Whatever you want...

Wednesday, September 30, 2015

Pamong Ekumene

| No comment
Bukan, ini bukan tentang tulisan dengan bahasa aneh dan ajaib. Tulisan ini adalah semata kesadaran akan rasa malu kami berempat: aku, Bu Yekti, Bu Edy, dan Mbak Muji. (Wow note di facebook semakin keren designnya!)

Sudah tiga kali ini kami mengadakan persiapan pamong untuk melayani kebaktian anak dan remaja. Niatnya mulia, karena pelayanan kepada anak dan remaja adalah peletak dasar bagi iman seorang Kristen. Kami di Tunglur sepenuhnya sadar besarnya peran pamong di sana. Di tempat lain, pamong ini mungkin disebut guru Sekolah Minggu, tetapi di GKJW istilah pamong memang dipilih sesuai dengan fungsi dan perannya sebagai pamomong. Sebagai seorang pamomong maka kesetiaan, keteladanan, kesabaran, sekaligun kedekatan menjadi syarat yang tidak bisa disepelekan. Maka demi itu, kami berenam belas pamong berkomitmen untuk mengadakan persiapan setiap Rabu dalam minggu yang terakhir untuk persiapan bulan berikutnya. Anak yang kami layani tidak banyak, karena di Tunglur jumlah seluruh anak pratama dan madya 8 (delapan) anak dengan kehadiran rata-rata 5 (lima) anak, sedangkan jumlah remaja 6 (enam) anak dengan kehadiran rata-rata 4 (empat) anak setiap Minggunya. Lebih banyak jumlah pamongnya, benar! Kami berusaha berkomitmen berapa pun yang hadir layanilah dengan hati, dengan sebaik-baiknya. Atas dasar itulah persiapan pamong diadakan, supaya memberikan nuansa yang menyenangkan dalam kebaktian dan membuatnya selalu dirindukan.

Namun sungguh disayangkan, bahwa ternyata tidak seluruh pamong bisa menjaga komitmen dirinya. Hari ini hanya empat orang yang datang. Dan jelas saja itu membuat kami kecewa luar biasa. Kami kehabisan cara, entah bagaimana caranya membuat para pamong ini bersemangat dalam melayani. Kami sedih sekaligus kesal. Bagaimana bisa memberikan keteladanan dan pendampingan iman yang baik kepada anak dan remaja jika sang pamong sendiri kendur. Maka hampir setengah jam kami menunggu dan mengumpatkan kekesalan kami satu dengan yang lain. Betapa mudahnya komitmen dilempar dan pada akhirnya semuanya hilang ditelan waktu. Kami menyayangkan sikap yang biasa ketika diajak berembug memilih diam, tetapi ternyata bersama dengan diam itu yang kami anggap berarti bersedia ternyata lebih berarti “Aku tidak datang tidak apa-apa, yang penting tugasku pada waktunya kulakukan.” Buktinya, kami sering menemukan pelayanan kepada anak akhirnya tidak maksimal. Kami berkomitmen setiap minggu selalu ada game dan aktivitas untuk kebaktian. Ada aksi sebagai bentuk perpanjangan dari refleksi. Dan ayat hapalan. Para pamong diharapkan mengumpulkan liturgi mereka demi menambah khazanah dan kekayaan dokumentasi liturgi kami, nyatanya tidak semuanya melakukan. Maka ketia kami kesal rasanya pantaslah.

Tema Bulan Oktober adalah ekumene, tema ini bisa dijamin di GKJW punya nuansa baru sejak peluasan makna ekumene di GKJW bukan hanya antar gereja tetapi seatap dan setanah dengan seluruh ciptaan di jagad yang dititah Tuhan ini. Tidak hanya antar umat Kristen tetapi dengan dunia. Ada kekayaan makna baru, yang bisa saja luar biasa, tetapi pada saat yang sama bisa jadi sama sekali ngawur, baik secara teologis maupun historis. Tapi perjalanan gereja selalu mengupayakan formulasi paling tepat untuk suatu masa, atas landasan teks dan konteks yang ada. Sekaligus bagaimana upaya kami merangkul supaya kontestasi yang selama ini terjadi semakin menemukan budaya alternatifnya.
Setelah kembali mengudar pengertian ekumene itu di antara kami berempat tiba-tiba aku diam. Diam cukup lama yang membuat ketiga ibu yang lain sempat menunggu dengan bertanya-tanya.

“Mungkin kita yang salah.”

Pernyataan itu membuat wajah mereka semakin tampak bingung.

“Kita berbicara tentang ekumene bulan depan, namun kita saja belum bisa menerima mereka yang hari ini tidak hadir. Kita mengumpat, kita kecewa, kita bahkan kesal dan mungkin marah dengan mereka yang memilih tidak hadir hari ini. Apa bedanya kita dengan anak sulung yang sewot ketika sang bungsu tidak segera pulang. Mengapa kita merasa berbeban kalau panggilan pamong ini adalah rasa ucap syukur kita atas kasih Tuhan yang telah kita terima. Kita berusaha mewujudkan hadirnya tanda kerajaan Allah bagi dunia, tetapi baru bertemu saudara kita saja kita sudah kesal karena mereka tak sama dengan kita. Kita adalah orang-orang yang melempar perempuan yang kurang beruntung itu dengan batu, ketika panggilan kita merangkul mereka. Apalah kita sehingga merasa berhak untuk menghakimi mereka. Sedangkan yang kita lakukan adalah pelayanan. Apa bedanya kita dengan para murid yang berebut paling besar di depan gurunya?”

Aku tertawa dan ketiga ibu yang lain segera tertawa. Kami menyadari betapa sombong dan naifnya kami. Merasa bahwa menjadi pamong adalah perjuangan kami. Perjuangan pamong ini adalah perjuangan dalam nama Tuhan. Dan ketika kita saja memilih kecewa terhadap kawan perjuangan kita, mau jadi apa  perjuangan ini? Maka setelah itu kami senyum-senyum malu sendiri. Ternyata kami mungkin lebih parah daripada mereka yang tidak hadir. Kami sama-sama berbuat kesalahan parah. Malah kami lebih buruk karena kami merasa lebih benar. Maka kami harus meminta maaf kepada Tuhan atas kekesalan dan kekecewaan yang sempat muncul. Panggilan kami merangkul dan mendokan, mengasihi dan mewujudkan damai sejahtera. Pada saatnya si bungsu pulang, pada saat itu kami bersukacita bersamanya. Bukan malah merasa bahwa kami telah berbuat banyak. Apa yang telah kami lakukan. Tunglur adalah kekayaan keluarga Allah. Dan sikap kami menunjukkan betapa kami sempat lupa pada arti keluarga. Kami merasa rendah dan malu. Dan kami pun melanjutkan persiapan dengan suasana hati yang jauh lebih tenang.

Bu Yekti tertawa, Mbak Muji senyum-senyum, dan Bu Edy mengatakan, “Saya bersyukur bisa ikut persiapan hari ini. Ternyata bukan cara mengajar saja yang perlu disiapkan, tetapi pengajarnya juga.” Kami tersenyum bersama membuat tabel pengajaran untuk Bulan Oktober, melanjutkan apa yang bisa kami lakukan sampai tuntas. Mungkin kami keliru, semoga jika kami keliru, Tuhan mengitkan. Dan pada saatnya nanti mimpi ekumene “menjadi berkat bagi bangsa-bangsa” itu bisa menjadi dasar pelayanan kami. Bukan diri. Tidak pernah begitu. Kiranya Tuhan berkenan mengampuni kami yang rendah tapi menyombong ini. 
Tags : , ,

No comments:

Post a Comment