Ratusan anak Kristen di sekolah negeri tak mendapat guru Pendidikan Agama Kristen, bukan sekadar karena peraturan pemerintah yang diam-diam membatasi itu, tetapi juga karena terlalu sedikit guru yang tertarik untuk ngerumat hal itu hari ini. Risikonya besar, banyak warga Kristen dari gereja-gereja mainstream (GKJW, GKI, GKJ, GPIB, dll) yang memilih akhirnya untuk menjadi guru agama di sekolah-sekolah Kristen seperti BPK Penabur, Cita Hati, Olifan, dll. Yang notabene relatif lebih aman, baik dari segi finansial maupun urusan administratif. Bahkan beberapa mahasiswa teologi akhirnya juga memilih untuk terjun ke sana. Bukan sedang mengatakan mereka salah, bukan sedang mengatakan mereka tidak berjuang, namun demikianlah kenyataannya.
Bersama dengan itu, saudara-saudara dari gereja aliran Pentakostal dan Kharismatik berani mengambil risiko, datang ke sekolah dan menawarkan diri untuk menjadi guru agama di suatu sekolah negeri. Mereka punya keprihatinan besar kepada anak-anak yang tidak mendapatkan hak mengecap Pendidikan Agama Kristen di sekolah itu. Tapi jangankan sampai di ruang kepala sekolah, baru sampai di gapura sekolah mereka sudah ditolak. Jelas. karena mereka tidak njalur. Seharusnya penerimaan guru , sebagaimana kebutuhan tenaga guru agama dibicarakan dalam komite sekolah, komite inilah yang nanti mengusulkan dalam rapat pihak eksekutif sekolah. Akhirnya banyak niat yang menggebu itu kandas, bahkan beberapa dengan frustasi dan kemarahan.
Demikianlah juga halnya dengan pendeta, banyak pendeta yang hari ini melanjutkan karya pelayanan para rasul yang sederhana itu, yang mengatakan bahwa "Emas dan Perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai kuberikan kepadamu" nyatanya hidup dengan sangat berkelimpahan. Mereka bukan hanya tinggal di rumah mewah, dengan mobil mewah, jika dipanggil melayani atau mengadakan kebaktian raya menginap di hotel VIP bahkan VVIP, dengan potongan rambut dan pakaian yang tidak ubahnya a la anak-anak muda hari ini. Namun, mereka juga mengkhotbahkan sesuatu yang menyenangkan, "Bertobatlah dan jadilah kaya!" Sejak kapan batu itu harus menjadi roti? Tentu saja mereka akan mengatakan bahwa jika mencari kerajaan Allah dan kebenarannya, apa pun akan ditambahkan. Tapi mengapa ukuran yang membuktikan bukan lagi shallom, tapi apa yang dimiliki. Akhirnya mereka mengkonversi para warga jemaat, yang hebatnya adalah warga jemaat sesama Kristen. Dan jika mereka bertumbuh seratus atau bahkan sejuta kali lipat mereka akan mengatakan bahwa mereka telah menobatkan jiwa-jiwa. Ditobatkan untuk menjadi seperti mereka.
Sedangkan di sisi lain, ada pendeta-pendeta yang berjuang sampai di pelosok desa. yang memberikan diri dengan bakti, tetapi sama halnya, mereka tidak berpikir tentang advokasi untuk ketidakadilan, mereka setia tapi tidak berkonteks. Maka ketika sekarnag terjadi krisis ekologi, terjadi penggantian hutan menjadi kebun sawit, mereka punt dirudung kekecewaan dan kemarahan.
Berjuang. Aku yakin semua orang berjuang dengan caranya. Tapi pada saat itulah orang perlu melihat apa yang diperjuangkan. Mengapa banyak lulusan mahasiswa teologi yang memilih untuk menjadi guru agama tidak memilih mengajar YBPK atau sekolah-sekolah serupa? Mengapa memilih sekolah terkenal dengan deretan angka raksasa? Mengapa para pendeta lupa pada panggilan asalinya? Mengapa juga di sisi lain ada yang sebaliknya, dan lagi-lagi harus berakhir dengan kekecewaan. Mungkin karena kita lupa saling berbicara, dan untuk sebuah kelompok yang semestinya menjadi kelompok, kita memilih untuk tercerai berai. Kecurigaan dan keterbatasan melihat sisi bersama menjadikan mereka saling beradu satu sama lain. Apalagi jika lalu ada kepentingan ekonomi dan politik bertemu.
GKJW dalam perjumpaan interfaithnya menjalin relasi cukup baik dengan umat beragama lain, khususnya NU, tapi mengakui juga bahwa bersama dengan itu, relasi yang terbangun banyak yang bergerak di tataran diskusi dan sudah. Ya benar setiap orang punya ladangnya sendiri, tapi mungkin ada baiknya juga meluaskan kerja sama sampai di sisi aksi bersama, khususnya tentu saja dalam pemberdayaan ekonomi, advokasi, media, dan edukasi? Beberapa sudah, beberapa belum. Sedang saudara-saudara yang lain dan beberapa dari GKJW juga, sibuk beribadat raya dan menangis, lalu kadang lupa pada sisi-sisi manusia yang lain. Dan saatnya terjadi pertemuan, hal yang paling mengemuka tidak jarang adalah kita mau mengadakan ibadat apa lagi? Kita mau perayaan apa lagi di Bamag? Berapa bantuan dari pemerintah yang akan kita terima? Sudah saatnya berbicara satu sama lain bukan untuk saling mengkonversi, tapi untuk saling mendukung kehidupan, tentnag sebuah gerakan bersama, selebrasi boleh lah, tapi lebih dari itu mungkin lebih baik jika aksi. Aksi yang bukan hanya beramai-ramai di jalan dan lapangan tapi juga aksi yang elegan dan strategis untuk kemajuan bersama bangsa dan negara.
Tulisan ini bukan protes, hanya sebuah ajakan.
No comments:
Post a Comment