Whatever you want...

Friday, August 21, 2015

Perjumpaan

| No comment
Aku membayangkan perjumpaan kita akan demikian:

Kau duduk di deret bangku ketiga dari depan. Kita berada di Gedung Societet. Kau membaca pamflet pertunjukan yang bermain malam itu. Ternyata sebuah kelompok teater dari Belanda yang berdana Hivos sedang berkolaborasi dengan Teater Garasi, sebuah teater Jogja yang saat ini sedang tinggi-tinggi namanya. Mereka memainkan Stavinsky Hiostoire du Soldat - Javanese Version. Tentu saja kau menontonnya karena itu akan mengingatkanmu pada negeri yang kau tinggalkan beberapa tahun ini. Sedang aku, tentu saja karena aku dulu bagian dari Teater Garasi, pada beberapa proyek mereka. Dan Jogja adalah cerita kita masing-masing. Kau sudah datang setengah jam sebelum waktunya. Kau selalu datang lebih awal, kau menghargai waktumu seperti kau ingin dihargai. Sedang aku yang tak terlalu terikat dengan urusan waktu, ah aku cuma berlibur dan bernostalgia, memilih datang mendekati saat-saat lampu diredupkan. Bangku keempat persis satu bangku di belakang bangkumu.

Musik pertama dimainkan. Aku sibuk membaca dengan cahaya sorot lampu panggung sekenanya. Bergemerisik. Kau terganggu. Karena kau selalu berharap segala sesuatu sempurna, bukankah kau tidak bermain dengan ketidaksempurnaan, sedang aku berwilayah dalam ketidaksempurnaan. Selalu begitu. Namun, kau tak hendak mengingatkan orang gemerisik di belakangmu hanya membatin. Tapi begitu pemain teater cantik, aku mengenalnya, kau tidak, Sri Qadariatin keluar dengan pakaian balet merah mudanya, aku diam. Kau membatin, bisa diam juga.

Namun, sebentar saja kau merindukan gemerisik yang sempat ada dan menghilang. Maka tanpa intensi kau menoleh ke belakang. Aku menangkap gerakan kepalamu, maka kita saling bertatapan. Sebentar saja. Ada yang tersampaikan dalam gelap, hal yang bersejenak saja di benak kita, serupa, "Apakah aku pernah bertemu dengannya?" Dan untuk segala kelupaan kita, kita segera memberi jawab pada diri kita masing-masing, "Tidak!" Dan kau tak pernah menoleh lagi ke belakang, sebagaimana aku tak menoleh lagi kepadamu. Permainaan teater satu jam sembilan menit itu kita tuntaskan dengan puas. Mereka bermain luar biasa.

Ada snack dan kopi yang disediakan di luar. Aku berkumpul bersama teman-temanku. Dan kau bersama teman-temanmu. Aku melihatmu, tentu saja aku menghindar. Aku ingat persis potongan rambut orang di depanku. Ingat keributan yang kubuat. Dan ingat reaksimu di dalam. Maka seperti keong aku berselibat dalam kerumunan teman-temanku. Ah, tentu saja kau sempat melihatku, barang sejenak. Tapi apa artinya. Malam itu kau pun berangkat ke hotelmu dan aku ke tempat teman-temanku.

Jogja sudah tidak seperti yang kuingat. Rasanya sama saja untukmu. Tempat ini sudah menjadi tempat para pencari uang. Kita pernah mengalami ketika kota ini menjadi tempat pencari hidup.

Pagi berikutnya, kakiku menelusur dinding-dinding batu yang menatak bingkai-bingkai lukisan tua kerajaan Jogja dan Solo. Gusti Nurul, Bobby, Hamengku Buwana, Paku Alam, dan banyak yang lain. Aku bersama dua orang temanku ikut dalam sebuah rombongan tour Museum Ullen Sentalu. Kecintaanku pada Jawa dan sejarah sedemikian akut. Aku khusuk dalam zonaku ketika sudah begitu. Aku tentu saja yang paling banyak bertanya kepada pemandu itu. Bercanda dengannya. Yang lain hanya menganggapnya rekreasi. Ketika rombongan kami berputar sampai di ruang lukisan di bawah restoran, aku kembali melihatmu. Dengan rombongan yang lain. Aku sedang melihat lukisan Diana dan Charles yang mengapit Hamengku Buwono X atau IX, sedang rombonganmu sedang dijelaskan tentang tarian Bedhaya Ketawang yang hanya memiliki sembilan penari. Kau bertanya, "Yang kesepuluh?" Aku menoleh kepadamu. "Itu lihat dalam samar, penari kesepuluh yang menggenapkan mereka adalah Nyi Rara Kidul sendiri." Semua rombonganmu tergidik, tapi kau tidak, kau menatapku. Kita, dua orang yang saling bertemu di Societet. Aku menghindari tatapanmu, persis semalam. Tapi diam-diam kita saling memicing. "Apakah aku pernah bertemu dengannya?" Dan kita semakin tidak yakin dengan jawaban "Tidak!" di benak kita kemarin. "Mungkin, tapi entahlah!" menjadi jawaban pengganti.

Entah apa yang terjadi padamu setelah sekian tahun. Aku tentu saja sudah tidak terlalu mengingat wajahmu. Sebagaimana kau tidak mengingat wajahku. Kita sudah bersama-sama dengan dunia kita masing-masing, dan kamu bukanlah bagian dari duniaku, sebagaimana aku bukan bagian dari duniamu. Kau bersama orang yang bersamamu, dan aku bersama orang yang bersamaku. Kita tidak ada. Tapi, kita tak akan pernah bisa membohongi diri kita, ada orang yang pernah begitu melekat di sebuah tempat yang tidak penting. Tempat di mana seharusnya orang tidak saling melekat. Dan kelekatan itu bukan instan, bukan fisik, bukan material. Emosional. Seperti rasa sakit atas trauma lama, kita bisa hidup begitu biasa, tapi begitu ruang itu kembali tersentuh, sesembuh apa pun kita, trauma itu masih menjadi teror yang menari-nari kecil menggelitik kita. Walaupun toh kita mengakhirinya dengan senyuman. Manusia selalu anomali. Seperti gunung.

Bukankah kita pernah bercanda ingin bertemu di puncak Nglanggeran? Sebuah janji yang tidak diucapkan dengan sungguh-sungguh tapi sedemikian membekas. Jangan bohong! Untukmu pun demikian. Hampir menyingsingnya fajar ketika aku sampai di puncak itu. Sudah ada dua rombongan yang lain. Yang satu dengan sebuah tenda sepi, yang satu dengan tiga tenda, anak muda yang tak berhenti rama berfoto di tengah percikan bara api yang enggan mati.

Aku datang sendiri. Nglanggeran bukan gunung yang butuh didaki dengan teman. Nglanggeran adalah Angkawijawa yang bersemedi. Abimanyu dewasa itu telah beristri Utari dan sedemikian matang. Dia telah menurunkan anaknya Parikesit untuk memungkasi cerita pewayangan Wiyasa. Maka sudah ada waktu baginya untuk beristirahat dalam usia tuanya. Kisahnya akan dikenang purba, sepurba perang Barathayuda yang usai puluhan tahun silam, sepurba batu-batu vulkanik yang mengeras dan mengetam napas di Nglanggeran. Tapi ada yang purba yang tak terlupakan, bukan untuk dilupakan, karena di sana mengendap bersedimen-sedimen kenangan alam. Dulu adalah lava andesit yang panas. Tapi sekarang sudah dingin membeku menjelma klastik, breksi, dan tufa. Bukan kenangan plastik dan kosmetik yang diciptakan pasar. Seperti ketika seorang menepuk bahuku di puncak gunung itu.

"Hello, Buble!"

Aku menoleh demi kekesalan yang muncul karena tepukan itu menggangguku di tengah khusukku dengan langit merah yang sebentar lagi akan melahirkan matahari. Dan aku melihatmu, kau yang dua malam kemarin kulihat di Societet, yang kemarin kulihat kembali di Ullen Sentalu. Kau yang kutatap dengan ragu-ragu. Tapi bukan itu, kau yang telah membeku vulkanik di dalam diriku. Ada yang mencair dengan begitu lancar. Hangat yang memanas dalam senyuman yang tiba-tiba. Kau dan aku tersenyum. Kita mengingat puluhan malam yang kita habiskan bersama untuk membicarakan hal-hal tak penting dulu. Tentang kuliahmu di Belanda, tentang permainan pianoku yang tak pernah bagus, tentang fotomu naik sepeda yang batal kau kirimkan, tentang aku yang tertangkap basah sedang setengah telanjang, tentang cerita-cerita sesehari, tentang permainan biola Iskandar Widjaja yang memukau, tentang terlalu banyak hal. Tentang betapa berartinya emosi. Tentang kita.

"Gak kangen sama aku?" Kau menatapku persis di pusat mataku.

Aku malu-malu membuang mukaku. Berdecak dalam keriak remah kenangan yang renyah. Kau dengan matamu yang bulat. Dan rambutmu yang tak lagi serupa singa muda. Kita tak lagi muda.

"Sebentar lagi matahari terbit." Aku menyenggolmu, kau mengangguk.

Lalu berkas-berkas itu mulai jelas. Keemasan yang menerpa merah dan daratan. Bintang-bintang yang ditumpahkan lampu-lampu kota memadam satu per satu, digantikan cahaya sang penguasa pagi. Aku menutup mataku, kau menutup matamu. Kita menghadapkan wajah kepada sang penguasa pagi. Aku bergumam.

Dieu tout-puissant, quand mon coeur considère
Tout l'univers créé par ton pouvoir
Le ciel d'azur, les éclairs, le tonnerre,
Le clair matin ou les ombres du soir
De tout mon être alors s'élève un chant:
Dieu tout-puissant, que tu es grand!
De tout mon être alors s'élève un chant:
Dieu tout-puissant, que tu es grand!

Kita membuka mata, penghuni ketiga tenda di belakang sudah sibuk memuar seperti laron. Maka kita mesti rela memberikan mereka waktu untuk menyibukkan diri mereka dengan diri mereka dan dunia mereka yang penuh dengan gambar digital dan analog. Puncak ini tak pernah milik kita, serupa matahari. Kita menikmatinya, tapi tak pernah memilikinya. Matahari ada untuk seluruh jagad tata surya ini, kita hanya bagian kecilnya, sebuah titik debu bintang dalam keluasan semesta. 

"Mau kopi?"

Aku mengangguk. Kita menuju tenda sepi itu. Aku duduk pada matras yang kau gelar dengan sekenanya. Lalu sebuah termos dan dua cangkir kecil.

"Dua cangkir?"

"Ya, untuk seseorang yang pernah berjanji akan bertemu denganku di puncak ini."

Kita tertawa. Kecil saja. Sesapan kopi. Pahit, manis, asam. Meruam dalam aroma yang tidak ada duanya. Sejenak hangat dan memudar di dada. Tidak lama. Seperti baris kenangan, sejenak ada dan sejenak kemudian hilang. 



Aku membantumu membereskan tenda. Kita turun tak bersegera agar bisa sedikit bercerita sepanjang jalan. Akhirnya aku merasakan tanganmu, ketika aku menahanmu dari jalan melicin di sepanjang lereng barat. Kau memang orang kantoran bersih, sedang aku orang lapangan kasar. Kau dengan cerita ibukotamu dan aku dengan cerita desaku yang kucinta. Watu Gudel yang bersusun. Carang-carang yang menjangkar jari. Mencuci diri di kamar mandi bawah. Kau menuju mobilmu, aku menuju motor sewaan temanku. Kita tersenyum.

"Yakin gak kangen?"

Aku memalingkan muka. Berjalan mundur. Kau menutup pintu mobilmu. Aku melambaikan tangan. Kau pun juga. Mesin mobilmu menyala. Aku duduk di atas motor. Tersenyum. Namun, aku mematikan mesin motor, turun, mengetuk jendelamu.

"Kangen, geblek!"

Kau tertawa, "Akhirnya!" Kau mengeluarkan sebuah bolpen. Mengambil lenganku, menuliskan di sana, "Next  Stop: Wuppertal!"

Aku menjitakmu. Kaca mobilmu menutup. Mobilmu melaju. Aku menatapmu. Aku tersenyum. Dan aku pun tahu kau serupa itu juga.


Tags : , ,

No comments:

Post a Comment