beberapa tumbuhan besar dengan ranting yang saling bergelayut satu
dengan yang lain, lalu kelinci-kelinci dan ribuan kupu-kupu terbang di atas
karpet rumput hijau yang terbentang sepanjang sudut ke sudut. Pohon-pohon dan
rerambatan paku-pakuan di sepanjang Kafe Door, semuanya bermunculan tanpa bisa
saya bendung.
Seperti itu juga
ketika saya melihat seseorang, pikiran saya selalu berlarian membayangkan
berbagai macam perihal mulai dari pakaiannya, andaikata di berjanggut dengan
kumis yang tebal, rambut yang tertentu, kadang saya membayangkan di atas
kepalanya tumbuh sebatang pohon mawar, lalu kelelawar-kelelawar menjadi
pakaiannya, dan ketika dia membuka lengannya, kelelawan itu terbang dan
menyisakan kegelapan yang pekat. Kadang bahkan saya sendiri terkejut dan tidak
habis pikir ke mana larinya imajinasi saya berikutnya.
Bahkan saya
sendiri sering membayangkan saya memiliki sekolah alam dengan anak-anak yang
bersekolah di sana adalah anak-anak yang tidak punya cukup uang untuk sekolah
di sekolah umum. Atau karena mereka manikmati proses belajar di alam. Saya
punya beberapa teman guru yang setia, beberapa staff, hingga saya bisa
membayangkan bentuk sekolahnya. Kadang ketika saya sedang mencuci piring atau
menyapu halaman, saya sebenarnya sedang berada di sekolah itu, menyapu dan
mencuci piring untuk sekolah itu. Di sana saya tidak menjadi kelapa sekolah,
karena ada seorang rekan perempuan, yang mantan pacarnya adalah seorang
karyawan di Apple Indonesia yang berafiliasi dengan Pixar, tapi karena dia
bertengkar dengan pacarnya terkait seorang donatur bernama Era, mereka akhirnya
putus, dan kawan saya yang adalah kepala sekolah alam kami itu akhirnya
berhubungan dekat dengan staff kreatif sekolah kami, seorang lulusan teknik
arsitektur sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Bahkan tokoh-tokoh
saya itu punya karakter. Semuanya adalah pribadi-pribadi multi dimensional.
Saya sadar bahwa
semua itu hanya imajinasi. Karena itu kadang saya sampai tertawa sendiri, bisa
sedemikian ramainya imajinasi. Saya bahkan kadang berbicara sendiri. Dan saya
sadar itu. Bukan sesuatu yang tiba-tiba terjadi tanpa kesadaran. Saya sendiri
membayangkan saya memiliki sebuah wedding organizer dengan berbagai macam ide
kreatif tentang konsep-konsep perkawinan yang ditawarkan. Saya sempat bertanya
apakah saya agak edan, bisa jadi. Atau malah edan sekali. Setiap kali
berkendara, selalu ada bayangan baru dan lain-lain yang terus menerus muncul,
membuat saya kadang tiba-tiba bersedih atau tertawa karena sedemikian bahagia
sendiri. Dan saya sadar sesadarnya bahwa semua itu bayangan. Namun dampak yang
mereka ciptakan luar biasa. Dan entahlah saya senang dengan itu semua. Seperti
punya kawan-kawan yang tidak kelihatan dan masing-masing punya daya realis
hingga surealisnya. Benar-benar memesona.
Saya tidak kecewa
dengan kehidupan, saya malah begitu mencintainya. Mungkin awalnya
imanasi-imanjinasi itu lahir dari pelarian-pelarian saya, namun semakin ke
sini, imajinasi-imajinasi itu malah yang memberikan saya pondasi untuk banyak
ide yang saya wujudkan dalam kehidupan nyata. Tanpa imajinasi itu bisa jadi
hidup saya malah sangat merana. Karenanya ketika orang bertanya apakah saya
kesepian, saya mengatakan tidak. Saya punya sahabat-sahabat yang mengerti dunia
gila saya itu, saya punya sahabat-sahabat nyata, tetapi bersama dengan itu saya
juga punya lingkungan ajaib yang lahir dari imajinasi itu. Jika mungkin ada
film yang bisa sedemikian dekat menggambarkan hubungan antara dunia nyata
dengan imajinasi saya, itu adalah Big Fish dan Eternal Sunshine of the Spotless
Mind. Saya pernah mengalami masa-masa kesepian hingga saya melakukan hal-hal
tidak masuk akal dan menderita dalam penderitaan sendiri, tapi sekarang bisa
dibiliang dunia saya hampir selalu riuh. Namun ketika harus senyap, mereka
menyepi. Ada ruang-ruang untuk membaca dan berefleksi yang di dalamnya saya
bisa bisa murni bersendiri dengan diri saya sendiri. Maka apakah saya bahagia
dengan imajinasi saya? Walaupun dibilang aneh, tidak normal, atau sejenisnya, saya
nyata-nyata sangat berbahagia. Hahaha!
No comments:
Post a Comment