Whatever you want...

Monday, May 2, 2016

Jadi, Ada Apa dengan Cinta 2? Sebuah Review

| No comment
Jam sembilan lewat lima belas. Lebih dari separuh bioskop terisi. Luar biasa untuk Senin dan Kediri.

Ada beberapa hal luar biasa dari film ini: Kemasannya!

Dandanan para pemainnya sophisticated. Geng Cinta dan Rangga ditampilkan dalam kontras yang memukau, si New York kucel dan si Jakarta ditampilkan sangat postmodern. Dibalut oleh Jawa yang ditampilkan komikal (dan entahlah kenapa Jogja diidentikkan dengan abdi dalem – yang tampil dengan konyol), kreatif, dan penuh warisan leluhur. Sinematografinya cerdas, pergerakan dan sudut pengambilan gambar berhasil menangkap keindahan Jogja dan sekitarnya. Kota Jogja sebagai tempat kuliner dan pertunjukan seni (karena di Jogja mereka isinya hanya makan dan berwisata seni) dan daerah-daerah sekitarnya (Ratu Boko dan Gereja Ayam) sebagai tempat kisah terungkap. Tempat-tempat itu seperti hendak mendukung bahwa cerita memang tidak selalu verbal, suasana selalu ikut menggerakkan. Direktur artistiknya jempolan lah!

Kemasan yang lain yang tidak kalah menarik adalah soundtrack. Melly dengan lagunya Ratusan Purnama yang khas Melly dan kuanggap benar-benar sudah membosankan, diperdengarkan pada saat yang tepat dan dipotong pada bagian yang tepat. Beberapa lagu dari film sebelumnya terkhusus Suara Hati Seorang Kekasih diaransemen dengan ciamik. Walaupun memang cenderung mainstream, tetapi sama sekali tidak buruk, malah keren.


Masuk ke bagian cerita. Baiklah! Aku harus mengatakan ... hmmm...

Empat belas tahun jelas bukan waktu yang pendek untuk pertumbuhan karakter seseorang. Pertumbuhan karakter itu digembar-gemborkan juga pada saat behind the scene, wawancara, dan segala jenis publikasi. Bahkan sempat dibandingkan dengan Before Sunrise-Sunset-Midnight series yang fenomenal. Tapi ya begitulah... Kadang memang lebih baik menonton film Indonesia tanpa ekspektasi daripada akhirnya lagi-lagi berharap dan dikecewakan. Alur ceritanya super tertebak. Dialog-dialognya cheesy untuk film yang diharapkan menjadi naratif dan puitis. Perkembangan karakter tak lebih dari perubahan kondisi, karakter mereka tetap satu warna. Peralihan alur benar-benar dipaksakan bisa masuk. Liburan Geng Cinta ke Jogja, Datangnya Sukma dan saudara-saudara Rangga, Peristiwa di kedai kopi Rangga di New York, termasuk perkembangan cerita Rangga dan Cinta dalam sepanjang film rasanya seperti dikarbit ketimbang organik. Benar-benar tanpa motif. Dialog-dialog remeh temeh seperti tentang keponakan dan Pemilu yang sebenarnya bisa menjadi dialog antara yang  luar biasa, ternyata ditampilkan tidak lebih dari seperti footage untuk cerita hubungan Rangga dan Cinta yang terus disuapkan terus menerus. Niatnya OK, eksekusinya yang begitulah.

Alasan-alasan yang dimunculkan untuk membangun cerita utama benar-benar alasan yang trivialize their smart and witty character (as we’ve always been told again and again). Untuk kelompok orang berusia 30an tahun, rasanya hanya Nicholas Saputra yang tampil demikian. Yang lain tampak sangat mentah. Sebut saja pengumuman pertunangan Cinta oleh Ario Trian Bayu, berhasil menampakkan kegeblekan teman-teman Cinta yang tidak membaca tanda-tanda dengan baik. Diskusi-diskusi mereka ketika mereka sedang bertiga lebih cenderung terasa seperti dialog anak SMA ketimbang orang 30an tahun. Pertunangan Cinta dan Trian dalam perjumpaannya dengan Romantismenya dengan masa lalu Rangga Cinta benar-benar menampilkan sisi Cinta yang tidak sedewasa dan secerdas bagaimana dia mengagumi karya seni. Jadi gambaran sangat indah dari lokasi-lokasi syutinglah yang sepertinya lebih menyeret alur ketimbang dialog dan akting mereka. Seolah ada kesepakatan bersama: Jika akting dan ceritanya buruk, sajikan saja tempat yang indah, maka semuanya akan menjadi baik.

Titi Maura Kamal adalah yang terburuk, diikuti Adinia Karmen Wirasti satu level lebih baik, lalu Dian Cinta Sastro, satu-satunya yang berhasil menampilkan karakternya dengan menggemaskan adalah Sissy Milly Pricilia (dan itu pun lebih cenderung karena dia ditampilkan bloon ketimbang berkembang karakter). Dian Sastro yang super cantik itu OK di scene-scene bergerak, tapi begitu masuk di bagian yang deep and need stillness, dia benar-benar tergagap. Akting-akting kecil (bussiness acting) melalui tangan, mata, bibir, gestur rasanya memang bukan (belum) wilayah Dian Sastro. Begitu masuk ke bussiness acting, maka akting Dian langsung patah.  Tapi syukurlah dia cantik.

Rasanya jika ada yang perlu mendapatkan kritikan keras itu adalah pada skenario. Rangga yang sudah pernah pacaran tapi tidak juga move on begitu saja luntur ketika bertemu Cinta. Teman-teman Cinta yang tidak begitu menghargai pertunangan Cinta. Jika pun ada yang mengatakan iya, aku akan bertaya mana? Maura? Itu lebih menampakkan dia yang tidak dewasa ketimbang riil. Bahkan pertunangan Cinta yang berpotensi mengalirkan cerita ternyata hanya disentuh sebagai ornamen ketimbang pelik. Kepulangan Rangga ke ibunya hanyalah pendorong untuk komparasi pemutusan hubungan yang tidak jelas. Side stories dalam film ini bisa dibilang tidak memberikan sumbangan apa pun pada kisah utama: dua orang yang putus dan lama tidak bertemu lalu ketemu lagi dan beromantisme pada cerita-cerita masa lalu. Jadi inti hidupnya Cinta hanya Rangga dan inti hidup Rangga adalah cinta. Inti hidup teman-teman Cinta adalah hubungan Cinta dan Rangga. Ketiadaan Alya lebih lagi, seolah ini mereka jane piye to. Endingnya ... baiklah untuk adegan penting, perlu ada acara salah paham segala, Cinta langsung lari keluar. Wow dia tentu pengelola galeri seni, pemikir seni yang dalam: Satir. Dalam hal ini tentu saja harus berhadapan dengan Mira Lesmana. Aku adalah pendukungnya mati-matian dalam perjuangannya bagi Film Indonesia, tapi kali ini aku harus berani mundur dan mengatakan, “Maaf!”


Tapi tak apalah. Film ini tetap nyaman dinikmati dalam dua jam lebih. Dan sebagai film Reuni baiklah tidak menyejajarkan ini degan Before Sunset. Film ini ya Ada Apa dengan Cinta 2. Tidak lebih ... ehm dan tidak kurang. Mengingat Film ini malah mengingatkanku pada Alice in Wonderlandnya Tim Burton, 300, dan Sucker Punch: bukan film akting (kecuali untuk Nicholas Saputra), tapi film kemasan. Dan hari ini kemasan itu penting ... untuk marketing. Buku-buku yang mutunya buruk tapi laris tetap diproduksi kok oleh Gramedia ... tapi dengan lampu kuning. Oh ya... jika dibandingkan degan film versi Line, ini lebih baik atau lebih buruk? Lebih panjang. 
Tags :

No comments:

Post a Comment