Jam sembilan lewat lima belas. Lebih dari separuh bioskop terisi. Luar
biasa untuk Senin dan Kediri.
Ada beberapa hal luar biasa dari film ini: Kemasannya!
Dandanan para pemainnya sophisticated. Geng Cinta dan Rangga ditampilkan
dalam kontras yang memukau, si New York kucel dan si Jakarta ditampilkan sangat
postmodern. Dibalut oleh Jawa yang ditampilkan komikal (dan entahlah kenapa
Jogja diidentikkan dengan abdi dalem – yang tampil dengan konyol), kreatif, dan
penuh warisan leluhur. Sinematografinya cerdas, pergerakan dan sudut
pengambilan gambar berhasil menangkap keindahan Jogja dan sekitarnya. Kota Jogja
sebagai tempat kuliner dan pertunjukan seni (karena di Jogja mereka isinya
hanya makan dan berwisata seni) dan daerah-daerah sekitarnya (Ratu Boko dan
Gereja Ayam) sebagai tempat kisah terungkap. Tempat-tempat itu seperti hendak
mendukung bahwa cerita memang tidak selalu verbal, suasana selalu ikut
menggerakkan. Direktur artistiknya jempolan lah!
Kemasan yang lain yang tidak kalah menarik adalah soundtrack. Melly dengan
lagunya Ratusan Purnama yang khas Melly dan kuanggap benar-benar sudah
membosankan, diperdengarkan pada saat yang tepat dan dipotong pada bagian yang
tepat. Beberapa lagu dari film sebelumnya terkhusus Suara Hati Seorang Kekasih diaransemen
dengan ciamik. Walaupun memang cenderung mainstream, tetapi sama sekali tidak
buruk, malah keren.
Masuk ke bagian cerita. Baiklah! Aku harus mengatakan ... hmmm...
Empat belas tahun jelas bukan waktu yang pendek untuk pertumbuhan karakter
seseorang. Pertumbuhan karakter itu digembar-gemborkan juga pada saat behind
the scene, wawancara, dan segala jenis publikasi. Bahkan sempat dibandingkan
dengan Before Sunrise-Sunset-Midnight series yang fenomenal. Tapi ya
begitulah... Kadang memang lebih baik menonton film Indonesia tanpa ekspektasi
daripada akhirnya lagi-lagi berharap dan dikecewakan. Alur ceritanya super
tertebak. Dialog-dialognya cheesy untuk film yang diharapkan menjadi naratif
dan puitis. Perkembangan karakter tak lebih dari perubahan kondisi, karakter
mereka tetap satu warna. Peralihan alur benar-benar dipaksakan bisa masuk.
Liburan Geng Cinta ke Jogja, Datangnya Sukma dan saudara-saudara Rangga,
Peristiwa di kedai kopi Rangga di New York, termasuk perkembangan cerita Rangga
dan Cinta dalam sepanjang film rasanya seperti dikarbit ketimbang organik.
Benar-benar tanpa motif. Dialog-dialog remeh temeh seperti tentang keponakan dan
Pemilu yang sebenarnya bisa menjadi dialog antara yang luar biasa, ternyata ditampilkan tidak lebih
dari seperti footage untuk cerita hubungan Rangga dan Cinta yang terus
disuapkan terus menerus. Niatnya OK, eksekusinya yang begitulah.
Alasan-alasan yang dimunculkan untuk membangun cerita utama benar-benar
alasan yang trivialize their smart and witty character (as we’ve always been
told again and again). Untuk kelompok orang berusia 30an tahun, rasanya hanya
Nicholas Saputra yang tampil demikian. Yang lain tampak sangat mentah. Sebut
saja pengumuman pertunangan Cinta oleh Ario Trian Bayu, berhasil menampakkan
kegeblekan teman-teman Cinta yang tidak membaca tanda-tanda dengan baik.
Diskusi-diskusi mereka ketika mereka sedang bertiga lebih cenderung terasa
seperti dialog anak SMA ketimbang orang 30an tahun. Pertunangan Cinta dan Trian
dalam perjumpaannya dengan Romantismenya dengan masa lalu Rangga Cinta
benar-benar menampilkan sisi Cinta yang tidak sedewasa dan secerdas bagaimana
dia mengagumi karya seni. Jadi gambaran sangat indah dari lokasi-lokasi
syutinglah yang sepertinya lebih menyeret alur ketimbang dialog dan akting
mereka. Seolah ada kesepakatan bersama: Jika akting dan ceritanya buruk,
sajikan saja tempat yang indah, maka semuanya akan menjadi baik.
Titi Maura Kamal adalah yang terburuk, diikuti Adinia Karmen Wirasti satu
level lebih baik, lalu Dian Cinta Sastro, satu-satunya yang berhasil
menampilkan karakternya dengan menggemaskan adalah Sissy Milly Pricilia (dan
itu pun lebih cenderung karena dia ditampilkan bloon ketimbang berkembang
karakter). Dian Sastro yang super cantik itu OK di scene-scene bergerak, tapi
begitu masuk di bagian yang deep and need stillness, dia benar-benar tergagap.
Akting-akting kecil (bussiness acting) melalui tangan, mata, bibir, gestur
rasanya memang bukan (belum) wilayah Dian Sastro. Begitu masuk ke bussiness
acting, maka akting Dian langsung patah. Tapi syukurlah dia cantik.
Rasanya jika ada yang perlu mendapatkan kritikan keras itu adalah pada
skenario. Rangga yang sudah pernah pacaran tapi tidak juga move on begitu saja
luntur ketika bertemu Cinta. Teman-teman Cinta yang tidak begitu menghargai
pertunangan Cinta. Jika pun ada yang mengatakan iya, aku akan bertaya mana?
Maura? Itu lebih menampakkan dia yang tidak dewasa ketimbang riil. Bahkan
pertunangan Cinta yang berpotensi mengalirkan cerita ternyata hanya disentuh
sebagai ornamen ketimbang pelik. Kepulangan Rangga ke ibunya hanyalah pendorong
untuk komparasi pemutusan hubungan yang tidak jelas. Side stories dalam film
ini bisa dibilang tidak memberikan sumbangan apa pun pada kisah utama: dua
orang yang putus dan lama tidak bertemu lalu ketemu lagi dan beromantisme pada
cerita-cerita masa lalu. Jadi inti hidupnya Cinta hanya Rangga dan inti hidup
Rangga adalah cinta. Inti hidup teman-teman Cinta adalah hubungan Cinta dan
Rangga. Ketiadaan Alya lebih lagi, seolah ini mereka jane piye to. Endingnya
... baiklah untuk adegan penting, perlu ada acara salah paham segala, Cinta
langsung lari keluar. Wow dia tentu pengelola galeri seni, pemikir seni yang
dalam: Satir. Dalam hal ini tentu saja harus berhadapan dengan Mira Lesmana.
Aku adalah pendukungnya mati-matian dalam perjuangannya bagi Film Indonesia,
tapi kali ini aku harus berani mundur dan mengatakan, “Maaf!”
Tapi tak apalah. Film ini tetap nyaman dinikmati dalam dua jam lebih. Dan
sebagai film Reuni baiklah tidak menyejajarkan ini degan Before Sunset. Film
ini ya Ada Apa dengan Cinta 2. Tidak lebih ... ehm dan tidak kurang. Mengingat
Film ini malah mengingatkanku pada Alice in Wonderlandnya Tim Burton, 300, dan Sucker
Punch: bukan film akting (kecuali untuk Nicholas Saputra), tapi film kemasan.
Dan hari ini kemasan itu penting ... untuk marketing. Buku-buku yang mutunya
buruk tapi laris tetap diproduksi kok oleh Gramedia ... tapi dengan lampu
kuning. Oh ya... jika dibandingkan degan film versi Line, ini lebih baik atau
lebih buruk? Lebih panjang.
No comments:
Post a Comment