Whatever you want...

Monday, June 15, 2015

Preview Bakal Novel: Bayu

| No comment
Selagiri tak seperti biasanya. Hawa malam itu mampu membuat geligi tetua desa bergemeletuk. Dingin yang menulang. Sunyi membekap seisi desa. Bukan kesunyian damai, tapi ganjil. Menjelang jam-jam sekian, dari rumah Uwak Aji Sura di belakang baledesa, biasanya terdengar sinom dan dandanggula. Menyanyikan sirep untuk seisi desa. Mereka sudah hapal. Maka penduduk desa sudah terbiasa mematikan radio mereka demi mendengarkan lantunan suara sang uwak. Lalu terlelap. Tapi kali itu tidak satu pun. Uwak Aji Sura maupun wayangan dari radio sama sekali tidak terdengar. Jika tidak berkat beberapa oncor yang disulut di tepi-tepi jalan, mungkin Selagiri tak tampak desa berpenghuni.
Hewan-hewan sawah ikut bungkam. Jangkrik tak mengerik dan tonggeret memilih bersembunyi di balik kanopi dedaunan yang berjenjang-jenjang. Menyatu dengan warna kulit pohon yang mengelupas. Belalang sangit dan belalang kadung khusuk menelungkup dedaun padi hijau, yang menyemburatkan satu dua larik kuning di sana-sini, menandai usia. Kodok bangkong tak berteot-tebung, demikian pula burung-burung. Seperti lupa pada nyanyian mereka. Sapi dan kambing hanya berdengusan, tidur tidak tenang. Alam raya laksana bersepaham dengan hawa yang menyergap. Menunjukkan kesatu-paduan yang sempurna.
Bulan mati. Bintang pun enggan menebarkan diri. Awan pekat merungkup langit, seperti sedang bergumul satu sama lain. Bertalian sinambung. Di beberapa siku, awan-awan itu bergelarit seperti kulit bayi yang berlemak padat. Pepat. Mungkin seluruh penghuni langit sedang berkumpul untuk mengadakan sebuah rapat rahasia dan penghuni bumi tak boleh menyiliknya.
Sore ini pun, tak nampak anak kecil yang berjalan bersama pulang mengaji, tidak pula berlarian di halaman dan menggelar jaranan, jumpritan, patil lele, atau bentengan. Memang sudah seminggu Pak Hasan, ustadz desa mengunjungi anak perempuannya di Tangerang. Katanya operasi usus halus, ususnya lengket dan harus dipotong. Mendengarnya saja membuat penduduk desa kecil itu sudah bergidik ngeri. Seperti perut mereka ikut diiris-iris. Nyeri. Mereka terbayang cerita Uwak Aji Sura tentang leak, hantu yang  terbang dengan usus terburai. Mencari makan darah bayi. Betapa malangnya nasib Pak Hasan. Sejak tinggal di Selagiri beberapa tahun ini, deritanya tidak berhenti. Dari istrinya yang mati tertimpa kuda-kuda dapur, dia yang terkena TBC, sampai kini anak perempuannya. Mungkin memang untuk beberapa orang, nasib bukan karib. Nasib tidak melirik mereka dengan jinak, tapi sadis. Bengis. Namun, beruntung pria satu itu memiliki keutamaan, dia tabah dan setia. Dia bukan pengeluh.
Jika ada yang masih berjaga, itu pohon juwet pinggir kuburan. Berdiri menjulang seperti prajurit desa. Laksana siap menghadapi deru yang hendak menyergap. Tegap seperti Werkudara. Atau Bathara Kala yang menggunuk besar menantang Siwa. Kekar dan bertenaga. Sebulan lagi pohon juwet itu akan tiba musimnya, anak-anak akan berpanjatan mengambil buahnya. Sambil bergelayut, menoreh ungu di gigi-gigi mereka, seperti habis mengunyah tinta. Berlemparan sambil tertawa-tertawa. Tapi tidak malam itu.
Di dekat pohon juwet itu, hanya sepelempar batu jaraknya, batu-batu gunung sebesar kerbau berjajar saling berdempetan. Membentuk setengah lingkaran hampir sempurna. Jelas bukan manusia yang menatanya, alam dengan caranya sendiri. Batu-batu itu merupakan dirinya benteng bagi desa di lereng Tidar itu. Konon dari sanalah Selagiri mendapatkan namanya. Yang kuasa menjelmakan diri sebagai gunung batu bagi desa itu. Penjaganya siang malam.

Lima sawah dari desa itu, sebuah dokar dipacu masuk desa. Seorang perempuan muda panas dingin menahan sakit mual, duduk di bagian belakang dengan gelinjangan. Gelisahnya sudah tak tertahan, tertumpah melalui keringat-keringat yang bersembulan. Bertetesan. Perut perempuan itu membuncit, terasa seperti diremas-remas. Cemas. Hari itu belum waktunya sang jabang bayi jebrol. Tapi air yang dikiranya kencing itu pasti tandanya. Dia tidak kuasa mengaduh dan mengerang, hanya napasnya yang berkejar-kejaran dan tangannya yang menggosok ke sana kemari. Seperti meredam.
Sang kusir tidak tahu harus senang atau kesal, tapi mencoba tetap tenang. Dia memilih tidak berbicara, hanya memantapkan hentakan tali kekang. Dokar berlari semakin kencang. Jalan makadam. Dokar dan penumpangnya terpental-pental. Diam-diam kusir itu berdoa.
“Pak Sarip!”
Perempuan di belakang berteriak. Berat. Kusir itu masih terus melarikan dokarnya tanpa membalik. Dia harus cepat-cepat. Hanya kurang empat sawah lagi. Selagiri sudah tampak di depan. Dua oncor dijajar sebelah rimbun mahuni. Seperti dua mata malam yang mengawasi mereka. Menuntun jalan dokarnya.
Tapi dia merasakan perempuan itu memukul pundaknya. Sekali, lalu yang kedua dengan kencang. Basah. Tangan perempuan itu basah. Ada yang lumer seperti liur merembesi kerah bajunya. Pak Sarip pun menoleh ke belakang. Dokarnya terus berlari, tapi tangannya lemas. Seorang bayi merah bersimbah darah dan air ketuban. Disangga kedua telapak tangan ibunya. Mungil. Berguncang-guncang mengikuti tonjolan bebatuan jalan. Berlilit tambang kenyal serupa usus. Ari-ari? Tali itu menjuntai dari dalam daster ibunya. Mata bayi itu terbuka lebar. Bayi itu tidak menangis, tapi perempuan itu yang menangis sejadi-jadinya. Lepas dari lemas, kesadarannya kembali, dipegangnya kembali tali dokar itu dengan kencang. Namun, pikiran buruk sudah terlanjur mermesapi kepala kusir dokar itu.
Sukerta!
Tags :

No comments:

Post a Comment