Whatever you want...

Sunday, January 31, 2016

Generasi (yang secara kejam disebut dengan) Alay

| No comment
Latar pendidikan di Indonesia berada dalam range yang sangat luas, partisipasi pendidikan tahun 2014 menunjukkan data SD 96.37%, SMP 77.43%, SMA 59.24%, dan universitas 20.18%. Maka dari sana bisa dilihat bahwa senjang antara mereka yang berpendidikan tinggi dan rendah serta menengah sangat tinggi. Jika kita bersepakat bahwa pendidikan adalah pintu menuju civilization (pemasyarakatan, peradaban - entah mengapa bahasa ini tiba-tiba menjadi sangat kasar) maka sebenarnya keseimbangan di tengah masyarakat kita sangat tinggi. Bisa jadi hal ini karena keberadaan negara kita, yang marilah dengan rendah hati mengatakan bahwa kita ini negara dunia ketiga dengan masalah kemiskinan dan rawan sosial yang tinggi. Indikasi paling sederhana adalah bahwa kita lebih kagum kepada luar negeri daripada lokalitas kita.
Salahkah penghargaan pada luar? Tentu saja wacananya sekarang bukan masalah salah dan benar, dalam hal ini agak tidak relevan. Tapi berbicara pemetaan, di Indonesia ini tidak bisa kita menggunakan begitu saja pemetaan gaya luar. Apalagi Eropa dan Amerika, sejak konteks kita sama sekali lain. Bisa dimengerti mengapa gegar pada tren yang digelontorkan dari luar negeri bisa sangat mendunia di negeri ini. Bahkan kalau jujur, moda pendidikan kita (termasuk para pengajar kita) adalah bagaimana bisa bekerja di tempat tertentu ketimbang bagaimana bisa membuat kerja sendiri. Aku tidak hendak berbicara mengenai kebijakan pemerintah di sini, karena hal itu akan menjadi terlalu luas, dan pemerintah ini pun sebenarnya tidak bisa benar-benar jenak, sejak permainan politik di Indonesia masih sangat rawan kepentingan kelompok tertentu.
Mereka yang disebut alay itu adalah mereka yang berdandan, memotong rambut, berpakaian, bergaya hidup (termasuk dengan gadget, medsos, dll) dengan mengimitasi yang mereka lihat di televisi. Mereka hanya bisa mengimitasi karena daya yang mereka miliki memang sejak semua kurang kuat untuk membuat yang sejajar. Mengimitasi pun dari televisi, media yang hari ini sebenarnya sangat terbatas. Apalagi yang diikuti adalah acara aktualisasi diri para pemuda Korea dan Barat, yang di negerinya adalah orang-orang kelas berduit. Bisa jadi kemampuan mengimitasi pun sangat terbatas. Mengimitasi saja mereka bangga, dan kebanggaan imitasi itu lantas mereka tunjukkan dan pamerkan. Lalu orang-orang yang merasa dirinya berkekuatan ekonomi sosial serta pendidikan tinggi itu menyebut mereka alay. Bukankah itu kejam? Mereka mungkin mampu membeli HP keluaran China karena itu paling murah, potongan rambut mereka aneh karena para idola mereka mengajarkan itu, mengidolakan Frans Magnis Suseno. Sindhunata, atau Stephen Hawking mereka tidak kenal. Jangan berkata tentang Meryl Streep atau Robert de Niro, karena bahkan Butet Kertarajasa dan Djaduk Ferianto pun mereka asing. Jangan paksa mereka berbicara dengan bahasa Pramoedya atau Ayu Utami, karena yang mereka kenal adalah bahasa sinetron Korea dan Mandarin yang bisa jadi tidak jauh berbeda dari sinetron tanah air.
Lalu dengan sewenang-wenang mereka direndahkan. Bukankah ini tidak adil? Mereka yang punya kekuatan ekonomi sosila pun sebenarnya sama, tapi kebetulan mereka punya akses pada yang original, sehingga mereka bisa tampil trendi. Mereka lahir dengan wadak yang memesona atau jika pun tidak punya akses pada salon dan gym yang ber-AC. Mereka kenal jazz dan bowling. Mereka tidak takut kredit dan berisiko karena mereka tahu sistem. Mereka tahu sistem informasi dan pemrograman, sedangkan bagi yang kurang beruntung itu mereka tahunya adalah memakai dan memainkan facebook, instagram, Line Get Rich dan COC. Maka bukankah jahat sekali mengatakan alay itu sebagai tidak bermutu. Itu perbandingan yang benar-benar tidak menghargai konteks.
Lalu bagaimana? Kalau Paulus mengatakan begini, "Supaya kecukupanmu melengkapi kekurangan mereka, bukan supaya mereka berkelibahan, tetapi supaya ada keseimbangan." Inilah perlunya mereka yang beruntung untuk berbagi dan merengkuh, bukan semakin melebarkan jarak apalagi dengan cemoohan dan ejekan. Bukankah memiliki banyak saudara dari berbagai latar belakang itu semakin membuat kita menghargai hidup. Mari merengkuh, mari mengasihi. Mari mendidik. Sangat mudah mengatakan bahwa mereka yang sering ganti-ganti dp bbm, ganti status, dan sejenisnya sebagai kurang perhatian dan butuh perhatian. Menyebut mereka yang bergalau-galau itu sebagai kurang kerjaan. Itu sangat mudah. Tapi bukankah itu sebenarnya bisa dibaca, "Apakah perhatian yang bisa kulakukan dan kuberikan kepada mereka?"
Kalau di bahasanya pemuda mari katakan: Tren hari ini itu bukan untuk mengejek dan merendahkan. Itu sudah gak jaman. Tren hari ini adalah menghargai dan mengajak berjalan bersama!"
Tags :

No comments:

Post a Comment