[1] Disampaikan dalam RETREAT PENGUTUSAN Majelis Jemaat GKJW Jemaat Tanjung Perak, RR Dharmaningsih, Claket-Pacet Mojokerto, 7-8 Februari 2016
JALAN PULANG
Perjumpaan Yesaya dengan TUHAN membuatnya menemukan dirinya (Yesaya 6: 1-13). Ada alur yang indah dalam perjumpaan itu:
1. Yesaya melihat kemuliaan TUHAN (ayat 1-3). Ini satu-satunya jalan sampai pada kesadaran diri, dengan berjumpa dengan kemuliaan Tuhan. Tanpa itu manusia hanya melihat gemerlap yang ditawarkan lampu-lampu kota dan kemegahan bangunan pencakar langit. Tapi ketika seseorang melihat kemuliaan Tuhan, gemerlap jagad itu tidak ada artinya.
2. Yesaya mengakui keterbatasannya (ayat 4). Perjumpaan dengan Tuhan membuat Yesaya merasakan celakanya, membuahkan pengakuan dan pertobatannya. Dia dan bangsanya adalah najis bibir. Pertobatan ini tidak hanya personal tetapi juga sosial, sosial tetapi juga personal.
3. Tuhan melalui serafim memberikan pengampunan kepadanya (ayat 6-7). Bagian ini sangat memesona. Pengampunan TUHAN itu tidak didapatkan oleh Yesaya dengan cara yang manis, tetapi dengan sengatan bara api. Kesadaran diri selalu muncul bukan dengan pengingkaran tetapi dengan kepasrahan, keberserahan. Tidak ada jalan untuk sampai pada anugerah kecuali dengan penyerahan diri total, bahkan melalui rasa sakit dan panas yang membakar. Hanya dengan cara itulah seseorang bisa mengalahkan dirinya sendiri, bukan dengan jalan yang instan dan mudah, tetapi dengan ikhlas, sampai seseorang berkata, “Punapa karsa Paduka Gusti, mangga!” Bahkan ketika karsaning Gusti itu melukai. Tapi hebatnya ternyata bara api mezbah itu tidak melukainya, tetapi justru menyembuhkannya.
4. Dalam kebaruan diri ini, Yesaya dipanggil dan memberikan diri untuk diutus oleh TUHAN (ayat 8). Tuhan menawarkan, dan Yesaya dengan penuh dedikasi menyatakan kesediaannya “Ini aku, utuslah aku!” Bukan sebuah keterpaksaan, tapi sebuah kesadaran, kesediaan, dan penyerahan.
5. TUHAN menyampaikan berita yang harus dikabarkan Yesaya (ayat 9-13). Berita TUHAN ternyata adalah berita kehancuran diri Israel: Israel tidak akan mendengarkan dan melihat karya TUHAN sampai mereka tinggal sepersepuluh. Dan yang sepersepuluh itu pun akan ditimpa kebinasaan, baru sanalah Tunas Baru itu akan tumbuh. Israel akan ditimpa malapetaka dan luluh lantak, tetapi dari lebur itulah tumbuh harapan akan sebuah kehidupan baru yang murni.
Alur tersebut dihidupi oleh GKJW dalam ibadatnya, alur itulah yang lantas menjadi dasar GKJW dalam menyusun liturginya (mari melihat pola tersebut dalam ibadat GKJW). Maka ketika Yesaya dipanggil oleh TUHAN, Yesaya mematikan dirinya yang penuh celaka dan dihidupkan oleh TUHAN melalui perjumpaan denganNya. Bukan hanya untuk dirinya sendiri akhirnya, tetapi untuk bangsanya. Dampak dari pertobatan personal selalu membawa konsekuensi pada lingkup yang lebih besar, sosial.
Pola kecil ke besar, sempit ke luas ini juga nampak dalam pengutusan Yesus kepada murid-muridNya ketika kenaikanNya ke sorga: "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kis 1: 7-8). Betapa indahnya karya Tuhan di sini, karya itu tidak pernah berhenti untuk diri, tetapi selalu melebar pada sebuah komunitas yang lebih besar, dan terus membesar sampai ke seluruh bumi. Keselamatan Israel tidak hanya untuk Israel tetapi untuk seuruh jagad raya, bahkan seorang nabi seperti Yunus pun, tidak bisa menggagalkan rencana keselamatan ini, sengeyel apa pun dia. Terang itu bukan untuk disimpan di bawah kuali, tetapi supaya orang yang ada di bawah gunung pun bisa melihatnya. Universal. Apakah ini berarti bahwa semua orang di dunia harus menjadi Kristen? Ah betapa remehnya kalau Kristen sekadar dimaknai sebagai ber-KTP Kristen.
Dan bisa-bisanya orang melihat akhir jaman hanya pada kehancuran paska tujuh sangkakala (Wahyu 8-9), tidak! Akhir jaman adalah bumi dan langit yang baru. Akhir jaman bukanlah kiamat yang menakutkan, itu hanya pengantar pada pertobatan, kehancuran kedirian. Kehancuran sepertiga dari bumi oleh sangkakala para malaikat itu bisa dibaca demikian: Yunani selalu membagi seseorang menjadi tiga, tubuh, roh, dan jiwa. Roh dan jiwa tidak akan hancur, tetapi tubuh, daging yang lemah, itulah yang akan binasa. Apakah ini berarti kematian? Bisa jadi iya, tetapi bisa juga dibaca sebagai pulang pada sang sumber hidup, bahkan tanpa kematian pun seseorang bisa pulang pada sang sumber hidup itu, bukan? Dan itulah akhir jaman, itulah tujuan akhir itu, sang tanah terjanji. Hidup yang penuh dengan shallom bersama sang sumber hidup dalam KerajaanNya, “menghadirkan tanda-tanda hadirnya Kerajaan Allah bagi dunia,” demikian bahasa Tata Gereja GKJW.
BEKAL PULANG
Untuk pulang kepada Tuhan dan menjadi dia yang diutus, seseorang harus membekali dirinya dengan spiritualitas. Spirit, roh. Memiliki roh yang menghubungkannya dengan Roh Tuhan Allah. Allah adalah roh, hanya dengan roh dia bisa didekati. Bukan dengan diri dan segala gemerlapnya, prestasinya, posisi sosialnya, kepandaiannya, kedudukannya, kekayaannya; tetapi dengan roh yang tak nampak. Tuhan tak pernah melihat muka tetapi dia melihat yang tak nampak. Itulah dasar pemilihan Samuel, bahkan Daud. Bukan saudara-saudaranya yang perkasa dan gagah digdaya, tetapi pada seorang yang lemah dan kemerahan. Untuk itulah Abrahan, Yakub, Yusuf, Musa, Daud, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Daniel, Yunus, Paulus, Petrus, dan para murid lain harus menanggalkan diri mereka. Penanggalan diri ini digambarkan dengan berbagai macam cara: perkelahian sampai pincang, pembuangan dan penjara, perjumpaan dengan Tuhan di gunung, pelepasan jabatan struktural negarawi, penglihatan, dimakan ikan besar, buta tiga hari, dan perubahan status dari penjala ikan menjadi penjala manusia.
Kita tidak mungkin melihat semua spiritualitas itu. Saya akan mengajak para penatua diaken Tanjung Perak untuk melihat pemurnian spiritualitas ini pada dua buah kisah sejajar: pencobaan Yesus di padang gurun dan pemanggilan Petrus dalam pembicaraan intesnya yang terakhir dengan Kristus (saya berhutang banyak pada Henry Nouwen “In the Name of Jesus” dan Albert Nolan “Jesus Today” dalam penyampaian materi ini).
BEKAL I: Dari Aksi menuju Refleksi (Kesungguhan)
Pencobaan Yesus pertama adalah mengubah batu menjadi roti. Kondisi ini bisa mengandung dua makna, makna yang segera tersurat adalah bahwa Yesus lapar setelah berpuasa di padang gurun. Makna yang tersirat adalah bersama Yesus ada ribuan orang miskin yang kelaparan, dengan mengubah batu menjadi roti maka Yesus akan mengangkat orang-orang itu dari penderitaan. Setidaknya mereka tidak perlu bersusah payah lagi untuk pangan mereka. Kita sering mendengar istilah, “jadi orang kaya supaya bisa membantu yang miskin, bekerja supaya bisa mempersembahkan.” Bukankah pencobaan iblis ini relevan dengan kebutuhan dunia hari ini? Mengapa Yesus menolaknya.
Yesus justru menjawab cobaan itu dengan, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4) Hal ini sering dimaknai sebagia mengutamakan yang rohani ketimbang duniawi. Terjadi pemisahan besar antara rohani dan jasmani. Dalam masyarakat hari ini, ini yang membuat keterasingan hubungan antara manusia yang bekerja dengan kehidupan gerejawi. Dampaknya adalah, jika seseorang kemudian akhirnya tidak meninggalkan gereja (karena mereka menganggap bahwa perintah ini tidak masuk akal), maka mereka mengutamakan pelayanan gerejawi sampai menomor sekiankan keluarga dan pekerjaan. Sayang sekali jika kehidupan rohani lantas dikenakan begitu saja pada pelayanan gerejawi, sehingga orang kemudian membuat perbandingan antara kehidupan keluarga, pekerjaan, dan pelayanan gerejawi. Ini adalah perbandingan yang tidak seimbang sama sekali.
Tidak, jawaban Yesus berkaitan dengan eksistensi orang percaya. Keluarga, pekerjaan, dan pelayanan gerejawi adalah panggilan yang sama-sama hidup dalam kehidupan orang percaya. Membuat skala prioritas atasnya, jika tidak dengan refleksi, bisa menjadi salah arah. Ketiga hal ini berasal dari kasih Tuhan kepada setiap manusa. Jadi jika ada yang melampaui ketiganya adalah pergaulan sang pribadi dengan Tuhan. Sederhananya, dalam kehidupan keluarga dia tetap orang Kristen, bukan? Iya! Dalam pekerjaan dia tetap orang Kristen, bukan? Iya! Dalam kehidupan pelayanan gerejawi, dia tetap orang Kristen bukan? Iya! Artinya Yesus tidak sedang berbicara tentang pelayanan gerejawi saja, tapi Yesus berbicara tentang apa yang menjadikan orang Kristen tetap seorang Kristen, yaitu kelekatannya dengan Tuhan sang akar, sang sumber hidup.
Yang agak mengagetkan adalah kerap orang mengidentifikasikan hidup rohani dengan pelayanan gerejawi. Tidak! Pelayanan gerejawi terlalu sempit untuk dinamakan kehidupan rohani. Kehidupan rohani meliputi baik keluarga, kerja, maupun pelayanan gerejawi. Di atas ketiganya (atau keempat, kelima, keenam, ketujuh jika dijumlahkan dengan berbagai kepentingan hidup yang lain) seorang Kristen tetap harus kembali kepada akarnya.
Akar, niat, motivasi adalah hal yang penting untuk dilihat, direfleksikan dalam setiap aksi.
Lalu jika secara khusus melihatnya dalam kehidupan pelayanan gerejawi, akhirnya demikian: kadang gereja sibuk dengan program dan aksi. Sibuk dengan diakonia, sibuk dengan kesaksian, sibuk dengan persekutuan, sibuk dengan teologi, penalayananan, perencanaan penelitian dan pengembangan, dengan keuangan, dengan hubungan antar umat. Itu baik, tapi akan jauh lebih baik jika kemudian kembali direfleksikan. “Mengapa kamu melakukan semua itu?”
Dan Yesus dalam pengutusannya kepada Petrus mendasari semua karya pengutusan Petrus dengan bertanya kepadanya sampai tiga kali, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” (Yoh 21: 15,16,17). Ini dia! Dasar dari segala aksi adalah mengasihi Tuhan. Bisakah ada aksi gerejawi yang tidak dilandasi karena mengasihi Tuhan? Banyak! Ada yang alasannya demi keren, demi popularitas, demi aman, demi kenyamanan diri, bungkusnya bisa saja bernama pelayanan. Namun hanya dengan kembali kepada akarlah yang bisa membuat orang menemukan alasan, sumber dari segala aksi mereka. Kembali pada akar ini yang kita sebut dengan refleksi. Refleksi pasti jujur, aksi belum tentu. Karena itu Yesus menolak pencobaan Iblis, karena sekalipun aksi yang dia lakukan bisa jadi nampak baik dan berperikemanusiaan, tetapi dasar dari semuanya adalah pencobaan Iblis. Pada saatnya Yesus nyatanya memberi makan 5000+ orang juga, tapi dasarnya bukan karena pencobaan, tetapi karena karya Allah harus dinyatakan. Bukan aksi (serelevan apa pun aksi itu) tetapi dasar dari segala aksi itu yang utama, dan hanya refleksi yang bisa menjadi jalan menemukannya.
Aksi dalam kehidupan gerejawi tidak bisa dilepaskan dari refleksi atasnya. Karena refleksi inilah yang membawanya pada hakikat pelayanan gerejawi. Aksi dan refleksi akhirnya menjadi dua sisi yang tak pernah saling terpisahkan. Rectoverso. Bukan hanya berkarya tapi berkarya karena mengasihi Dia. Kesungguhan.
BEKAL 2: Dari Kesan menuju Pesan (Kerendahhatian)
Menjatuhkan diri dari Bait Allah adalah perbuatan spektakuler yang bisa membuat orang melihat probadi Yesus sebagai pribadi yang populer dan sangat mengesankan. Tapi Yesus menjawab tidak kepada pencobaan kedua itu.
Pelayanan gerejawi, bahkan segala laku Kristen, tidak pernah ditujukan untuk mencapai kesan. Terlalu remeh dan sepele jika hanya ke sana. Dan untuk sebenarnya sangat mudah. Tidak usah pelayanan gerejawi, sekalian saja jadi bintang televisi. Kesan hanya di permukaan, setelah yang permukaan ini dikelupas, orang akan sampai pada kedalaman. Pada pesan. Kesan tidak abadi tetapi pesan tidak lekang waktu.
Bagaiamana lantas mengukur sesuatu ini untuk pesan atau untuk kesan? Paling sederhana demikian, jika tidak ada yang menyaksikan, jika tidak ada yang melihat, apakah kau akan tetap melakukan itu untuk karya Tuhan? Jika kita masih butuh penonton maka bisa dijamin sebenarnya yang kita lakukan tak lebih dari mengejar kesan. Tidak salah, tapi alangkah lebih baiknya jika tidak sekadar itu. Butuh kerendahhatian untuk sampai pada pesan.
Maka dalam pengutusan Yesus kepada Petrus, yang dikatakan Yesus kepadanya bukanlah, “Khotbahlah! Beraksilah supaya dunia melihatmu! Jadilah orang yang berpengaruh! Jadikan GKJW gereja nomor satu di Indonesia bahkan dunia sehingga orang melihat GKJW dengan pandangan agung dan perkasa! Jadilah terpandang!” Tidak, tetapi “Gembalakanlah domba-dombaKu” (Yoh 21: 15,16,17) dalam bahasa aslinya, “Berilah makan domba-dombaku.” Kesan tidak akan membawa orang pada kehidupan, hanya pesanlah yang bisa membawa orang berjumpa dengan hidup.
Apakah yang dilakukan orang dengan hanya mengejar kesan? Mereka mencobai Tuhan. Memaksa Tuhan untuk menuruti apa yang mereka inginkan. Karena itu dasar dari kehidupan Kristen tidak pernah “beriman supaya” tetapi “beriman karena”. Kita bukan sedang mengejar pahala, kita tidak sedang mengumpulkan harta sorgawi. Kita melakukan segala hal karena kita merasa diberkati, dikasihi. Maka pesan kasih Allah inilah yang kemudian kita sampaikan. Bukan untuk kita, tetapi untuk Allah. Maka pantaslah jika Yesus menjawab Iblis dengan, “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Mat 4: 7).
BEKAL 3: Dari Memimpin menuju Melayani (Keikhlasan)
“Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku” (Mat 4: 9). Apakah tantangan terbesar hari ini selain menjadi yang terbesar dari para murid? Bukan hanya kita sekarang, tetapi para murid Yesus pun mengalami pencobaan ini. Mereka berdebat sengit tentang siapa yang akan duduk di sebelah kanan dan kiriNya, tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Sindrom mayor. Orang selalu ingin menjadi besar. Karena besar berarti kuasa. Besar berarti memimpin. Besar berarti berhak dituruti.
Maka untuk menjadi besar orang menghalalkan apa pun. Bahkan budaya pro kematian seperti ketidak adilan, korupsi, nepotisme, sogok menyogok, pembelaan diri, mematikan lawan, dan banyak yang lain. Ada sebuah pernyataan yang sangat menarik untuk saya, “If you kill a killer, the number of killers in the world remains the same.” Budaya ingin menguasai hanya membawa pada rantai kematian yang tidak pernah terputus. Sindrom ini pernah melekat begitu kuat dalam dunia pendidikan, dunia bisnis, dan hari ini tampaknya juga melakat sangat kuat dalam dunia pelayanan gerejawi. Lalu apa yang tersisa dari gereja jika gereja menjadi ajang menguasai dan dikuasai. Sang kepala gereja bukan lagi Kristus, tetapi manusia fana yang “hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi." (Mzm 103:15-16), “Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan." (Ay 14: 2).
Bukan memimpin, bukan menguasai. Ebed YHWH selamanya adalah hamba, dia tidak pernah menjadi tuan. Tidak akan pernah. Maka pantas jika Yesus menanggapi pencobaan ketiga ini dengan, “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat 4: 10). Sang pemimpin tetap Tuhan. Panggilan seorang pelayan gerejawi, pendeta, guru Injil, penatua, dan diaken adalah untuk melayani. Apakah sikap yang kemudian menjadi utama? Tidak lain adalah ngelmu paling tinggi dalam kejawen, Elmu Eklas. Ilmu Ikhlas. Bukan menggenggam tapi melepaskan. Bahasa Alkitab menyebutnya dengan “Berserah!”
Dan ini adalah ucapan Yesus yang terakhir kepada Petrus dalam pengutusan Petrus. “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (Yoh 21: 18). Petrus disadarkan, bahwa menjadi tua bukan berarti menjadi berkuasa, menjadi besar bukan berarti menjadi semakin dihormati, tetapi menjadi semakin rela, semakin ikhlas, semakin berserah untuk dibawa ke mana saja, bahkan ke tempat yang tidak dikehendaki. Oleh Tuhan, bahkan oleh orang lain. Pantas saja jika jalan Kristen bukan jalan pembalasan dendam, tetapi jalan pengampunan dan pemaafan.
BEKAL 4: Dari Organisasi menuju Organisme (Kesetiaan)
Apa yang menjadi kesadara GKJW sejak semula tentang gereja. Para pendiri gereja di tanah Jawa Timur ini menghayati bahwa gereja adalah organisme, bukan sekadar organisasi. Organisasi dibutuhkan, tapi harus berdasar pada organisme.
Karena itu jika ditanyakan apakah kekayaan terbesar dari GKJW? Bukan dana milyaran rupiah itu. Tetapi orang-orang yang ada di dalamnya. Karenanya sampai hari ini GKJW mempertahankan ibadat patuwen. Karena hanya patuwen, perjumpaan, kehadiranlah jalan untuk mendekati hati. Program dan proyek hanyalah sarana. Karena itu juga seluruh komisi di GKJW disebut komisi pembinaan. Tujuannya adalah membina organisme, bukan sekadar menjalankan fungsi organisatoris. Kita berhadapan dengan manusia yang punya nalar, punya perasaan, punya kebutuhan disentuh sisi terdalamnya. Mereka adalah manusia yang bersumberdaya, bukan sumber daya manusia. Mereka selalu adalah subyek dan tidak pernah obyek. Mereka punya kehendak yang macam-macam, kadang bisa tepat kadang bisa keliru. Pada saat itu yang dibutuhkan adalah pembinaan. Supaya mereka bisa mengenal Allah, mengenal sesama. Dan untuk itu, tidak lain, yang dibutuhkan adalah kesetiaan.
Bahasa yang paling keras yang pernah digunakan oleh para sepuh GKJW demikian, “Gereja ini bisa berjalan tanpa majelis, bisa berjalan tanpa PHMJ, tapi gereja ini tidak bisa berjalan tanpa Tuhan. Asalkan kabeh wis dadi wong Kristen, kita tidak butuh organisasi macam-macam.”
RUMAH
Pada akhirnya sederhana. Untuk merengkuh segala bekal itu, para pelayan gereja harus memiliki sikap seorang gembala, sikap handarbeni. Sikap memiliki. Kita bukan pencuri domba Tuhan, kita adalah hamba yang membantu sang gembala agung itu ngrumati domba-dombanya. Kasihilah, rengkuhlah, jadikan mereka bagian dari kehidupan kita. Ini rumah kita.
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu. Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka. Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.
Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu.
Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku. Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala. Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.”
Selamat menggembala bersama Sang Gembala yang Baik!
No comments:
Post a Comment