Ada sebuah garis tipis yang memisahkan antara penasaran dan ketakutan: teror. Teror muncul sebagai sebuah entitas purba atas ketidakmengertian orang pada sesuatu yang tidak (utuh) dikenalnya. Indera memegang peran penting bagi lahirnya teror. Mengapa indera? Karena indera adalah yang paling mudah goyah dan membutuhkan waktu revoulioner untuk menunjukkan sebuah reaksi atas padu padan aksi yang menerjangnya. Tepatnya adalah kegagalan indera. Kegagalan ini bisa jadi muncul atas suatu luasan baru, rahasia, atau ambang. Maka ketika kegagalan indera itu terjadi, teror pun merajalela.
Dalam dunia ekonomi, George Soros pernah membuat teror besar bagi dunia ekonomi non fisik (yang jelas-jelas berdampak bagi ekonomi fisik. Dalam dunia teologi, Tuhan dan agama selalu menjadi teror. Dalam dunia filsafat, ketidaktahuan menjadi teror. Pada masa orde baru, pembunuhan dan penculikan tersembunyi selalu menjadi teror. Lalu sejarah yang terbungkam adalah teror. Uang dan kekuasaan adalah teror. Terorisme adalah teror. Identitas adalah teror. Hantu adalah teror. Narkotika dan dosa adalah teror. Berikutnya juga kesucian. Semakin teror itu terbuka, semakin indera terbiasa, semakin nampak keinderaannya, maka pada saat itu teror mulai memuai menjadi pudar.
Teror menyebar dalam ketidaktahuan, karena di sanalah teror berwilayah. Tidak pernah dalam alam sadar. Teror bermain dan mempermainkan dengan halus serabut-serabut halus tubuh manusia. Semakin rentan kesadaran inderawi maka teror akan mencapai puncaknya, sebuah kesurupan. Sebuah titik kulminasi yang memutar balik arah sejarah. Indonesia pernah mengalami masa-masa kesurupan pada tahun 1945, 1965, dan 1998. Setiap orang tidak akan lupa. Setiap orang akan mengingat saat-saat menyedihkan itu. Inilah hebatnya teror, teror selalu bermain dengan kesedihan. Dan semakin digdaya karena kebanyakan orang tidak pernah dipersiapkan dan mempersiapkan diri menghadapi kesedihan. Pelajaran di sekolah selalu menuju pada kesuksesan dan keberhasilan. Maka ketika teror datang dan dampaknya kesedihan merajalela, maka orang pun menjadi lemah dalam pertahanannya. Dan sejak itulah teror akhirnya lebih banyak dihindari daripada benar-benar dihadapi. Akhirnya teror menjelmakan diri sebagai penasaran sekaligus ketakutan akut yang tak berhenti-henti.
Teror memutus seseorang dari tradisi berpikir yang sudah diikuti sepanjang hidup seseorang. Bisa jadi teror malah membungkam dan memupuskan harapan. Bagi yang tidak kuat dia bisa menjadi depresi berat dan memilih untuk mati, Dan banyak yang sudah mati tanpa disadari, belum menghadapi terornya, baru menghadapi halaman yang ditampilkan oleh teror itu. Berapa yang sudah rela membenci dan mati untuk perebutan warisan dan kuasa, misalnya. Perasaan anti kemudian menjadi tanggapan yang paling mungkin. Karena kemalasan berpikir kadang membuat orang melabeli lain sebagai salah, tak wajar sebagai keliru. Sejatinya mereka hanya sedang malas dan menaifkan diri.
Namun sejatinya, teror mengungkapkan wilayah gelap yang justru semakin butuh didekati. Bukan demi menemukan penyelesaian yang menjadi sebuah kesimpulan bersama. Sama sekali tidak pernah dalam tataran demikian. Tetapi pendekatan yang tepat akan membuat teror menjadi jinak, untuk menemukan teror lain yang lebih mengguncang. Misteri. Dengan demikian, orang menjadi sadar bahwa merengkuh sakit adalah hal indah yang tak pernah perlu untuk dijauhi. Karena sebenarnya bagian terdalam dari tubuh manusia adalah teror, dan manusia sendiri adalah teror. Akan menjadi sangat lucu jika teror mengalami ketakutan hanya oleh teror yang lain. Proses seleksi alam menunjukkan bahwa kedekatan seseorang pada pusat teror sebenarnya adalah kunci dari keberhasilan sebuah evolusi.
Dalam dunia ekonomi, George Soros pernah membuat teror besar bagi dunia ekonomi non fisik (yang jelas-jelas berdampak bagi ekonomi fisik. Dalam dunia teologi, Tuhan dan agama selalu menjadi teror. Dalam dunia filsafat, ketidaktahuan menjadi teror. Pada masa orde baru, pembunuhan dan penculikan tersembunyi selalu menjadi teror. Lalu sejarah yang terbungkam adalah teror. Uang dan kekuasaan adalah teror. Terorisme adalah teror. Identitas adalah teror. Hantu adalah teror. Narkotika dan dosa adalah teror. Berikutnya juga kesucian. Semakin teror itu terbuka, semakin indera terbiasa, semakin nampak keinderaannya, maka pada saat itu teror mulai memuai menjadi pudar.
Teror menyebar dalam ketidaktahuan, karena di sanalah teror berwilayah. Tidak pernah dalam alam sadar. Teror bermain dan mempermainkan dengan halus serabut-serabut halus tubuh manusia. Semakin rentan kesadaran inderawi maka teror akan mencapai puncaknya, sebuah kesurupan. Sebuah titik kulminasi yang memutar balik arah sejarah. Indonesia pernah mengalami masa-masa kesurupan pada tahun 1945, 1965, dan 1998. Setiap orang tidak akan lupa. Setiap orang akan mengingat saat-saat menyedihkan itu. Inilah hebatnya teror, teror selalu bermain dengan kesedihan. Dan semakin digdaya karena kebanyakan orang tidak pernah dipersiapkan dan mempersiapkan diri menghadapi kesedihan. Pelajaran di sekolah selalu menuju pada kesuksesan dan keberhasilan. Maka ketika teror datang dan dampaknya kesedihan merajalela, maka orang pun menjadi lemah dalam pertahanannya. Dan sejak itulah teror akhirnya lebih banyak dihindari daripada benar-benar dihadapi. Akhirnya teror menjelmakan diri sebagai penasaran sekaligus ketakutan akut yang tak berhenti-henti.
Teror memutus seseorang dari tradisi berpikir yang sudah diikuti sepanjang hidup seseorang. Bisa jadi teror malah membungkam dan memupuskan harapan. Bagi yang tidak kuat dia bisa menjadi depresi berat dan memilih untuk mati, Dan banyak yang sudah mati tanpa disadari, belum menghadapi terornya, baru menghadapi halaman yang ditampilkan oleh teror itu. Berapa yang sudah rela membenci dan mati untuk perebutan warisan dan kuasa, misalnya. Perasaan anti kemudian menjadi tanggapan yang paling mungkin. Karena kemalasan berpikir kadang membuat orang melabeli lain sebagai salah, tak wajar sebagai keliru. Sejatinya mereka hanya sedang malas dan menaifkan diri.
Namun sejatinya, teror mengungkapkan wilayah gelap yang justru semakin butuh didekati. Bukan demi menemukan penyelesaian yang menjadi sebuah kesimpulan bersama. Sama sekali tidak pernah dalam tataran demikian. Tetapi pendekatan yang tepat akan membuat teror menjadi jinak, untuk menemukan teror lain yang lebih mengguncang. Misteri. Dengan demikian, orang menjadi sadar bahwa merengkuh sakit adalah hal indah yang tak pernah perlu untuk dijauhi. Karena sebenarnya bagian terdalam dari tubuh manusia adalah teror, dan manusia sendiri adalah teror. Akan menjadi sangat lucu jika teror mengalami ketakutan hanya oleh teror yang lain. Proses seleksi alam menunjukkan bahwa kedekatan seseorang pada pusat teror sebenarnya adalah kunci dari keberhasilan sebuah evolusi.
No comments:
Post a Comment