Akhirnya harga yang harus dibayarkan oleh tambang mulia itu melampaui segala kemuliaannya sejak darah yang menjadi pengikat kehidupan hanya menjadi penyerta.
Sebuah kebanggaan seolah menyemat megah ketika kilauan bening gemilang nan keemasan yang membuahi sesela jari, lengan, leher, atau cuping telinga. Keterpesonaan yang terbangun di pelupuk mata tidak berhenti pada bentukan kecil besar, berliuk dan tajam di batu dan logam mulia itu. Kekaguman itu mengarah pada sebuah cerita lain: kelas. Dan sejak kasta terpapar sebagai aturan dan norma, kelas dicari dan dibayar. Harganya tidak sederhana, kadang dengan perjuangan berat berbulan-bulan, kadang cukup dengan menyepelekan hidup, sebut saja nyawa.
Hari ini konon panorama lelampuan kota yang gemerlap dari atas jauh tidak hanya didapatkan oleh pejuang daki gunung dengan otot kaki yang mengkal dan belikat yang sekal. Yang menghembus kretek tembakau murah ke udara langit setelah lebih dari tiga jam menyusur jalan sempit menuju puncak giri. Konon panorama itu bisa dibayar oleh hotel berlantai lima belas dengan jendela, pendingin ruangan dan kasur yang empuk. Bahkan mungkin tukang pijat yang rela dipijat. Cukup dengan mengeluarkan beberapa lembar hijau kebiruan atau menggesekkan kartu. Perjuangan yang dulu ditempuh dengan kaki, kini cukup ditempuh dengan ruang kubus kecil yang bernomor dan berbunyi ‘ding’.
Dan untuk itu Banyuwangi dibiarkan memerah, semerah Sierra Leon beberapa dekade yang lalu, semerah tanah Papua yang tak pernah berhenti bergejolak. Para alat menyebut diri mereka pejuang malawan kekawan demi sebuah kenyamanan. Kadang orang hanya menengok tanah yang bergunduk-gunduk atau terkeruk hingga bersedimen puluhan meter dalamnya. Atau kita melihat anak-anak yang disekolahkan oleh perusahaan tambang ke sekolah-sekolah Jawa, jika mereka pintar, mereka bisa ikut melanjutkan membuat gundukan dan kerukan tanah. Tapi jika mau menyusur sedikit lebih jauh, kita bertemu dengan kelompok bersenjata api dengan aroma mesiu bakar yang siap menembak dengan enteng. Bagaimana tidak enteng, cukup dengan perintah, “Habisi!” dan habislah lawannya. Lebih jauh lagi menyusur kita bertemu jajaran orang-orang berdasi, yang akan membuat kita cukup terkejut karena nama yang selama ini kita kagumi ternyata ikut serta di dalamnya. Dan lebih jauh lagi, orang-orang yang sedang bermain speekulasi dengan hidup.
Toko-toko berlabel interenasional membuat mata orang terperangah, menjajakan kesombongan manusia itu. Mereka yang masuk bukan orang main-main. Banyak di antaranya adalah para artis yang kita lihat menangis, mendesis, atau meringis gagap di sinetron-sinetron kejar tayang. Kadang anak-anak muda bahkan mengikuti gayanya sekalian mengejek sinis, “Maju mundur cantik!” Demi hiburan demikian, orang pun lalu melupakan sebuah tangis lain di sudut-sudut sebelah menyebelah tambang yang tak diekspos kecuali sudah cukup terlambat.
Mitos batu mulia, logam mulia, dan kemuliaan lain memang sudah menggeser yang dulu dimuliakan, sebut saja Tuhan. Kemuliaan memang selalu dilihat dengan nganga, takjub, beberapa takut. Dan membayar ketakjuban adalah sebuah cara bersejajar dengan semesta, bahkan Tuhan. Dan untuk itu mereka kadang rela menjadi Tuhan bagi yang lain, menggantikan darah dengan nama.
No comments:
Post a Comment