Cerita pendakian berikut adalah cerita konyol.
Aku naik Panderman 20 Agustus 2015, bersama temanku, Hari, anak Jombang yang pertama kali ini naik gunung. Dan aku kesal setengah mampus gara-gara temanku ini tidak membawa apa pun selain jaket parasut dan tas Eiger kecil yang hanya cukup untuk masukkan payung lipat dan senter. Naik bersama orang baru kadang sangat menyenangkan, tapi kadang juga sangat mengesalkan. "Kamu bilang tadi Panderman gunung rekreasi, ya aku santai. Wis lah dijamin aku tidak akan merepotkanmu." Dan balasanku agak kasar, "Kita bukan naik Kelud atau Bromo, bro! Ini mendaki dengan kaki, 2 jam atau lebih untuk pendaki amatir macam kita ini. Tasmu itu buat masukin Aqua botol saja gak cukup!" Aku BBM kepada Eli mencari dukungan, Eli malah bilang "Urusan minum tiap orang beda-beda, ada yang harus minum banyak, ada yang sehari cukup berapa gelas aja cukup." Bukan dukungan kepadaku, malah dukungan kepada temanku. Ah sudahlah. Kami sempat mampir di alun-alun batu untuk menjaga ritme, hitungan kami, waktu itu jam 11 kalau kami naik selambat-lambatnya 3 jam kami akan sampai di puncak jam 2, menghabiskan waktu di puncak tanpa tenda sampai matahari terbit anggap saja jam 5 maka kami akan nyekeker kedinginan 3 jam. Maka kami harus lebih lama di bawah biar tidak lama-lama di puncak.
Agak susah mencari Toyomerto, tempat awal pendakian, kalau ikut GPS. Dan GPS telah menyesatkan kami begitu jauh dari check point itu. Benar-benar kali ini aku yang biasa mengatakan Heil GPS! akhirnya harus bilang GPS go to hell! Berkat seorang satpam perumahan tempat kami kesasar, akhirnya kami menemukan jalan yang benar. Dan ternyata jalan itu sama sekali guampang sak pole! Maka kami mengumpat-umpat sambil cekikikan. Jalur dari plengkung gapura masuk daerah panderman ke check point terbangun dari aspal halus hanya saja memang penuh tanjakan dan beberapa kali belokan. Untung saja temanku cukup lihai membawa motornya. Aku yang sempat kesal kepadanya agak menarik diri dari kekesalanku. Physically temanku satu itu memang tubuh pendaki, beda denganku yang sudah menggembur di beberapa lini.
Kami akhirnya menemukan check point itu. Itu pun setelah keblasar beberapa puluh meter di jalur paving menuju pos 1 sumber air. Kami kembali, sudah jam setengah 2. Dan di tempat penitipan motor sudah sepi tidak ada orang. Aku akhirnya membangunkan seorang bapak yang tubuhnya tertutup selimut di sebuah gubuk sebelah motor-motor yang hanya beberapa biji. Tanpa bangun dari posisi tidurnya sang bapak mengatakan, "Tarik saja penutup jalannya, motornya dimasukkan saja sendiri." Aku menarik penutup tempat parkir yang ditutupkan begitu saja dengan tangga bambu dan anyaman gedhek bambu. Temanku memarkir motor. "Banyak yang naik, Pak?" Dan sang bapak mengatakan lagi tanpa bergerak, "Banyak ada yang ke Panderman dan Gunung Buthak." Setelah pamit dan kembali dijawab tanpa bergerak kami mulai berjalan.
Pos 1 Sumber Air sama sekali bukan pos yang sulit. Berbekal peta pendakian dari salah satu situs internet kami berjalan. Tidak susah menemukan jalur pendakian Panderman karena kami bisa menebaknya dari jejak-jejak sepatu di jalan setapak itu. Walaupun banyak percabangan-percabangan kecil tapi agak jelas arahnya ke mana pendakian. Jadi akan sangat mungkin untuk tidak kesasar di jalur pendakian pemula yang biasa disebut teman-teman pendaki tempat buat latihan mendaki itu. Panderman hanya 2000 mdpl (wikipedia menyebutnya 2045 mdpl), dari check point ke puncak mungkin kita sebenarnya hanya mendaki 1 kilometeran, itu kalo naiknya tegak lurus. Pos 1 akan ada percabangan, tapi ikuti jejak kaki ke arah kiri kita akan lanjut ke pos 2 latar ombo (halaman yang luas). Pos 1 sendiri ketinggainnya 1330 mdpl. Jadi sebenarnya dari pos 1 ke puncak hanya sekitar 700an meter, namun untuk pendaki amatir macam kami jelas agak terasa.
Pendakian dari Pos 1 Sumber Air ke Pos 2 Latar Ombo mulai memakan napasku, Sampoerna yang biasa kunikmati kini menunjukkan kerakusannya di paru-paruku. Aku jalan dengan terengah-engah dengan tas ranselku, sialnya temanku malah jalan dengan sangat santai, tidak terdengar napasnya yang ngos-ngosan. Jelas sekali aku telah salah menilainya. Malah gantian dia yang rajin menungguku dengan telaten. Aku harus mengakui permintaan maaf dan penyesalan. Ternyata jaketnya juga cukup untuk mengangani gunung kecil itu, maka ganti dia yang terkekeh melihatku sudah bergaya macam pendaki Semeru yang sok iye itu. Kami sampai di Pos 2 Latar Ombo persis 1 jam. Jam setengah 2 persis kami sampai di sana. Ada 4 tenda yang didirikan, sepi. Tidak terdengar suara orang, hanya ada bekas api unggun yang masih membara. Dari sana tampak gambaran Kota Batu seperti lautan bintang yang ditumpahkan, luar biasa! Indah sekali! Kami beristirahat tidur di atas tanah beralas pashmina yang kubawa. Jam setengah 4 kurang 5 menit kami lanjut ke Pos 3 Watu Gede.
Menurut perhitungan waktu yang ada di beberapa situs internet, jarak dari Pos 2 yang 1600 mdpl ke Pos 3 yang 1730 mdpl adalah 1 jam. Artinya kalau ikut waktu di situ jarak 130 meter tegak lurus itu harus kami tempuh dalam 1 jam, aku membayangkan betapa sulitnya jalur 130 meter itu. Tapi ternyata tidak sedemikian sulit, ada beberapa meter jalur yang cukup terjal, tapi tidak banyak. Hanya sedikit. Masalah justru adalah pada napas Sampoerna dan pahaku yang memaksaku harus memaksaku beberapa kali berhenti. Temanku justru lancar jaya. Mungkin memang ada pendaki-pendaki alami dan temanku itu adalah salah satunya. Dia belum tampak terengah sama sekali. Dan sesuai janjinya dia tidak merepotkan, malah aku yang harus telaten ditungguinya. Aku malu, tapi tak ada gunanya malu, dia toh tampaknya tidak mau mengungkit-ungkit itu. Aku ingat Sasono pernah bilang, "Latihan dari bawa ransel dulu Gid, nanti kalau sudah bawa carrier besar. Kalau sudah terbiasa nanti lama-lama enteng." Aku memegang nasihat Sasono, dan untukku yang terakhir naik Panderman jaman SMA yang adalah 13 tahun lalu, ternyata ransel yang hanya berisi beberapa lembar kain, air minum, dan beberapa peralatan mandi dan makanan sudah cukup membuatku harus mengakui betapa amatirnya diriku. Temanku melihat celanaku juga agak kebesaran, jadi beberapa kali melorot sampai pantat menyarankan untuk melepas dan ganti celana pendek, karena juga tidak terlalu dingin dan berangin. Tapi aku membayangkan menambah berat tasku dengan celana jeans lagi membuatku menambah beban ransel walau hanya sekiloan memutuskan tidak, aku tetap memakai celana kedodoran ini saja.
Kami sampai di Pos 3 Watu Gede tidak sampai 1 jam, hanya 30 menit pas. Jam 4 kurang 5 kami sampai di sana. Aku sudah merasa luar biasa, karena internet menunjukkan waktunya 1 jam kami memangkas setengahnya. Akhirnya dengan perhitungan bahwa sunrise jam setengah 6, dan perhitungan waktu di internet dari Pos 3 ke Puncak 30 menit. maka kami bisa naik setengah jam lagi, sampai di puncak jam 5 ada waktu 30an menit sebelum matahari terbit. Maka kami beristirahat dulu sampai setengah 5 sekaligus kesempatan untukku menata napas dan temanku untuk tidur lagi sebentar,
Jam setengah 5 lebih 5 kami mulai jalan muncak. Dan ternyata jalur ini agak berbeda dengan jalur sebelumnya. Jalur itu lebih menanjak, berdebu tebal dan cukup terjal. Tidak sampai 90 derajat memang tapi mungkin ada beberapa bagian yang sampai 80 derajat dan kami memang terbantu dengan akar-akar pohon di sana. Tapi benar-benar paling melelahkan. Perhitungan internet 30 menit, tidak mungkin 30 menit kami belum sampai puncak. Sudah jam 5 dan langit Timur sudah mulai kemerahan. Temanku berlari seperti Sun Go Kong supaya tidak kalah dengan matahari terbit. Benar-benar pendaki alami. Aku tidak bisa. Dia akhirnya kusuruh duluan, tapi ternyata dia memilih sabar menanti. Jalur itu tidak mungkin ditempuh dalam 30 menit seperti perhitungan waktu internet. Butuh 1 jam beberapa menit bagi kami untuk sampai di puncak. Dan matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Namun beruntung bagi kami, karena spot terbaik untuk menyaksikan matahari terbit di Panderman memang bukan di Puncak (atau jika pun di puncak, itu adalah sisi Timur dan tidak terlalu bagus), kami mendapatkan spot di lereng dari Pos 3 ke puncak dan itu adalah sisi terbaik untuk melihat matahari terbit. Aku menatapkan wajahku sebentar menikmati matahari.
Di bawah kami ada 3 anak muda yang tiba-tiba berjalan sangat cepat. Tampak bahwa mereka sudah biasa naik gunung. Mereka tidak berhenti-berhenti sepertiku, terus berjalan dengan pasti seperti kereta jalur bebas hambatan. Aku menyempatkan menyapa meraka. Mereka menyapa. Inilah hebatnya gunung. Tidak ada orang yang asing di atas gunung, semuanya menjadi sahabat. Mereka bertanya jam berapa aku naik. Aku mengatakan jam setengah 2, "Istirahat di Watugede ya, Mas?"
"Iya di Latar Ombo juga, tidur cukup lama. Kalian dari mana?"
"Dari Malang sini saja, Mas! Kok sendiri?"
"Enggak ada temanku sudah jalan duluan. Jam berapa naik kalian?"
"Jam setengah 5, Mas!"
Gila! Artinya mereka hanya naik 1 jam dan sudah sampai hampir di puncak. Mereka naik jalur Curah Banteng. Jalur pintas tapi lebih terjal. Dan melihat kecepatan mereka naik aku bisa yakin memang tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk naik. Benar-benar anak muda harapan bangsa. Dan aku bisa melihat jaket mereka. Paskibra Kota Malang. Oh, pantas saja! Mereka berjalan mendahului aku dan temanku yang tampaknya mulai kelihatan lelah juga. Akhirnya, pendaki alami pun tetap manusia.
Kami berjalan terus sampai di Puncak dan setelah satu jam lebih beberapa menit, kami menyaksikan hamparan puncak itu. Ada sebuah monumen, sebuah papan puncak dan sebuah patok semen Puncak Basundara di sana. Ada satu tenda di sana. Para penghuni tenda tampaknya belum bangun. Tiga anak paskibra yang mendahului kami sudah berfoto-foto di monumen itu seolah mengibarkan bendera yang ada di sana.
"Gila! Cepet banget kalian, anak muda! Kalian bukan manusia!"
Mereka tertawa kepadaku, "Di sebelah Timur, Mas, kelihatan Semeru."
Setelah mengucapkan terima kasih, aku ke sisi Timur puncak. Sudah ada rombongan anak-anak fotografi di sana. Mungkin mereka inilah yang menenda di Latar Ombo tadi, pantas saja tenda mereka sepi, ternyata mereka sudah naik duluan. Pantas saja tendanya sepi. Tahu gitu daripada aku tidur di luar dengan pasmina mending tidur di tenda mereka wakakka... Dari sisi Timur view sunrise memang lebih aduhai. Anak-anak fotografi itu sudah sibuk memotret ... diri mereka dengan latar sunrise. Sempurna sekali untuk anak fotografi.
Temanku menyempatkan mengambil foto dengan handphonenya. Aku menikmati hutan pinus di sekitar situ seekor monyet menyapa kami. Luar biasa sekali. Kami berencana turun jam setengah delapan. Agar sempat menjemur diri dulu di puncak.
Kami bertemu dengan rombongan penenda di puncak yang sudah bangun dan berfoto-foto di monumen. Mereka tersenyum kepada kami. Seorang dari antara mereka menatap kami yang cuma naik berdua dan bertanya, "Cuma berdua, Mas?" Aku mengiyakan. Tepat waktu yang direncanakan kami turun dengan menyapa rombongan itu.
Akhirnya kami kembali sampai di Watu Gede. Aku sudah sangat bersemangat turun, tapi temanku gilirannya menjadi beda. Dia yang naik dengan bersemangat, tiba-tiba turun dengan agak rewel. Dia agak sering mengeluh sekarang. Semakin manusia. Karena kami berencana setelah itu ke museum angkut, maka kami menyempatkan lagi tidur sebentar di Watu Gede lagi. Kami terbangun oleh rombongan penenda di atas yang sudah turun, kali ini giliran mereka menyapa kami untuk turun duluan. Salah satu dari mereka menatap kami dengan agak aneh, lalu tersenyum. Aku agaknya tahu maksudnya, dua orang pendaki amatir naik hanya berdua, tapi ada yang lebih dari itu. Ini pasti pasangan maho. Di Latar Ombo kami menyalip lagi rombongan penenda itu dan untuk ketiga kalinya kami bergantian mangatakan monggo. Tatapan salam seorang itu menjadi semakin aneh.
Setelah turun dan mencuci kaki, tangan, dan muka di Sumber air kami melanjutkan perjalanan. Kami memang memilih tempat mencuci agak di atas di bawah rerimbunan manisa. Tanpa kami sangka ketika kami keluar berdua dari rerimbunan manisa, pas sekali sang penenda puncak itu lewat. Kami seperti orang yang barusaja melakukan maksiat di bawah rimbun manisa sempurna. Mas penenda itu hanya tersenyum dan dari tatapannya aku semakin melihat ada kecurigaan terselubung. Sial!
Akhirnya kami jalan cepat-cepat sambil ngakak menertawakan tatapan mata mas penenda itu. Aku berkata kepada temanku, "Mari kita gandengan tangan, biar tampak seperti orang geblek!" Temanku yang gila mengiyakan saja, tanganku digandeng. Dan pas itulah mas penenda keluar dari belokan menyaksikan kami gandengan tangan. Anjrit! Kami benar-benar tertangkap basah melakukan kegeblekan nasional. Gandengan tangan itu pasti sudah membuatkan kesimpulan di kepala mas penenda itu, kesimpulan beralasan tapi ngawur, bahwa dua orang ini bukan sekadar kawan. Aku mengumpat, "Anjrit salah paham, salah paham!" Ngakak sejadi-jadinya. Temanku mengatakan, "Dan akhirnya kecurigaan itu menemukan buktinya." Kami berusaha jalan cepat-cepat menghindari mas penenda. Tapi ternyata dia memang tampak menjaga jaraknya, dia berjalan lebih pelan dan mengalihkan mukanya ketika kami melihatnya.
Ketika kami mengambil motor, tidak bisa tidak kami ketemu lagi dengan mas penenda itu yang kebetulan juga sudah sampai di check point. Dan dia menatap kepada kami sambil memberikan jempolnya dalam senyuman. Sialan! Tapi aku lebih senang mengingat apa yang dibilangkan Eli, "Ah itu biasa saja buat mereka yang biasa naik gunung, kecuali kalau melihat cewek cantik pakai celana pendek di atas paha baik gunung, itu baru istimewa!" Hahaha! Whatsoever lah, tapi yang jelas rasanya aku akan sering mengulang Panderman. Mungkin pada saatnya nanti sendiri, untuk meneruskan tulisan dan pencarianku pada jalur napak tilas Bayu Sang Pemburu Angin.
Aku naik Panderman 20 Agustus 2015, bersama temanku, Hari, anak Jombang yang pertama kali ini naik gunung. Dan aku kesal setengah mampus gara-gara temanku ini tidak membawa apa pun selain jaket parasut dan tas Eiger kecil yang hanya cukup untuk masukkan payung lipat dan senter. Naik bersama orang baru kadang sangat menyenangkan, tapi kadang juga sangat mengesalkan. "Kamu bilang tadi Panderman gunung rekreasi, ya aku santai. Wis lah dijamin aku tidak akan merepotkanmu." Dan balasanku agak kasar, "Kita bukan naik Kelud atau Bromo, bro! Ini mendaki dengan kaki, 2 jam atau lebih untuk pendaki amatir macam kita ini. Tasmu itu buat masukin Aqua botol saja gak cukup!" Aku BBM kepada Eli mencari dukungan, Eli malah bilang "Urusan minum tiap orang beda-beda, ada yang harus minum banyak, ada yang sehari cukup berapa gelas aja cukup." Bukan dukungan kepadaku, malah dukungan kepada temanku. Ah sudahlah. Kami sempat mampir di alun-alun batu untuk menjaga ritme, hitungan kami, waktu itu jam 11 kalau kami naik selambat-lambatnya 3 jam kami akan sampai di puncak jam 2, menghabiskan waktu di puncak tanpa tenda sampai matahari terbit anggap saja jam 5 maka kami akan nyekeker kedinginan 3 jam. Maka kami harus lebih lama di bawah biar tidak lama-lama di puncak.
Agak susah mencari Toyomerto, tempat awal pendakian, kalau ikut GPS. Dan GPS telah menyesatkan kami begitu jauh dari check point itu. Benar-benar kali ini aku yang biasa mengatakan Heil GPS! akhirnya harus bilang GPS go to hell! Berkat seorang satpam perumahan tempat kami kesasar, akhirnya kami menemukan jalan yang benar. Dan ternyata jalan itu sama sekali guampang sak pole! Maka kami mengumpat-umpat sambil cekikikan. Jalur dari plengkung gapura masuk daerah panderman ke check point terbangun dari aspal halus hanya saja memang penuh tanjakan dan beberapa kali belokan. Untung saja temanku cukup lihai membawa motornya. Aku yang sempat kesal kepadanya agak menarik diri dari kekesalanku. Physically temanku satu itu memang tubuh pendaki, beda denganku yang sudah menggembur di beberapa lini.
Kami akhirnya menemukan check point itu. Itu pun setelah keblasar beberapa puluh meter di jalur paving menuju pos 1 sumber air. Kami kembali, sudah jam setengah 2. Dan di tempat penitipan motor sudah sepi tidak ada orang. Aku akhirnya membangunkan seorang bapak yang tubuhnya tertutup selimut di sebuah gubuk sebelah motor-motor yang hanya beberapa biji. Tanpa bangun dari posisi tidurnya sang bapak mengatakan, "Tarik saja penutup jalannya, motornya dimasukkan saja sendiri." Aku menarik penutup tempat parkir yang ditutupkan begitu saja dengan tangga bambu dan anyaman gedhek bambu. Temanku memarkir motor. "Banyak yang naik, Pak?" Dan sang bapak mengatakan lagi tanpa bergerak, "Banyak ada yang ke Panderman dan Gunung Buthak." Setelah pamit dan kembali dijawab tanpa bergerak kami mulai berjalan.
Pos 1 Sumber Air sama sekali bukan pos yang sulit. Berbekal peta pendakian dari salah satu situs internet kami berjalan. Tidak susah menemukan jalur pendakian Panderman karena kami bisa menebaknya dari jejak-jejak sepatu di jalan setapak itu. Walaupun banyak percabangan-percabangan kecil tapi agak jelas arahnya ke mana pendakian. Jadi akan sangat mungkin untuk tidak kesasar di jalur pendakian pemula yang biasa disebut teman-teman pendaki tempat buat latihan mendaki itu. Panderman hanya 2000 mdpl (wikipedia menyebutnya 2045 mdpl), dari check point ke puncak mungkin kita sebenarnya hanya mendaki 1 kilometeran, itu kalo naiknya tegak lurus. Pos 1 akan ada percabangan, tapi ikuti jejak kaki ke arah kiri kita akan lanjut ke pos 2 latar ombo (halaman yang luas). Pos 1 sendiri ketinggainnya 1330 mdpl. Jadi sebenarnya dari pos 1 ke puncak hanya sekitar 700an meter, namun untuk pendaki amatir macam kami jelas agak terasa.
Pendakian dari Pos 1 Sumber Air ke Pos 2 Latar Ombo mulai memakan napasku, Sampoerna yang biasa kunikmati kini menunjukkan kerakusannya di paru-paruku. Aku jalan dengan terengah-engah dengan tas ranselku, sialnya temanku malah jalan dengan sangat santai, tidak terdengar napasnya yang ngos-ngosan. Jelas sekali aku telah salah menilainya. Malah gantian dia yang rajin menungguku dengan telaten. Aku harus mengakui permintaan maaf dan penyesalan. Ternyata jaketnya juga cukup untuk mengangani gunung kecil itu, maka ganti dia yang terkekeh melihatku sudah bergaya macam pendaki Semeru yang sok iye itu. Kami sampai di Pos 2 Latar Ombo persis 1 jam. Jam setengah 2 persis kami sampai di sana. Ada 4 tenda yang didirikan, sepi. Tidak terdengar suara orang, hanya ada bekas api unggun yang masih membara. Dari sana tampak gambaran Kota Batu seperti lautan bintang yang ditumpahkan, luar biasa! Indah sekali! Kami beristirahat tidur di atas tanah beralas pashmina yang kubawa. Jam setengah 4 kurang 5 menit kami lanjut ke Pos 3 Watu Gede.
Menurut perhitungan waktu yang ada di beberapa situs internet, jarak dari Pos 2 yang 1600 mdpl ke Pos 3 yang 1730 mdpl adalah 1 jam. Artinya kalau ikut waktu di situ jarak 130 meter tegak lurus itu harus kami tempuh dalam 1 jam, aku membayangkan betapa sulitnya jalur 130 meter itu. Tapi ternyata tidak sedemikian sulit, ada beberapa meter jalur yang cukup terjal, tapi tidak banyak. Hanya sedikit. Masalah justru adalah pada napas Sampoerna dan pahaku yang memaksaku harus memaksaku beberapa kali berhenti. Temanku justru lancar jaya. Mungkin memang ada pendaki-pendaki alami dan temanku itu adalah salah satunya. Dia belum tampak terengah sama sekali. Dan sesuai janjinya dia tidak merepotkan, malah aku yang harus telaten ditungguinya. Aku malu, tapi tak ada gunanya malu, dia toh tampaknya tidak mau mengungkit-ungkit itu. Aku ingat Sasono pernah bilang, "Latihan dari bawa ransel dulu Gid, nanti kalau sudah bawa carrier besar. Kalau sudah terbiasa nanti lama-lama enteng." Aku memegang nasihat Sasono, dan untukku yang terakhir naik Panderman jaman SMA yang adalah 13 tahun lalu, ternyata ransel yang hanya berisi beberapa lembar kain, air minum, dan beberapa peralatan mandi dan makanan sudah cukup membuatku harus mengakui betapa amatirnya diriku. Temanku melihat celanaku juga agak kebesaran, jadi beberapa kali melorot sampai pantat menyarankan untuk melepas dan ganti celana pendek, karena juga tidak terlalu dingin dan berangin. Tapi aku membayangkan menambah berat tasku dengan celana jeans lagi membuatku menambah beban ransel walau hanya sekiloan memutuskan tidak, aku tetap memakai celana kedodoran ini saja.
Kami sampai di Pos 3 Watu Gede tidak sampai 1 jam, hanya 30 menit pas. Jam 4 kurang 5 kami sampai di sana. Aku sudah merasa luar biasa, karena internet menunjukkan waktunya 1 jam kami memangkas setengahnya. Akhirnya dengan perhitungan bahwa sunrise jam setengah 6, dan perhitungan waktu di internet dari Pos 3 ke Puncak 30 menit. maka kami bisa naik setengah jam lagi, sampai di puncak jam 5 ada waktu 30an menit sebelum matahari terbit. Maka kami beristirahat dulu sampai setengah 5 sekaligus kesempatan untukku menata napas dan temanku untuk tidur lagi sebentar,
Jam setengah 5 lebih 5 kami mulai jalan muncak. Dan ternyata jalur ini agak berbeda dengan jalur sebelumnya. Jalur itu lebih menanjak, berdebu tebal dan cukup terjal. Tidak sampai 90 derajat memang tapi mungkin ada beberapa bagian yang sampai 80 derajat dan kami memang terbantu dengan akar-akar pohon di sana. Tapi benar-benar paling melelahkan. Perhitungan internet 30 menit, tidak mungkin 30 menit kami belum sampai puncak. Sudah jam 5 dan langit Timur sudah mulai kemerahan. Temanku berlari seperti Sun Go Kong supaya tidak kalah dengan matahari terbit. Benar-benar pendaki alami. Aku tidak bisa. Dia akhirnya kusuruh duluan, tapi ternyata dia memilih sabar menanti. Jalur itu tidak mungkin ditempuh dalam 30 menit seperti perhitungan waktu internet. Butuh 1 jam beberapa menit bagi kami untuk sampai di puncak. Dan matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Namun beruntung bagi kami, karena spot terbaik untuk menyaksikan matahari terbit di Panderman memang bukan di Puncak (atau jika pun di puncak, itu adalah sisi Timur dan tidak terlalu bagus), kami mendapatkan spot di lereng dari Pos 3 ke puncak dan itu adalah sisi terbaik untuk melihat matahari terbit. Aku menatapkan wajahku sebentar menikmati matahari.
![]() |
Deret gunung, mungkin Arjuno dan Welirang |
![]() |
Kabut awan menjelang matahari menyingsing |
![]() |
Matahari mulai terbit di balik bukit |
Di bawah kami ada 3 anak muda yang tiba-tiba berjalan sangat cepat. Tampak bahwa mereka sudah biasa naik gunung. Mereka tidak berhenti-berhenti sepertiku, terus berjalan dengan pasti seperti kereta jalur bebas hambatan. Aku menyempatkan menyapa meraka. Mereka menyapa. Inilah hebatnya gunung. Tidak ada orang yang asing di atas gunung, semuanya menjadi sahabat. Mereka bertanya jam berapa aku naik. Aku mengatakan jam setengah 2, "Istirahat di Watugede ya, Mas?"
"Iya di Latar Ombo juga, tidur cukup lama. Kalian dari mana?"
"Dari Malang sini saja, Mas! Kok sendiri?"
"Enggak ada temanku sudah jalan duluan. Jam berapa naik kalian?"
"Jam setengah 5, Mas!"
Gila! Artinya mereka hanya naik 1 jam dan sudah sampai hampir di puncak. Mereka naik jalur Curah Banteng. Jalur pintas tapi lebih terjal. Dan melihat kecepatan mereka naik aku bisa yakin memang tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk naik. Benar-benar anak muda harapan bangsa. Dan aku bisa melihat jaket mereka. Paskibra Kota Malang. Oh, pantas saja! Mereka berjalan mendahului aku dan temanku yang tampaknya mulai kelihatan lelah juga. Akhirnya, pendaki alami pun tetap manusia.
Kami berjalan terus sampai di Puncak dan setelah satu jam lebih beberapa menit, kami menyaksikan hamparan puncak itu. Ada sebuah monumen, sebuah papan puncak dan sebuah patok semen Puncak Basundara di sana. Ada satu tenda di sana. Para penghuni tenda tampaknya belum bangun. Tiga anak paskibra yang mendahului kami sudah berfoto-foto di monumen itu seolah mengibarkan bendera yang ada di sana.
"Gila! Cepet banget kalian, anak muda! Kalian bukan manusia!"
Mereka tertawa kepadaku, "Di sebelah Timur, Mas, kelihatan Semeru."
Setelah mengucapkan terima kasih, aku ke sisi Timur puncak. Sudah ada rombongan anak-anak fotografi di sana. Mungkin mereka inilah yang menenda di Latar Ombo tadi, pantas saja tenda mereka sepi, ternyata mereka sudah naik duluan. Pantas saja tendanya sepi. Tahu gitu daripada aku tidur di luar dengan pasmina mending tidur di tenda mereka wakakka... Dari sisi Timur view sunrise memang lebih aduhai. Anak-anak fotografi itu sudah sibuk memotret ... diri mereka dengan latar sunrise. Sempurna sekali untuk anak fotografi.
![]() |
Patok dan monumen di puncak |
![]() |
Plang Puncak Basundara |
![]() |
Sisi Timur, negeri di atas awan |
![]() |
Terima kasih celana kedodoran |
![]() |
Di sesela pinus |
![]() |
Hari dan Matahari |
![]() |
Sahabat lama |
Temanku menyempatkan mengambil foto dengan handphonenya. Aku menikmati hutan pinus di sekitar situ seekor monyet menyapa kami. Luar biasa sekali. Kami berencana turun jam setengah delapan. Agar sempat menjemur diri dulu di puncak.
Kami bertemu dengan rombongan penenda di puncak yang sudah bangun dan berfoto-foto di monumen. Mereka tersenyum kepada kami. Seorang dari antara mereka menatap kami yang cuma naik berdua dan bertanya, "Cuma berdua, Mas?" Aku mengiyakan. Tepat waktu yang direncanakan kami turun dengan menyapa rombongan itu.
Akhirnya kami kembali sampai di Watu Gede. Aku sudah sangat bersemangat turun, tapi temanku gilirannya menjadi beda. Dia yang naik dengan bersemangat, tiba-tiba turun dengan agak rewel. Dia agak sering mengeluh sekarang. Semakin manusia. Karena kami berencana setelah itu ke museum angkut, maka kami menyempatkan lagi tidur sebentar di Watu Gede lagi. Kami terbangun oleh rombongan penenda di atas yang sudah turun, kali ini giliran mereka menyapa kami untuk turun duluan. Salah satu dari mereka menatap kami dengan agak aneh, lalu tersenyum. Aku agaknya tahu maksudnya, dua orang pendaki amatir naik hanya berdua, tapi ada yang lebih dari itu. Ini pasti pasangan maho. Di Latar Ombo kami menyalip lagi rombongan penenda itu dan untuk ketiga kalinya kami bergantian mangatakan monggo. Tatapan salam seorang itu menjadi semakin aneh.
Setelah turun dan mencuci kaki, tangan, dan muka di Sumber air kami melanjutkan perjalanan. Kami memang memilih tempat mencuci agak di atas di bawah rerimbunan manisa. Tanpa kami sangka ketika kami keluar berdua dari rerimbunan manisa, pas sekali sang penenda puncak itu lewat. Kami seperti orang yang barusaja melakukan maksiat di bawah rimbun manisa sempurna. Mas penenda itu hanya tersenyum dan dari tatapannya aku semakin melihat ada kecurigaan terselubung. Sial!
Akhirnya kami jalan cepat-cepat sambil ngakak menertawakan tatapan mata mas penenda itu. Aku berkata kepada temanku, "Mari kita gandengan tangan, biar tampak seperti orang geblek!" Temanku yang gila mengiyakan saja, tanganku digandeng. Dan pas itulah mas penenda keluar dari belokan menyaksikan kami gandengan tangan. Anjrit! Kami benar-benar tertangkap basah melakukan kegeblekan nasional. Gandengan tangan itu pasti sudah membuatkan kesimpulan di kepala mas penenda itu, kesimpulan beralasan tapi ngawur, bahwa dua orang ini bukan sekadar kawan. Aku mengumpat, "Anjrit salah paham, salah paham!" Ngakak sejadi-jadinya. Temanku mengatakan, "Dan akhirnya kecurigaan itu menemukan buktinya." Kami berusaha jalan cepat-cepat menghindari mas penenda. Tapi ternyata dia memang tampak menjaga jaraknya, dia berjalan lebih pelan dan mengalihkan mukanya ketika kami melihatnya.
Ketika kami mengambil motor, tidak bisa tidak kami ketemu lagi dengan mas penenda itu yang kebetulan juga sudah sampai di check point. Dan dia menatap kepada kami sambil memberikan jempolnya dalam senyuman. Sialan! Tapi aku lebih senang mengingat apa yang dibilangkan Eli, "Ah itu biasa saja buat mereka yang biasa naik gunung, kecuali kalau melihat cewek cantik pakai celana pendek di atas paha baik gunung, itu baru istimewa!" Hahaha! Whatsoever lah, tapi yang jelas rasanya aku akan sering mengulang Panderman. Mungkin pada saatnya nanti sendiri, untuk meneruskan tulisan dan pencarianku pada jalur napak tilas Bayu Sang Pemburu Angin.
No comments:
Post a Comment