Selagiri tak seperti biasanya. Hawa malam itu mampu membuat
geligi tetua desa bergemeletuk. Dingin yang menulang. Sunyi membekap seisi
desa. Bukan kesunyian damai, tapi ganjil. Menjelang jam-jam sekian, dari rumah
Uwak Aji Sura di belakang baledesa, biasanya terdengar sinom dan dandanggula. Menyanyikan
sirep untuk seisi desa. Mereka sudah hapal. Maka penduduk desa sudah terbiasa
mematikan radio mereka demi mendengarkan lantunan suara sang uwak. Lalu terlelap.
Tapi kali itu tidak satu pun. Uwak Aji Sura maupun wayangan dari radio sama
sekali tidak terdengar. Jika tidak berkat beberapa oncor yang disulut di
tepi-tepi jalan, mungkin Selagiri tak tampak desa berpenghuni.
Hewan-hewan sawah ikut bungkam. Jangkrik tak mengerik dan
tonggeret memilih bersembunyi di balik kanopi dedaunan yang berjenjang-jenjang.
Menyatu dengan warna kulit pohon yang mengelupas. Belalang sangit dan belalang
kadung khusuk menelungkup dedaun padi hijau, yang menyemburatkan satu dua larik
kuning di sana-sini, menandai usia. Kodok bangkong tak berteot-tebung, demikian
pula burung-burung. Seperti lupa pada nyanyian mereka. Sapi dan kambing hanya
berdengusan, tidur tidak tenang. Alam raya laksana bersepaham dengan hawa yang
menyergap. Menunjukkan kesatu-paduan yang sempurna.
Bulan mati. Bintang pun enggan menebarkan diri. Awan
pekat merungkup langit, seperti sedang bergumul satu sama lain. Bertalian
sinambung. Di beberapa siku, awan-awan itu bergelarit seperti kulit bayi yang
berlemak padat. Pepat. Mungkin seluruh penghuni langit sedang berkumpul untuk
mengadakan sebuah rapat rahasia dan penghuni bumi tak boleh menyiliknya.
Sore ini pun, tak nampak anak kecil yang berjalan bersama
pulang mengaji, tidak pula berlarian di halaman dan menggelar jaranan,
jumpritan, patil lele, atau bentengan. Memang sudah seminggu Pak Hasan, ustadz
desa mengunjungi anak perempuannya di Tangerang. Katanya operasi usus halus,
ususnya lengket dan harus dipotong. Mendengarnya saja membuat penduduk desa
kecil itu sudah bergidik ngeri. Seperti perut mereka ikut diiris-iris. Nyeri. Mereka
terbayang cerita Uwak Aji Sura tentang leak, hantu yang terbang dengan usus terburai. Mencari makan
darah bayi. Betapa malangnya nasib Pak Hasan. Sejak tinggal di Selagiri
beberapa tahun ini, deritanya tidak berhenti. Dari istrinya yang mati tertimpa
kuda-kuda dapur, dia yang terkena TBC, sampai kini anak perempuannya. Mungkin
memang untuk beberapa orang, nasib bukan karib. Nasib tidak melirik mereka
dengan jinak, tapi sadis. Bengis. Namun, beruntung pria satu itu memiliki
keutamaan, dia tabah dan setia. Dia bukan pengeluh.
Jika ada yang masih berjaga, itu pohon juwet pinggir
kuburan. Berdiri menjulang seperti prajurit desa. Laksana siap menghadapi deru
yang hendak menyergap. Tegap seperti Werkudara. Atau Bathara Kala yang
menggunuk besar menantang Siwa. Kekar dan bertenaga. Sebulan lagi pohon juwet
itu akan tiba musimnya, anak-anak akan berpanjatan mengambil buahnya. Sambil
bergelayut, menoreh ungu di gigi-gigi mereka, seperti habis mengunyah tinta. Berlemparan
sambil tertawa-tertawa. Tapi tidak malam itu.
Di dekat pohon juwet itu, hanya sepelempar batu jaraknya,
batu-batu gunung sebesar kerbau berjajar saling berdempetan. Membentuk setengah
lingkaran hampir sempurna. Jelas bukan manusia yang menatanya, alam dengan
caranya sendiri. Batu-batu itu merupakan dirinya benteng bagi desa di lereng Tidar
itu. Konon dari sanalah Selagiri mendapatkan namanya. Yang kuasa menjelmakan
diri sebagai gunung batu bagi desa itu. Penjaganya siang malam.
Lima sawah dari desa itu, sebuah dokar dipacu masuk desa.
Seorang perempuan muda panas dingin menahan sakit mual, duduk di bagian
belakang dengan gelinjangan. Gelisahnya sudah tak tertahan, tertumpah melalui
keringat-keringat yang bersembulan. Bertetesan. Perut perempuan itu membuncit,
terasa seperti diremas-remas. Cemas. Hari itu belum waktunya sang jabang bayi
jebrol. Tapi air yang dikiranya kencing itu pasti tandanya. Dia tidak kuasa
mengaduh dan mengerang, hanya napasnya yang berkejar-kejaran dan tangannya yang
menggosok ke sana kemari. Seperti meredam.
Sang kusir tidak tahu harus senang atau kesal, tapi mencoba
tetap tenang. Dia memilih tidak berbicara, hanya memantapkan hentakan tali
kekang. Dokar berlari semakin kencang. Jalan makadam. Dokar dan penumpangnya
terpental-pental. Diam-diam kusir itu berdoa.
“Pak Sarip!”
Perempuan di belakang berteriak. Berat. Kusir itu masih
terus melarikan dokarnya tanpa membalik. Dia harus cepat-cepat. Hanya kurang
empat sawah lagi. Selagiri sudah tampak di depan. Dua oncor dijajar sebelah
rimbun mahuni. Seperti dua mata malam yang mengawasi mereka. Menuntun jalan
dokarnya.
Tapi dia merasakan perempuan itu memukul pundaknya. Sekali,
lalu yang kedua dengan kencang. Basah. Tangan perempuan itu basah. Ada yang
lumer seperti liur merembesi kerah bajunya. Pak Sarip pun menoleh ke belakang.
Dokarnya terus berlari, tapi tangannya lemas. Seorang bayi merah bersimbah
darah dan air ketuban. Disangga kedua telapak tangan ibunya. Mungil.
Berguncang-guncang mengikuti tonjolan bebatuan jalan. Berlilit tambang kenyal
serupa usus. Ari-ari? Tali itu menjuntai dari dalam daster ibunya. Mata bayi
itu terbuka lebar. Bayi itu tidak menangis, tapi perempuan itu yang menangis
sejadi-jadinya. Lepas dari lemas, kesadarannya kembali, dipegangnya kembali
tali dokar itu dengan kencang. Namun, pikiran buruk sudah terlanjur mermesapi kepala
kusir dokar itu.
Sukerta!
No comments:
Post a Comment