![]() |
Bromo dari Penanjakan, 14 Agustus 2015 |
Bromo adalah gunung sejuta umat. Gunungnya pendaki iya, gunungnya turis iya, gunungnya siapa pun. Untuk mereka yang belajar mendaki, agaknya Bromo bisa jadi satu perhentian. Bukan untuk latihan mendaki seperti gunung-gunung lain, tetapi lebih untuk menghirup udara segar dan menyaksikan manusia. Hari ini Bromo sudah terlanjur ramai, tidak ada hari sepi di sana. Dan semoga saja tidak semua gunung akhirnya menjadi demikian. Kadang kita butuh sepi yang akut untuk bisa mengimbangi hingar yang sudah terlanjur mainstream sekarang.
Ada empat pilihan jalur utama untuk sampai Bromo. Jalur paling mainstream dan hampir tanpa hambatan lewat Probolinggo, kemudian Pasuruan, dan dua jalur lain yang agaknya cukup diwaspadai, Jalur Tumpang yang (konon, aku belum pernah lewat sana) paling menantang, dan jalur Nongkojajar. Menjelang hari Nasional Indonesia, 17 Agustus 2015 ini, aku dan Temi, seorang kawan dari Bekasi memilih untuk jalan lewat Jalur Nongkojajar.
Karena masih baru dengan jalur itu, dan kami sama-sama buta jalan, maka GPS menjadi sarana kami. Dan GPS sangat membantu dalam perjalanan kali itu. Kami berangkat berdua dari Pare jam 10 malam. Yang istimewa dalam perjalanan hari itu adalah: kami berdua sama-sama buta medan, hanya tahu dari beberapa situs internet yang bercerita bahwa jalur itu berliku, naik turun, sepi, penuh aspal mengelupas, dan batu-batu sebesar genggaman tangan. Tapi oke lah, not big problem. Konon kalau melewati jalur itu kendaraan, apalagi motor harus prima. Masalahnya adalah: STNK ku sudah mati dan sekarang aku hanya mengantongi surat tilang yang harusnya sudah kuurus Bulan Januari kemarin, masih ngangkrak di pengadilan, SIMku mati tahun 2014, motorku kondisinya luar biasa: ban depan dan belakang sudah sehalus kulit Dian Sastro, rem belakang yang kampasnya habis, jadi di jalur naik turun kadang rem nyantol kadang enggak (dan kalau sudah begitu, kemampuan sepatu untuk menjadi rem tambahan menjadi kebutuhan utama), lampu depanku mati satu, dan ditambah aki yang sudah sekarat, maka jika tidak digas, tidak akan kelihatan jalan di depan, sehingga aku tidak akan bisa mengecek aku masuk gigi berapa, spedometer mati, penunjuk bahan bakar mati juga (yang istimewa adalah ketika kami sampai di dekat Tosari tiba-tiba akiku bermain bagus, hidup! Dan sepanjang perjalanan aki sama sekali tidak mati. Mungkin karena dingin atau mungkin kebaikan Tuhan, hahaha!)
Tantangan itu masih ditambah lagi ada hewan yang terus mengikuti kami setelah keluar dari Nongkojajar sampai masuk Tosari. Aku tidak tahu apakah itu serangga atau burung dares, burung kematian. Aku sempat tidak tahu apakah hanya aku mendengar suara hewan itu atau temanku juga. Aku bertanya kepadanya dan dia mengatakan dia juga mendengarnya. Maka aku tahu itu bukan hal-hal misterius supernatural. Andaipun itu penanda kematian, setidaknya aku gak akan mati sendirian. Tapi in the end of the day, aku justru berterima kasih kepada hewan itu, karena hewan itu (yang menakutkanku) akhirnya menjadi sirene waspada buatku. Walaupun merinding juga sepanjang jalan. Tuhan mengirimkan sahabat perjalanan bagi kami.
Kami sempat berhenti makan dan membeli beberapa hal kecil di toko waralaba daerah Malang dekat Bentoel. Setelah perjalanan gila dengan motor yang hampir sekarat itu akhrinya masuk wilayah sebuah desa, aku tidak tahu persis tapi ada pasar di sana. Jam 1 malam. Masih tertulis Bromo 35an kilometer, bensinku sudah dipastikan hampir tewas. Kami mencari warung bensin sepanjang perjalanan, tidak ada yang buka. Kami menemukan beberapa pria sangar sedang berdiang di salah satu warung tenda. Kami mendekati dan bertanya apakah ada warung bensin yang masih buka. Tidak disangka seorang gondrong bersedia mengantarkan kami mendodok warung. Warung bensin pertama tidak bisa didodok karena orangnya sudah tidur, maka dia mendodok warung yang hampir satu kilo dari tempatnya berdiang (aku mengatakan kepada temanku, nanti kita harus kasih orang ini imbalan). Kami mengisi bensin dan membawa setengah liter lain di botol Aqua untuk berjaga. Tidak kami sangka sang pria gondrong itu setelah selesai kami mengisi bensin begitu saja pamit tanpa meminta apa pun. Aku sangat terpukau, ada orang baik yang tersisa di dunia ini. Tidak berhitung dengan uang. Menolong hanya untuk menolong. Mungkin kecil untuk orang lain, tapi untuk kami yang sekarat bensin, itu luar luar luar luar luat biasa.
Satu jam kemudian kami dengan kecepatan tak lebih dari 20 km/jam karena kondisi motor, jalan, dan kemampuanku menyetir motor yang tak memungkinkan kami buat cepat-cepat, kami sampai di Tosari. Kami bertemu dengan dua orang yang segera menawari kami julalan mereka. Kami membeli dua pasang sarung tangan. Aku berhenti di sana sebentar untuk merokok barang dua batang, sekaligus menunggu portal masuk Bromo dibuka (bukanya jam 3). Aku sempat berdiang bersama mereka dengan membakar sebuah krat dari kayu. Berbicara singkat dan terpesona dengan Bahasa Tengger. Ketika kita sudah menjadi satu walaupun singkat saja dengan penduduk lokal, maka kita bertemu sorga. Semua manusia menjadi begitu baik. Untuk melanjutkan perjalanan mereka menyarankan aku untuk naik motor dan menitipkannya di terminal Wonokitri, lalu naik jeep. Aku sudah hampir menyerah dan cepat-cepat kepingin naik jeep. Temanku menguatkanku untuk terus melaju. Baiklah asalkan tidak dituntut bercepat-cepat aku OK, dan semoga motorku juga mau OK.
Di Wonokitri kami membeli tiket dan diperbolehkan naik dengan motor. Tiket untuk penumpang motor lebih murah dari yang naik jeep. Bukan karena berhitung murah, tapi karena keinginan menuntaskan perjalanan itu dengan motor, kami pun memutuskan untuk naik motor sampai penanjakan. Ternyata jam setengah empat kami sudah sampai di sana. Dan tidak semenakutkan yang dibayangkan. Apa yang dibilang internet tentang jalur Nongkojajar kebanyakan hanya bentuk kemanjaan yang tidak perlu terlalu didengarkan. Bukan kondisi jalan yang jadi tantangan, tetapi kondisi kita dan tumpangan kita yang sebenarnya perlu dapat prioritas utama. Aku jadi ingat Sasono, sahabat sekaligus the mountain man yang kukenal sudah mendaki lebih dari 200 kali gunung-gunung di sepanjang Jawa pernah mengatakan, kondisi fisik itu nomor 2 dalam mendaki, nomor 1nya tetap mental pendaki. Aku rasa dia super benar dalam hal itu.
Maka dengan ratusan orang lain kami menanti magnificent sunrisenya Bromo. Aku kemudian menemukan keasyikan lain. Seorang sahabat, Eli, pernah mengatakan kepadaku, "Kenapa juga harus menyaksikan Sunrise di Bromo, pergi saja ke Kenjeran, itu sudah luar biasa. Kecuali memang ada hal lain yang kita temukan di atas sana." Dan Eli benar, hal yang kutemukan di atas sana adalah manusia. Dan betapa aslinya manusia. Anak-anak pecinta alam yang menyaksikan matahari terbit dengan khusuk, turis asing yang full of spirit untuk menyaksikan hari baru, dan anak muda lokal yang sibuk berfoto selfie. Dan tentu saja aku yang tak berhenti makan. Tak ada yang tertutupi di atas sana. Tujuan utama kita begitu terbaca tanpa perlu menerka dengan berlebihan.
Maka aku tahu bahwa perjalanan Bromo kali ini, terutama adalah tentang perjumpaan dengan manusia, karena tak ada yang lebih menarik daripada manusia. Evolusi dan revolusi telah menjadikan manusia yang tumpah ruah di penanjakan itu menjadi fokus utamaku. Bagaimana manusia bereaksi terhadap sesuatu yang sangat alami.
Dari penanjakan, bagi pecinta Bromo, mereka bisa melanjutkan ke beberapa tempat asyik di sana. Tentu saja Gunung Batok adalah yang pertama tak boleh dilewatkan, lalu puncak kawah Bromo, bukit savana yang biasa disebut Bukit Teletubies, kaldera Pasir Berbisik (jagadnya Dian Sastro dan Christine Hakim) yang berlarit-larit dengan jajaran penunggang kudanya, dan bagi jiwa spiritual Pura Luhur Poten adalah tujuan berikutnya.
Jadi demikianlah. Bromo bagiamanapun tetap istimewa. Di sana kita berjumpa dengan kesiapan kita, dukungan alam (dan mungkin saja Tuhan) atas perjalanan spiritual kita. Tentu saja yang paling istimewa: manusia.
No comments:
Post a Comment