Kau bercerita kepadaku tentang seorang anak kecil yang terus mengikutimu. Kau mengatakan tentang polahnya yang selalu bergelayut di pundakmu.
Awalnya kau pikir anak itu lucu. Kau menyayanginya, begitu menyayanginya. Karena sejauh kau ingat, anak itu selalu bersamamu. Ketika teman-teman, saudara, bahkan keluarga datang silih berganti, anak itu tinggal tetap. Kau dulu berpikir bahwa anak itu yang membutuhkanmu, lalu kau mulai menyadari bahwa justru kau lah yang membutuhkannya. Tetapi semakin merasa dibutuhkan anak itu semakin kurang ajar.
Lalu seiring kau merasakan bergantung kepadanya, dia semakin beringas. Dia memakan segala mimpimu, terutama mimpi-mimpi yang kau temukan ketiga terbangun. Anak itu selalu menangis ketika kamu sedang sendirian, kalau sudah begitu kau tidak punya cara selain menenangkannya. Dan ketika kau berupaya menemaninya, dia menusukkan sebuah pisau di dadamu. Bukan darah yang mengalir, tapi kekosongan. Seperti rasa kematian.
Anak kecil itu selalu membawa album foto yang sama. Dia mengatakan itu album foto kepahitan. Dan kau sama seperti kebanyakan orang pada umumnya, akan sangat berempati pada kepahitan. Kau ikut terlarut dalam deret gambar-gambar yang terpampang di sana. Tidak ada gambar yang jelas, semua buram dan suram. Tapi entahlah kau begitu menikmati gambar-gambar di album itu. Dan sedikit demi sedikit kewarasanmu hilang, berganti dengan air mata yang tak habis-habis dari pelupukmu.
Wajah anak itu tidak jelas, katamu. Tapi tidak, wajahnya begitu kentara. Aku pun bisa melihatnya dengan sempurna. Anak itu tak berbayangan, kakinya tak menginjak tanah. Pakaiannya kelam dan rambutnya api. Wajahnya, ya itu yang paling mencekam, adalah wajahmu. Setiap kali kau menumpuk kekesalan, penyangkalan, dan kepedihan, pakaiannya semakin kelam, dan rambut apinya semakin bernyala.
Anak kecil itu hantu. Aku tahu itu. Mengapa tidak kau lepaskan?
Tapi ingat, melepaskan anak kecil berbeda dengan melepaskan orang dewasa. Satu-satunya cara adalah berdamai dengannya. Mengatakan kepadanya, "Terima kasih telah menemaniku selama ini, tapi sekarang, aku harus berjalan sendiri. Kau pulanglah! Karena kau adalah cerita yang sudah lalu. Sedang aku hidup pada saat ini, dan mungkin saja ada esok buatku. Sekarang aku punya teman-teman yang lain, mereka yang datang dan pergi. Mereka memang tidak sesempurna kamu dalam menamani, tapi mereka saja cukup untuk saat ini. Dan andaikata aku memang sendirian, aku rasa aku sudah berani." Salamilah dia, peluklah dia. Lalu biarkan dia terbang.
Tapi ingat, melepaskan anak kecil berbeda dengan melepaskan orang dewasa. Satu-satunya cara adalah berdamai dengannya. Mengatakan kepadanya, "Terima kasih telah menemaniku selama ini, tapi sekarang, aku harus berjalan sendiri. Kau pulanglah! Karena kau adalah cerita yang sudah lalu. Sedang aku hidup pada saat ini, dan mungkin saja ada esok buatku. Sekarang aku punya teman-teman yang lain, mereka yang datang dan pergi. Mereka memang tidak sesempurna kamu dalam menamani, tapi mereka saja cukup untuk saat ini. Dan andaikata aku memang sendirian, aku rasa aku sudah berani." Salamilah dia, peluklah dia. Lalu biarkan dia terbang.
No comments:
Post a Comment