Ketika menemukan dirinya hendak ditangkap oleh orang-orang Roma karena upayanya untuk mengabarkan injil, maka ketakuatan pun menyerbu hatinya. Petrus segera bergegas melarikan diri dari kota itu. Keadaan kota itu sudah genting untuk para Kristen, tidak hanya puluhan tetapi ratusan meninggal.
Tidak disangkanya di tengah jalan Petrus bertemu dengan Yesus, memanggul salibnya bersimpang jalan dengannya. Petrus heran, maka dia pun bertanya, "Quo vadis? (Hendak ke mana?)" Yesus memandangnya dengan tatapan dalam, "Roman eo iterum crucifigi. (Aku hendak ke Roma, untuk disalibkan sekali lagi.)"
Petrus mendadak malu. Sekali lagi dia melarikan diri dari pergumulan berat. Tidak cukupkan tiga penyangkalan sebelum kokokan ayam pagi itu? Tidak cukupkan tiga pertanyaan "Apakah engkau mengasihi aku?" ketika mereka sedang sarapan di tepi danau itu. Sejenak saja timbul keberanian membuncah dalam relungnya. Dia mengangguk. Dia berbalik arah, kembali ke Roma. Dan di sana dia terus berjuang demi imannya, hingga akhirnya mati disalib terbalik.
Apakah masih kurang kasih setia orang muda itu? Nyawanya diberikan pada usia yang sangat muda, 33 tahun. Ketika para Yahudi lain mempercayai bahwa umur panjang adalah berkat, dia melepas berkat itu demi sebuah tonggak imannya. Bahwa iman bukan material, tapi iman adalah eskatologis. Buah dari iman bukan apa yang tampak tapi lebih dari itu, keutuhan bersama Bapa dan kehendakNya.
Ketika para Yahudi lain merindukan tanah (terjanji), dia melepas semuanya bahkan dengan sederhana, "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya." Dia terus berjalan, pergi dari rumah bapa biyungnya, untuk ke mana? Untuk menuju salib. Hendak berkata apa sang Bapa Abraham jika sudah demikian?
Ketika para Yahudi lain merindukan keberlangsungan terus menerus, sustainability, keberlanjutan yang digambarkan dengan keturunan, generasi, toledot, Hidup yang tidak terputus. Dia memilih mati bahkan dengan mengatakan, "Manusia bukan hanya hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Jika atas makanan, penyambung hidup, saja dia tak menaruh khawatir, bagaimana mungkin dia khawatir akan urusan keturunan? Hendak berkata apa Elia jika sudah demikian?
Ketika para Yahudi lain merindukan kuasa. Dia menyerahkannya. Iblis menariknya untuk menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah dan malaikat-malaikat akan melayani dia. Tapi dia kehilangan semuanya. Menjadi kosong, kenosis, bahkan hingga Allah pun tak beserta dia lagi. "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?" Itu pun masih dilakukannya dengan setia, sampai ucapan terakhirnya, "Sudah selesai" ketika dia menundukkan kepala dan menyerahkan rohnya. Hendak berkata apa Daud jika sudah demikian?
Kekecewaan-kekecewaan dialaminya, murid yang tertidur dan tidak mengerti-mengerti juga, para saudara Yahudi yang berkeras menyalibkannya, hingga dunia yang menyebutnya penjahat. Namun apa yang dia katakan? "Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan." Hendak berkata apa Musa jika sudah demikian?
Yang dia tahu adalah bahwa telah nyata jelas apa yang menjadi tugasnya. Maka dia tidak memandang khawatir pada apa pun. Dia punya jawaban jelas untuk pertanyaan "Quo Vadis!" Mesias baginya bukan urusan perihal-perihal yang kelihatan lagi: tanah, umur panjang, keturunan, kuasa, tapi perkara yang dia sebut sebagai Kerajaan Allah. Ketika Allah meraja di sorga dan di bumi.
Dan aku, begitu pun engkau, masihkan bergelut dengan tanya, "Mengapa Tuhan? Kapan Tuhan? Bagaimana Tuhan?" atau "Sulit Tuhan! Sakit Tuhan! Lelah Tuhan!" dan tidak hendak memandangnya dalam salib. Masih terus meragu segamang-gamangnya ketika ganti dia yang bertanya kepada kita, "Quo vadis, sayang?"
Selamat Jumat Agung!
No comments:
Post a Comment