Nasib buruk Yusuf yang dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya justru mengantarkannya menapaki sebuah perjalanan panjang sampai menjadi seorang pegawai istana Firaun. Menjadikannya salah satu orangpaling penting dan berkuasa di negeri itu. Nyatanya nasib buruknya berbuah baik.
Setelah kematian Yakub, para saudaranya mengalami kekhawatiran besar bahwa ternyata Yusuf masih menyimpan dendam kepada mereka. Para saudara itu sekali lagi membuat sebuah kebohongan putih. Kebohongan untuk menjaga kerukunan persaudaraan itu. Mungkin mengingat kisah Esau dan Yakub sebelum Yakub melarikan diri ke rumah Laban. Mendekati kematian Ishak, Esau hendak membalas dendam kepada Yakub dengan membunuhnya. Orang tua memang punya daya istimewa untuk membuat perdamaian terjadi di antara anak-ananya. Setelah kematian sang orang tua? Kekhawatiran para saudara Yusuf bisa jadi beralasan. Maka dikatakanlah kebohongan itu, "Sebelum bapak meninggal, dia berpesan supaya engkau mengasihi saudara-saudaramu ini." Yusuf yang mendengar hal itu justru merasa sedih. Bagaimana mungkin saudara-saudaranya tidak mengenalnya. Mereka telah hidup bersama seorang Yusuf, dan terbukti selama ini Yusuf bukan orang yang senang menyimpan dendam. Yusuf tahu bahwa para saudaranya berbohong demi rasa kasih atau kasihan. Yusuf nyatanya sudah mengampuni mereka. Tulus. Tanpa pamrih.
Sebagai balasannya, Yusuf justru merawat dan menghidupi saudara-saudaranya dan anak-anak mereka di tanah Mesir sampai tiga generasi. Namun pergantian generasi ini tidak disangkakan menjadikan mereka yang awalnya bersama Yusuf aman dan tenteram, akhirnya anak-anak Israel itu menjadi budak di Mesir. Kebaikan Yusuf kepada saudara-saudaranya justru berbuah bencana. Hingga nanti Musa dan Harun harus berisiko melawan Firaun demi mengeluarkan bangsa itu dari tanah Mesir. Nasib baik, nasib buruk, siapa tahu?
Siapa tahu bahwa kedua anak Abraham, Ishak dan Ismael akan menurunkan dua bangsa besar yang tidak pernah benar-benar berdiri akur. Tidak banyak juga yang mengingat bahwa selain Sara dan Hagar, Abraham juga beristri Ketura dan beberapa gundik, yang dari mereka Abraham mendapatkan anak-anak yang nanti ketika tumbuh dan meruap luas, akhirnya menjadi bangsa Midian, Asyiria, dll yang ternyata justru menjadi musuh dalam perjuangan iman Israel. Semua berasal dari keturunan Abraham, baik mereka yang terberkati, maupun mereka yang merampas berkat itu. Nasib baik, nasib buruk, siapa tahu?
Dalam teori paling tua tentang chaos dan order, orang awalnya memilih order. Sampai mereka tahu bahwa tanpa chaos, order tidak mungkin bisa berdiri. Tidak mungkin ada semesta tanpa dark energy, tidak mungkin ada yang tanpa yin, baik dan buruk selalu dua hal yang berkawan akrab dan tidak terpisahkan.
Selama ini justru apa yang dipikirkan orang akan berjalan bersama tanpa masalah justru nyatanya bermasalah. Sebut saja kasih dan kesetiaan. Orang berpikir bahwa jika ada kasih, maka kesetiaan akan ada juga. Nyatanya kasih menuntutkan ketiadaan pamrih dalam bentuk apa pun. Ketika ada pamrih maka nilai kasih itu turun. Kesetiaan adalah pamrih yang harus dibayar oleh kasih. Kasih tidak menuntut kesetiaan, seperti Allah yang menerbitkan matahari bagi mereka yang baik dan yang buruk. Ada kesetiaan atau tidak, kasih tetap berjalan. Jika kasih menuntutkan kesetiaan maka yang terjadi adalah komitmen, sebuah perjanjian. Pemaafan/ pengampunan sebagai turunan dari kasih tidak menuntutkan adanya permohonan maaf. Jika demikian maka pemaafan/ pengampunan itu menjadi bersyarat, Derrida dalam On Forgiveness mengatakan itu. Pemaafan/ pengampunan adalah ilahiah/ transenden, sedangkan permohonan maaf adalah lebih imanen.
Atas itu dalam kerangka sosial, pemaafan harus menghitung keadilan. Tanpa keadilan, pemaafan bisa disalahgunakan. Sebut saja kejadian-kejadian genosida yang telah menewaskan jutaan orang keuturunan Yahudi, perang dunia I dan II, peristiwa G 30 S/PKI. Keadilan menuntutkan adanya balasan bagi kejahatan. Maka dengan demikian pemaafan menjadi perihal yang bersyarat. Dan jelas bahwa ini bukan nature pemaafan lagi. Pemaafan akan membawa pada damai sejahtera, tapi keadilan tidak selalu. Atas dasar inilah maka Mazmur 85 menyatakan bahwa keadilan dan damai sejahtera tidak selalu dalam kerangka yang sama. Keadilan menuntut adanya persamaan, sedangkan damai sejahtera, harmoni, menuntut adanya entitas-entitas yang berbeda. Pluralitas dan identitas jelas hal yang pada taraf ini bisa dibaca sebagai dua hal yang sama sekali bertolak belakang. Bagaimana bisa identitas Kristen atau Islam disejajarkan dalam sebuah ruang yang sama. Namun pluralitas melakukannya.
Tidak salah jika pada akhirnya demi sebuah janji Mesianis, harus ada seorang yang dikurbankan. Seorang Hamba TUHAN. Apakah adil bagi sang hamba? Tidak. Tapi ketidakadilan bagi sang hamba justru membawa damai sejahtera bagi bumi. Sampai di sinilah hitam putih tidak lagi berlaku. Kedua posisi ini sama-sama baik, atau sama-sama buruk, atau sama-sama kabur. Inilah janji mesianis itu. Janji mesianis menyatukan kedua entitas itu kembali pada pada fitrahnya. Mengembalikan dunia pada titik equilibrium sebelum terjadinya Dentuman Besar. Sebuah titik setimbang yang ideal. "Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman." Ketika dua hal yang sama sekali lain yang disalahpahi sebagai sama ternyata bertemu tanpa masalah.
Lalu apa dampaknya secara etis? Bagi mereka yang membaca jaman, mereka akan tahu posisi dan perannya. Dan mereka akan mengemban misi atas posisi dan peran itu dengan tidak terpaksa. Bahkan mereka rela dengan sukacita tanpa tekanan. Nasib baik, nasib buruk, siapa yang tahu? Bagi mereka yang tahu rahasia itu, mereka tahu bahwa setelah laut tenang, sebentar lagi akan badai. Dan setelah gelap akan terbit terang. Mereka tidak lagi takut pada kematian. Tidak memiliki kekhawatiran.
Setelah kematian Yakub, para saudaranya mengalami kekhawatiran besar bahwa ternyata Yusuf masih menyimpan dendam kepada mereka. Para saudara itu sekali lagi membuat sebuah kebohongan putih. Kebohongan untuk menjaga kerukunan persaudaraan itu. Mungkin mengingat kisah Esau dan Yakub sebelum Yakub melarikan diri ke rumah Laban. Mendekati kematian Ishak, Esau hendak membalas dendam kepada Yakub dengan membunuhnya. Orang tua memang punya daya istimewa untuk membuat perdamaian terjadi di antara anak-ananya. Setelah kematian sang orang tua? Kekhawatiran para saudara Yusuf bisa jadi beralasan. Maka dikatakanlah kebohongan itu, "Sebelum bapak meninggal, dia berpesan supaya engkau mengasihi saudara-saudaramu ini." Yusuf yang mendengar hal itu justru merasa sedih. Bagaimana mungkin saudara-saudaranya tidak mengenalnya. Mereka telah hidup bersama seorang Yusuf, dan terbukti selama ini Yusuf bukan orang yang senang menyimpan dendam. Yusuf tahu bahwa para saudaranya berbohong demi rasa kasih atau kasihan. Yusuf nyatanya sudah mengampuni mereka. Tulus. Tanpa pamrih.
Sebagai balasannya, Yusuf justru merawat dan menghidupi saudara-saudaranya dan anak-anak mereka di tanah Mesir sampai tiga generasi. Namun pergantian generasi ini tidak disangkakan menjadikan mereka yang awalnya bersama Yusuf aman dan tenteram, akhirnya anak-anak Israel itu menjadi budak di Mesir. Kebaikan Yusuf kepada saudara-saudaranya justru berbuah bencana. Hingga nanti Musa dan Harun harus berisiko melawan Firaun demi mengeluarkan bangsa itu dari tanah Mesir. Nasib baik, nasib buruk, siapa tahu?
Siapa tahu bahwa kedua anak Abraham, Ishak dan Ismael akan menurunkan dua bangsa besar yang tidak pernah benar-benar berdiri akur. Tidak banyak juga yang mengingat bahwa selain Sara dan Hagar, Abraham juga beristri Ketura dan beberapa gundik, yang dari mereka Abraham mendapatkan anak-anak yang nanti ketika tumbuh dan meruap luas, akhirnya menjadi bangsa Midian, Asyiria, dll yang ternyata justru menjadi musuh dalam perjuangan iman Israel. Semua berasal dari keturunan Abraham, baik mereka yang terberkati, maupun mereka yang merampas berkat itu. Nasib baik, nasib buruk, siapa tahu?
Dalam teori paling tua tentang chaos dan order, orang awalnya memilih order. Sampai mereka tahu bahwa tanpa chaos, order tidak mungkin bisa berdiri. Tidak mungkin ada semesta tanpa dark energy, tidak mungkin ada yang tanpa yin, baik dan buruk selalu dua hal yang berkawan akrab dan tidak terpisahkan.
Selama ini justru apa yang dipikirkan orang akan berjalan bersama tanpa masalah justru nyatanya bermasalah. Sebut saja kasih dan kesetiaan. Orang berpikir bahwa jika ada kasih, maka kesetiaan akan ada juga. Nyatanya kasih menuntutkan ketiadaan pamrih dalam bentuk apa pun. Ketika ada pamrih maka nilai kasih itu turun. Kesetiaan adalah pamrih yang harus dibayar oleh kasih. Kasih tidak menuntut kesetiaan, seperti Allah yang menerbitkan matahari bagi mereka yang baik dan yang buruk. Ada kesetiaan atau tidak, kasih tetap berjalan. Jika kasih menuntutkan kesetiaan maka yang terjadi adalah komitmen, sebuah perjanjian. Pemaafan/ pengampunan sebagai turunan dari kasih tidak menuntutkan adanya permohonan maaf. Jika demikian maka pemaafan/ pengampunan itu menjadi bersyarat, Derrida dalam On Forgiveness mengatakan itu. Pemaafan/ pengampunan adalah ilahiah/ transenden, sedangkan permohonan maaf adalah lebih imanen.
Atas itu dalam kerangka sosial, pemaafan harus menghitung keadilan. Tanpa keadilan, pemaafan bisa disalahgunakan. Sebut saja kejadian-kejadian genosida yang telah menewaskan jutaan orang keuturunan Yahudi, perang dunia I dan II, peristiwa G 30 S/PKI. Keadilan menuntutkan adanya balasan bagi kejahatan. Maka dengan demikian pemaafan menjadi perihal yang bersyarat. Dan jelas bahwa ini bukan nature pemaafan lagi. Pemaafan akan membawa pada damai sejahtera, tapi keadilan tidak selalu. Atas dasar inilah maka Mazmur 85 menyatakan bahwa keadilan dan damai sejahtera tidak selalu dalam kerangka yang sama. Keadilan menuntut adanya persamaan, sedangkan damai sejahtera, harmoni, menuntut adanya entitas-entitas yang berbeda. Pluralitas dan identitas jelas hal yang pada taraf ini bisa dibaca sebagai dua hal yang sama sekali bertolak belakang. Bagaimana bisa identitas Kristen atau Islam disejajarkan dalam sebuah ruang yang sama. Namun pluralitas melakukannya.
Tidak salah jika pada akhirnya demi sebuah janji Mesianis, harus ada seorang yang dikurbankan. Seorang Hamba TUHAN. Apakah adil bagi sang hamba? Tidak. Tapi ketidakadilan bagi sang hamba justru membawa damai sejahtera bagi bumi. Sampai di sinilah hitam putih tidak lagi berlaku. Kedua posisi ini sama-sama baik, atau sama-sama buruk, atau sama-sama kabur. Inilah janji mesianis itu. Janji mesianis menyatukan kedua entitas itu kembali pada pada fitrahnya. Mengembalikan dunia pada titik equilibrium sebelum terjadinya Dentuman Besar. Sebuah titik setimbang yang ideal. "Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman." Ketika dua hal yang sama sekali lain yang disalahpahi sebagai sama ternyata bertemu tanpa masalah.
Lalu apa dampaknya secara etis? Bagi mereka yang membaca jaman, mereka akan tahu posisi dan perannya. Dan mereka akan mengemban misi atas posisi dan peran itu dengan tidak terpaksa. Bahkan mereka rela dengan sukacita tanpa tekanan. Nasib baik, nasib buruk, siapa yang tahu? Bagi mereka yang tahu rahasia itu, mereka tahu bahwa setelah laut tenang, sebentar lagi akan badai. Dan setelah gelap akan terbit terang. Mereka tidak lagi takut pada kematian. Tidak memiliki kekhawatiran.
No comments:
Post a Comment