Whatever you want...

Wednesday, September 16, 2015

Manusia dan Binatang

| No comment
Dalam dimensi fisik, manusia dan hewan tak ada bedanya. Demikianlah yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan. Sayangnya, orang lalu buru-buru mengambil kesimpulan bahwa temuan ilmu pengetahuan itu berarti bahwa manusia dan binatang sama saja. Ada yang marah. Tapi juga ada yang menunjukkan gejala menguatkan, lalu manusia pun menjadi seperti binatang. Dan sejak manusia dikaruniai akal budi yang membuat otak mereka bekerja lebih cerdas daripada segala binatang, mereka menjadi binatang paling buas. Menjaga posisi mereka di atas rantai makanan. Sendiri.

Menurut Kejadian, sebuah mitologi tua yang masih dihidupi sampai sekarang, bahkan dipercaya sebagai Buku Suci, manusia diciptakan oleh Allah pada hari keenam. Enam adalah angka yang tak pernah genap pada dirinya sendiri. Numerologi tidak terlalu menyukai angka enam. Tapi pada hari itulah nyatanya manusia diciptakan. Yang unik adalah manusia dibentuk Tuhan. Ciptaan yang lain cukup dengan sabdanya. Tidak cukup itu manusia hidup dari hembusan napas Sang Tuhan (nephesh khaya - nefesh chaya). Ada esens Tuhan yang tinggal berdiam dalam diri manusia, yang berbeda dengan yang lain. Sebuah esens ilahiah, transenden. Esens the ultimate. Maka bisa dimengerti jika kemudian manusia seringkali ada yang merasa sombong terhadap ciptaan yang lain. Menguasai dan mengksploitasi. Meminta diperhatikan dalam sorotan mata dan kamera. Ingin selalu didengar dan dipuja. Namun, mereka yang demikian mungkin lupa bahwa napas itu adalah napas yang menghidupkan yang membuat manusia menguasai namun juga merawat seluruh kebun Eden. Napas yang sama dengan napas dia yang memberkati dan menguduskan pada hari berikutnya. Hari ketujuh. Hari sempurna. Sayang jika mereka hanya berhenti pada hari keenam. Karena penciptaan tidak akan utuh tanpa hitungan tujuh.

Jiwa. Inilah yang  membedakan manusia dengan hewan. Ibrani mengenal tiga kata untuk menggambarkan jiwa. Rabi Aryeh Kaplan menuliskannya demikian:

The breath (neshama) first leaves his lips, travels as a wind (ruach) and finally comes to rest (nefesh) in the vessel. Of these three levels of the soul, neshama is therefore the highest and closes to God, while nefesh is that aspect of the soul residing in the body. Ruach stands between the two, binding man to his spiritual Source.

Roh menghubungkan antara manusia dengan Sang Tuhan. Namun baru ketika napas itu tidak sekadar lalu, tetapi berdiam, pada saat itulah terjadi kehidupan manusia. Maka bagaimana mungkin manusia bisa hidup jika tidak ada yang diam dalam dirinya. Konon 21 gram massa yang hilang ketika manusia mati. Ada yang mengatakan ini residu napas di dalam paru-parunya. Namun, mereka yang melihat dan percaya bahwa hidup bukan sekadar yang ditampilkan dimensi fisik, mereka mempercayai inilah jiwa. Demikianlah orang Jawa pun mempercayai bahwa dalam diri seseorang ada sebuah cakra manggala yang selalu berputar tidak pernah berhenti. Pusat jagad cilik. Yang menghubungkan dirinya dalam pusaran semesta, jagad gede. Sang Bima perkasa harus menakhlukkan fisiknya untuk bertemu Syang Hyang Dewaruci ini. Dan Jawa mempercayai satu hal yang selaras bahwa Dewaruci atau Nawaruci ini adalah Bima sendiri, namun juga Sang Hyang Tunggal. Ketika pusat diri dan pusat semesta menyatu pada sebuah titik simetri. Ikatan dari segala yang paralel. Persatuan.

Maka hanya dengan menguliti lapisan bawang dalam dirinyalah manusia baru bisa bertemu dengan apa yang membedakannya dengan binatang. Tidak mudah, seorang nabi sebesar Yesaya pun mengatakan, "Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau yang berbuat demikian." Dia tidak terjamah. Yesus menurut kesaksian Injil Yohanes mengatakan perihal ini sebagai demikian, "Hal itu tidak berarti, bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari Allah, Dialah yang telah melihat Bapa." Namun jangan juga melupakan kisah Ayub yang setelah tantangan Tuhan yang dahsyat setelah penderitaan fisiknya, akhirnya dia mengatakan, "Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau." Setelah dia berani melepaskan segala kefisikanlah dia akhirnya melihat Sang Tuhan. Sama seperti Bima yang telah kehilangans egala digdayanya. Ayub dan Bima sang titisan Bayu. Bukankah dalam ilmu tuk gatuk yang terkenal dalam Jawa Ayub dan Bayu beranagram? 

Tentu aku bukan sedang mengatakan bahwa yang fisik tidak berguna. Aku yakin kamu bisa membaca dan mengerti itu.

Pertanyaan berikutnya yang tiba-tiba muncul adalah apakah adanya esens Sang Tuhan ini abadi? Apakah memang ada yang kekal yang menjadi sasaran kehidupan manusia? Apakah ada Dalam Tora nuansa demikian tak nampak. Dalam tulisan-tulisan naratif memang kisah keabadian jiwa tidak muncul. Baru dalam sastra hikmat, nuansa-nuansa demikian baru ada, sebut saja pengkhotbah yang mengatakan, "dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya." Memang belum tampak sangat eksplisit mengatakan ada kehidupan kekal. Baru Zakharia dan kisah mesianis dan eskatologisnyalah yang dengan cukup terbukan mengatakannya sebagai perkatan Malaikat, "Apabila engkau hidup menurut jalan yang Kutunjukkan dan melakukan tugas yang Kuberikan kepadamu, maka engkau akan memerintah rumah-Ku dan mengurus pelataran-Ku, dan Aku akan mengizinkan engkau masuk ke antara mereka yang berdiri melayani di sini." Kalau Perjanjian Bari tidak usah ditanya tentu bertebaran di mana-mana. Namun aku bukan orang yang terlalu menggemari kisah-kisah yang kaku di sana. Apakah hidup manusia ini punya tujuan, sesederhana itulah sebenarnya pertanyaannya. 
Tags : , ,

No comments:

Post a Comment