“It is always nothing,
until it’s getting personal.”
GKJW merumuskan panggilannya sebagai berikut “Karena
kasih-Nya, Tuhan Allah memanggil umat-Nya keluar dari kegelapan masuk ke dalam
terang-Nya untuk memberitakan karya keselamatan-Nya.” (Tata Gereja Revisi Bab
II Pasal 4). Hal ini mewujud dalam visinya, yaitu “Menjadi rekan kerja Tuhan dalam mewujudkan
hadirnya tanda-tanda hadirnya kerajaan Allah bagi dunia.” (Tata Gereja Revisi
Bab II Pasal 5). Demikianlah PPJP GKJW akhirnya mengambil tema yang merupakan
pengejawantahan dari visi tersebut “Mandiri dan Menjadi Berkat”. Karena itu
kepemimpinan dan pelayanan di GKJW tidak bisa dipisahkan, dan selalu kolektif
dalam payung terang Ilahi. Kepemimpinan dan pelayanan di GKJW bukan sekadar
menata organisasi gereja, tetapi juga menghidupi dan menghidupkan Gereja
sebagai organisme yang hidup.
Abad ke-21 dikenal sebagai era teknologi, informasi, dan
globalisasi. Dunia tidak lagi terbagi-bagi tetapi menjadi kesatuan utuh, sebuah
desa bersama yang mendapatkan dukungan dayanya dari pencapaian-pencapaian ilmu
pengetahuan dan kajian-kajian sosial. Pada abad-abad pertengahan, orang melihat
spiritualitas dan religiusitas sebagai sesuatu yang adidaya dan luar biasa,
tetapi dalam abad-21 ini hal tersebut menjadi semakin merelatif karena kuatnya
tantangan-tantangan dari segala hal yang kelihatan. Atasnya, disadari atau
tidak ada beberapa hal yang kemudian menjadi tanda umum bagi masyarakat
religus: kehausan spiritualitas, keterikatan dengan material yang menjadikan
orang bermental transaksional dan kompetitif,
yang diam-diam melahirkan sebuah krisis akut individualisme.
Akhirnya ada dua lapisan kesadaran dalam diri seseorang,
lapisan permukaan yang tipis, dan lapisan di dalam yang tebal. Kasih mewujud
sebagai sesuatu yang kelihatan, iman kadang dipahami terbatas pada yang nampak,
ibadat cukup sebatas menyentuh yang emosional, sejarah mulai tidak dilirik
kembali. Banyak orang akhirnya tercekat pada lapisan permukaan yang tipis,
karena itu ketika berjumpa pada peristiwa yang menggoncang, orang pun menjadi
sangat bergejolak. Terjadi dualisme spiritualitas praktis, ada yang jasmani dan
ada yang rohani, keduanya seolah-olah terpisah. Dan tanpa disadari agama dan
institusi religius cenderung menjadi fosil, legalistik, dogmatis, dan
otoritarian. Karena itu orang menjadi lelah dipaksa dengan aturan-aturan agama,
orang menjadi nyaman dengan institusi religius yang begitu saja secara nampak
menjodohkan yang rohani dengan jasmani, seperti muncul dalam pernyataan
“berdoalah kepada Tuhan dan segala hal yang kamu perlukan dalam kehidupanmu
sehari-hari akan terpenuni.” Demikianlah otoritas tertinggi bukan lagi pada
Misteri Ilahi, tetapi pada upaya pribadi. Otonom. Nasihat-nasihat konselor dan
terapis menjadi lebih dipertimbangkan daripada pendeta, GI, penatua, dan
diaken. Atau bahkan banyak para pejabat gerejawi yang diam-diam menjelmakan
dirinya menjadi konselor dan terapis ketimbang pembawa wibawa Ilahi.
Kepemimpinan dan pelayanan gereja tentu saja tidak
sekadar bisa diletakkan pada perihal-perihal yang kelihatan. Karena seperti
diungkap di atas, Gereja bukan sekadar organisasi tapi organisme yang hidup.
Pusat kehidupan gereja bukan pada dirinya sendiri, tetapi pada terang wibawa
Ilahi. Hal ini menjadikan kebutuhan untuk melihat dan menemukan Yesus di abad
ini menjadi penting bagi penguatan pondasi lapisan di dalam yang tebal dan
tidak kelihatan tersebut. Menemukan Yesus hari ini dan hidup dari polanya.
Ada 3K yang seyogyanya dimiliki oleh para pelayan gereja.
3K tersebut adalah Kompetensi, Kreativitas, dan Komitmen. Ketiga hal ini secara
sederhana bisa dijabarkan demikian:
KOMPETENSI
Sebelum menyentuh sisi spritualitas pelayanan lebih jauh,
perlu diingat 4 (empat) sumber berteologi dalam kehidupan bergereja kita.
Keempat sumber itu adalah:
1.
Alkitab
2.
Tradisi
3.
Pengalaman Iman
4.
Akal Budi
PTW selama 2 (dua) tahun ini tentu sudah memberikan cukup
bekal (dalam desain tertentu) untuk mengasah para peserta bergumul dan
bertumbuh dengan keempat sumber tersebut. Tentu saja tidak pernah mandeg pada
sebuah saat dan capaian tertentu, kerinduan untuk semakin memperlengkapi diri
dalam berjumpa dengan keempat hal di atas perlu terus dikembangkan dan
ditumbuhkan. Apalagi pelayanan kita bukan kepada mesin, kita melayani manusia
dan segala dinamikanya. Keempat hal tersebut juga tidak bisa semata-mata
dilihat sebagai perihal yang semata-mata teknis dan mekanis, tetapi tentu saja
dalam hubungannya dengan iman dan spiritualitas personal pelayan kepada Tuhan.
KREATIVITAS
Gereja tidak pernah berhenti pada sebuah masa tertentu.
Gereja selalu bergerak dalam konteknya. Pdt. Suwignyo menyebutnya dengan
istilah berikut: Di Eropa yang mengenal empat musim. Ketika musim dingin orang
berpakaian musim dingin, ketika musim semi orang mulai menanam, ketika musim
panas orang menikmati matahari, dan ketika musim gugur orang menunggu.
Demikianlah kreativitas, lingkup pelayanan kita di GKJW. Kita bertemu dengan
berbagai kelompok manusia, kita bertemu dengan berbagai jenjang, tidak ada satu
obat yang bisa mujarab mengobat semua penyakit. Kreativitas dan kemampuan
beradaptasi dengan sasaran dan lahan pelayanan kita menjadi sangat penting.
Kreativitas membuat kemampuan seseorang dihargai, tetapi juga tidak membuat
orang menjadi merasa dirinya paling luar biasa. Semuanya berkat dan sudah
selayaknya jika berkat itu diteruskan untuk menjadi berkat bagi yang lain.
KOMITMEN
Dan inilah yang melandasi segalanya. Atasnya bagian ini
akan dibahas paling panjang dari yang lain. Henry J. M. Nouwen dalam bukunya In
the Name of Jesus demikian pula Albert Nolan dalam Jesus Today menyoroti
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para pemimpin-pelayan gereja ini. Dengan
agak dekat mereka memperbandingkan antara tantangan para pemimpin-pelayan
gereja hari ini dengan tantangan yang dihadapi Yesus dalam pencobaanNya di
padang gurun (Mat 4:1-11) dihubungkan dengan pembicaraan terakhir antara Yesus
dengan Petrus (Yoh 21: 15-19)
a.
Percobaan I: menjadi relevan
"Jika
Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti."
Apa yang terkandung dalam pencobaan ini? Banyak, tetapi
utamanya menjadi relevan. Yesus sedang lapar, apa susahnya mengubah batu
menjadi roti bagi seorang Yesus yang bisa mengubah air menjadi anggur, bahkan
menghidupkan orang mati, berjalan di atas air, dan meredakan badai? Tidak
sulit. Bukan hanya itu, tetapi jika Yesus membuktikan bahwa diriNya bisa
mengubah batu menjadi roti, maka masyarakat Israel yang pada waktu itu sedang
menderita di bawah pemerintahan Romawi bisa terbebas dari penderitaan. Iblis
bukan hanya menggoda Yesus untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi untuk juga
memikirkan mereka yang ada di dalam penderitaan.
Tapi Yesus menolak permintaan Iblis. Apakah Yesus tidak
memikirkan dirinya yang lapar? Apakah Yesus tidak memikirkan penderitaan
penderitaan bangsanya? Tetapi ini mengingatkan kita pada teguran Yesus yang
sedemikian keras kepada murid-muridnya ketika ada seorang perempuan yang
membasuh kaki Yesus dengan rambutnya dam minyak mahal, “Karena orang-orang
miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.”
Bagaimana mungkin dari seorang yang mengatakan, “Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri!” “Kasihilah musuhmu!” bahkan memberi makan 5000 orang
bisa muncul pernyataan yang demikian? Bukankah pernyataan itu bisa dibaca
sebagai sebuah hal yang sangat egois? Minyak mahal yang bisa memberi makan
orang banyak tetapi Yesus tetap memilih untuk mempersilakan perempuan itu
menumpahkan minyak itu demi membasuh kakinya, apa-apaan?
Maka kita melihat sebuah gambar utuh, tidak sekadar
sebuah gambar parsial. Yesus menjawab Iblis dengan pernyataan bahwa orang tidak
hanya makan dari roti tetapi dari firman Allah. Bahwa di atas segala kebutuhan
untuk menjadi relevan dengan kebutuhan diriNya dan kebutuhan dunia, ada perihal
yang justru tidak boleh ditinggalkan, yakni kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu, kekuatanmu, waktumu, akal budimu, emosimu, segala hal yang ada
padamu.
Demikianlah Yesus bertanya kepada Petrus “Simon, Anak
Yohanes apakah engkau mengasihi aku?” Sebelum segala perintahNya yang lain,
pertanyaan Yesus kepada Petrus adalah apakah Petrus mengasihi Yesus. Artinya
karya kita bukan sekadar untuk kita atau dunia yang lebih baik, tetapi untuk
mewujudkan karya kerajaan Allah. Menghadirkan tanda-tanda hadirnya kerajaan
Allah. Hal yang di permukaan tampaknya sangat mulia pun jika itu bukan karya
kerajaan Allah maka kita harus berani berkata tidak, sudah cukup. Orang banyak
ingin mengangkat Yesus menjadi penguasa melawan Romawi, tetapi Yesus
menolaknya. Di pengadilan Yesus ditanya baik oleh Pilatus maupun Herodes,
“Apakah Engkau anak Allah?” Dan Yesus hanya memilih diam. Pertama-tama
pelayanan tidak berpusat pada diri, bukan juga berpusat pada dunia, tapi pada
karya Kerajaan Allah, apa yang menjadi kehendak Allah.
Hari ini banyak pelayanan berjalan semata organisatoris,
supaya gereja dapat banyak bantuan dari pemerintah, mengunjungi orang sakit
dengan begitu saja relevan, tiba-tiba kita ikut menjadi dokter, begitu saja
mengiyakan dan mendukung perceraian karena ketidakharmonisan keluarga, meninggalkan
yang terlambat karena harus bercepat-cepat. Pelayanan kepada anak muda harus
menuruti keinginan anak muda, menjadi orang tua adalah menjadi sahabat anak
sampai lupa menjadi orang tua bagi mereka. Dunia penuh cerita baik, tapi mari
mengingat Calvin mengingatkan orang percaya, “Kita dalam dunia tapi bukan dari
dunia.” Maka bukan menjadi relevan, tetapi menjadi intim dengan Allah dan
mengasihiNya. Bukan kita penyelamat dunia ini, tetapi Allah. Ini karya melalui
kita, bukan karya kita. Tidak ada kesombongan atasnya, tidak ada nama diri yang
melekat di sana, yang ada adalah Karya Allah bagi dunia. Pelayanan kita bukan
emosional, bukan kultural, tetapi spiritual. Karena itu selalu menjadi dekat dengan Tuhan melalui doa
kontemplatif dan refleksi selalu menjadi penting bagi para pelayan-pemimpin.
Lihat karya penyembuhan Yesus, di sana bukan hanya penyembuhan fisik, tetapi
utamanya penyembuhan relasi si sakit dengan Tuhan. Tidak semata-mata untuk
dunia tetapi untuk karya Allah. Lakukanlah untuk dunia dalam terang wibawa
Ilahi, bukan semata-mata untuk mereka. Tetapi melihat dan merasakan itu, mereka
melihat dan merasakan Allah yang hadir.
“Simon anak
Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”
b.
Percobaan II: menjadi populer dan spektakuler
"Jika
Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai
Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang
Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu."
Bait Allah adalah tempat yang tidak pernah sepi. Menjatuhkan
diri dari bait Allah bisa menjadi jalan pintas bagi Yesus untuk menjadi
spektakuler dan populer. Dengan segera orang akan tahu bahwa dia seorang
mesias. Dia tidak perlu memaksa orang percaya, karena orang akan segera percaya
dengan yang apa yang mereka lihat. Dan malaikat! Yesus benar-benar anak Allah,
tidak perlu diragukan, karena malaikat yang langsung menerimaNya. Seorang yang
tidak main-main, seorang yang hebat dan ilahiah! Disaksikan publik! Apa yang kurang, karya Allah akan segera nyata kalau
setiap orang tahu Yesus anak Allah! Iblis benar-benar mendapatkan poinnya
sekali lagi.
Dan Yesus, lagi-lagi menolak. "Ada pula tertulis:
Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!" Hari ini apa pun menjadi
industri dan bisnis: pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, bahkan pemihakan
kepada mereka yang lemah. Segalanya bisa dipuntir dan dipolitisasi menjadi
industri dan bisnis. Keuntungan pribadi, dipercaya dan diikuti oleh khalayak.
Populer dan spektakuler. Bahkan tidak jarang pelayanan pun mengalami nasib
serupa. Gereja beradu untuk menjadi populer dan spektakuler, wacananya “Agar
seluruh bumi penuh kemuliaan Allah!” Dan mereka yang berkata demikian tidak
jarang nyaman dengan popularitas dan spektakuler.
Tahun 1965, GKJW mengalami duyunan petobat, mereka masuk
Kristen. Maka ada yang berbangga dengan itu. GKJW gereja yang spektakuler,
gereja yang luar biasa. Alhasil, di penghujung hari kita kemudian menemukan
bahwa para petobat itu adalah pencari suaka, dan GKJW tidak benar-benar siap
dengan itu. Karena pada akhirnya bukan mencari popularitas, bukan mencari nama
diri. Tetapi semata-mata, “Gembalakanlah domba-dombaku!” Apakah yang hebat dari
seorang gembala? Ada? Maka pelayan-pemimpin butuh pengakuan keterbatasan diri
dan pengampunan Tuhan betapa lemahnya dia tanpa Sang Penopang Agung. Siapa kita
ini?
Dalam bahasa Inggris, kalimat ini sangat indah, “Feed my
sheep!” Dulangen wedus-wedusKu. Kerendahhatian bahwa bukan kita bintangnya,
tetapi sang pemilk domba adalah utama dan penting. Kita hanya pemberi makan.
Kita hanya yang menggiring mereka ke sumber air. Bukan kita yang akan
dipuja-puji, tetapi justru mereka akhirnya bertemu dengan Allah. Kita tersenyum
ketika akhirnya mereka berjumpa dengan Tuhan, sang pemilik mereka, bahkan tanpa
kita diingat. Bahkan tanpa nama kita tercatat. Bahkan tanpa orang menoleh
kepada kita. Kita pun nyatanya domba yang
lain. Karya ini hanya melalui kita, bukan karya kita.
“Gembalakanlah
domba-dombaku”
c.
Percobaan III: menjadi pemimpin dan penguasa
"Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau
sujud menyembah aku."
Iblis tidak
menyerah. Dia kokoh dan kerajaannya dihamparkan di depan Yesus, kerajaan dunia.
Yang perlu dilakukan Yesus sujud menyembahnya. Ngepet Iblis dan semuanya akan
diserahkan kepadaNya. Menjaga lilin di atas tampah supaya tidak mati pada malam
Jumat Kliwon. Kalau sudah selesai, kaya raya dan terpandang.
Yesus keras
menolak, "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah
Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" Bukan untuk
menjadi penguasa, bukan untuk menjadi pemimpin dunia. Pelayan-pemimpin adalah
pelayan Tuhan. Mereka dipimpin oleh yang lain, dipimpin oleh Tuhan. Pada saat
apa pun mereka akan bertanya, “What would Jesus do?” “What’s the God’s will?”
Demikianlah Yesus juga mengatakan kepada Petrus, “Sesungguhnya ketika engkau
masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja
kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan
tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang
tidak kaukehendaki."
Refleksi adalah
kunci. Berkaca diri kepadaNya. Kerelaan diri dimpimpin bahkan ke tempat yang
tidak kita kehendaki. Kerelaan dibawa keluar dari kenyamanan Ur Kasdim demi
negeri terjanji yang tidak kelihatan wujudnya. Kerelaan untuk mengurbankan anak
terkasih yang telah dinantikan bertahun-tahun di mezbah penyembelihan demi
kehendak Allah. Kerelaan melepaskan dan tidak terikat. Kerelaan menjual segala
milik kita dan mengikutNya. Kerelaan untuk tidak membangun bait Allah karena
bukan kita yang harus membangunnya. Kerelaan untuk menjadi kecil dengan
sukacita.
Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat
pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika
engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu 4 dan orang lain akan mengikat engkau dan
membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki."
Di GKJW, kesetiaan adalah sebuah dasar penting bahkan
utama dalam segala macam pelayanan. Menjadi setia membutuhkan seseorang mempunya
lapisan dalam yang tidak kelihatan yang mantap. Ketika lapisan dalam ini
terbangun dengan spiritualitas yang benar, berarah pada terang wibawa Tuhan,
maka besar harapan kita pelayanan kita bisa mewujudkan panggilan dan visi
bersama di GKJW. Panggilan dan visi yang tidak sekadar mewujudkan kehidupan
organisasi kita, tetapi kita bersama sebagai organisme yang hidup.
No comments:
Post a Comment