Kalau ada orang bertanya apakah aku punya pacar? Jawabnya ya, atau tidak, aku tidak tahu. Tapi apakah ada seorang yang khusus? Kalau itu iya. Apakah aku mencintainya? Aku akan menjawab tidak tahu. Jadi apakah aku tidak mencintainya? Jawabnya aku mencintainya. Lalu? Bukankah hal demikian membingungkan? Mungkin ya, atau sama sekali tidak.
Sejarah. Itulah yang membentuk diri, menjadikan kita sebagaimana adanya kita sekarang. Manusia hanyalah sebuah titik kecil semesta, baik dari ruang maupun waktunya. Manusia bukan apa-apa dibandingkan keluasan semesta. Tapi betapa hebatnya manusia, kehebatan pertama manusia adalah betapa sebuah diri yang sekecil itu mereka mempunyai daya pikir yang menjangkau segala keluasan, dan jika pun mereka akhirnya tak benar-benar tahu segala sisinya, mereka akan tetap punya keyakinan akan sesuatu yang ada pada segala keluasan itu. Wadak mereka tak bisa menyimpan seutuhnya segalanya dalam kesadaran mereka. Imajinasi adalah kekayaan terbesar alam pikir manusia, menjadikan mereka bisa berada di sebuah tempat dan waktu tanpa merasakan apa pun yang terkait dengan ruang dan waktu itu.
Berikutnya adalah rasa, sensasi, nuansa. Ini adalah hal-hal yang berusaha dijelaskan manusia dengan segala daya upaya mereka berpengetahuan. Mereka berusaha mengukur terlalu banyak hal. Sampai mereka sadar bahwa tidak segalanya bisa ukur dengan seksama. Manusia bisa mempunyai cinta dan benci yang bersebelahan dengan indah pada sesuatu hal yang sama. Mereka bisa memiliki mimpi buruk yang sedemikian mencekam, membuat mereka depresi bahkan membuat mereka rela melapas nyawa. Mereka pun memiliki cinta yang membuat mereka bisa merasakan begitu hidup, bahkan dalam kondisi yang paling rendah dan rentan. Mereka ketakutan namun juga berani. Semua perasaan yang tak berwarna itu melampaui segala kemampuan mereka menakar dan mengukur.
Lalu untuk memudahkan sesuatu manusia akan mempunyai alat ukur. Alat ukut ini adalah penemuan terbesar manusia dalam upaya mereka mengerti diri mereka sendiri dan keluasan alam di luar mereka. Tapi mereka tahu bahwa alat ukur yang menjadi produk pengetahuan mereka itu tidak pernah bisa mengukur sesuatu secara tepat. Alat ukur hanyalah sebuah cerita mereka tentang sebuah bangun geometris yang bisa saja hanya ada dalam imaji mereka yang tak terbatas.
Lalu dalam sejarah itu terbentuk trauma-trauma atas rasa sakit. Kerentanan-kerentanan. Tapi bersama dengan itu, mereka juga belajar tentang bangkit, belajar tentang bertahan hidup. Dan hebatnya perasaan itu tidak hanya tersimpan untuk diri mereka sendiri, tetapi juga terbagi untuk yang lain. Beberapa menghindari pembagian ini, beberapa begitu terpesona dengannya. Dan sejarah lah yang mengajarkan mereka untuk memilih. Diri mereka adalah pilihan mereka untuk bertahan hidup. Timbul sebuah istilah yang menyebelahi rasa kasih, tidak lain kasihan.
Lalu cinta apakah yang tumbuh dalam diriku kepada orang itu? Semuanya. Ada harapan, ada kasih, ada kasihan, ada kelekatan, ada keinginan berpisah, membenci, dan tidak nyaman yang sama besar. Kami adalah dua pribadi yang tumbuh dalam cerita yang sama sekali lain, walaupun dalam banyak hal lain kami begitu sama. Perbedaannya adalah dalam segala perhatianku kepada orang lain, jauh di dalam aku sangat egois. Jauh di dalam segala kasih sayangku kepada yang lain, aku begitu masa bodoh. Jauh di dalam segala kasih yang kucurahkan kepada orang lain, aku begitu kesepian, dan membutuhkan perhatian. Jauh di dalam segala kesabaranku aku adalah seorang yang sangat tidak sabaran, begitu emosional. Sedangkan dia adalah sisi yang lain: dia akan sangat egois dan benar-benar egois, sampai tiba pada saat yang paling kritis, dia adalah orang yang rela melakukan segalanya untuk orang lain. Di balik segala emosinya yang sangat berlompatan, dia adalah orang yang sangat tenang. Dia tampaknya begitu kesepian, tapi bersama dengan itu dia sebenarnya sangat mandiri. Jika tidak pernah bertemu satu sama lain, kami sudah yakin akan bersama orang lain.
Perasaan ini tumbuh dari eros. Lalu kami tahu bahwa sebenarnya ketertarikan seksual itu perlahan-lahan mati. Kami saling sadar bahwa orang yang ada di hadapan kami bukan orang yang akan membuat kami tergila-gila dan begitu ingin menciumnya, bersatu tubuh dengan satu sama lain. Aku bahkan tidak cukup yakin baik aku atau pun dia sama-sama masih saling tertarik kepada tubuh pasangan kami. Aku pernah, sekarang tidak yakin. Aku tidak tahu apakah kami masing-masing berhasrat satu sama lain. Aku tidak terlalu tertarik secara seksual lagi kepadanya. Dan aku rasa dia pun sama. Eros itu sudah tidak menyala lagi di antara kami. Aku yakin itu dengan pasti.
Lalu perasaan semacam persahabatan muncul. Cinta ini jangan-jangan tak lebih dari kasih seorang sahabat. Sampai kami sadar, bahwa menemukannya bersama yang lain membuat kami begitu marah. Marahnya luar biasa. Cemburu. Tapi bukankah perasaan tersaingi juga kadang-kadang begitu bercampur aduk dengan yang didefinisikan dengan cemburu. Karena nyatanya in the end of the day, kalau dia bersama yang lain aku tak masalah, bahkan andaikata dia akhirnya bahagia bersama orang itu aku juga senang. Jika itu terjadi aku rasa kami akan jadi teman dan sahabat yang baik. Bukan karena aku bisa mencari yang lain, karena posisinya di dalam hatiku tidak tergantikan. Aku yakin bahwa aku atau pun dia bisa mencari yang lain. Tapi kompleksitas semacam ini tidak akan kudapatkan dari yang lain.
Apakah ini persahabatan saja? Jawabannya bisa jadi. Tapi selama aku dan dia tak menemukan orang lain sekompleks ini rasanya kami masih akan sama-sama kembali kepada satu sama lain. Pilihannya tentu saja sampai salah satu memilih pergi. Lihat betapa hebatnya manusia yang kecil, lemah, dan tidak berdaya ini bisa menampung semuanya sekaligus.
Aku tidak tahu apakah ini rasa kasihan. Tapi rasanya ada perasaan bahwa dia membutuhkan teman. Dan aku bisa jadi bukan temannya untuk bersenang-senang, tapi aku adalah teman untuknya meraih mimpinya. Di dalam mimpinya itu mungkin aku tidak ada. Tapi peduli amat. Dan dia menyeimbangkanku dari perasaan kesepian yang selama ini meliputiku. Dia membutuhkanku, aku membutuhkannya. Lalu diam-diam aku merasa bahwa akulah yang sebenarnya membutuhkan teman sepertinya, aku membutuhkan dia lebih daripada dia membutuhkanku.
Lalu apakah ini hanya karena semata-mata saling membutuhkan? Aku rasa aku tidak tahu. Lihat saja ini. Aku selalu berharap orang yang bisa mengimbangiku dalam berpikir, menjadi teman diskusi yang bisa asik untuk segalanya. Dan karena itulah aku pernah salah tangkap, jatuh cinta pada orang-orang yang kuanggap demikian. Bahkan aku pernah menyatakan cintaku kepada mereka. Tapi aku tak yakin pada akhirnya aku bisa bertahan hidup bersama mereka yang sama-sama rumit sepertiku. Untuk teman berpikir dan berbincang tentang apa pun tak ada habisnya, aku punya teman-temanku. Dan mereka sempurna. Lalu dia? Dia sama sekali tidak masuk dalam kriteria itu. Dia bukan teman berpikir yang akan bisa mengimbangiku dalam topik yang aku sukai. Kadang kami kehabisan kata-kata satu sama lain. Bahkan tidak tahu harus berkata apa selain "Apa kabar kamu?" "Lagi ngapain?" yang sebenarnya tak benar-benar butuh jawaban. Tapi dia adalah jaring untukku. Perasaan cemburu yang aneh tiba-tiba muncul ketika aku menemukan dia bersama teman-temannya menghabiskan hari-harinya, sama seperti dia yang kemudian cemburu kepadaku ketika aku bersama dengan teman-temanku yang mungkin membuatku terpesona kepada mereka. Dia tahu bahwa aku gampang terpesona kepada orang yang bisa kuajak diskusi dengan asik, karena diskusi asyik buatku selalu adalah diskusi yang intens. Dan dia akan begitu kesal menemukanku begitu intens dan intim bersama orang lain. Tapi apakah aku akan memilih teman-temanku daripada dia? Jawabannya tidak! Dialah yang akan kupilih.
Bisa jadi hidup bersamanya, hanya dengannya dan dunianya akan sangat membosankan dan terasa amatir untukku. Sama seperti dia yang hanya hidup denganku dan menemukan betapa kelam dan gelapnya kehidupanku. Ada kata yang tepat gloomy. Tapi bersamanya dengan cara yang seperti kami rasakan dan kami lakukan sekarang, aku nyaman. Kenyamanan yang lain dari yang kurasakan dengan teman-teman atau bahkan keluargaku. Tapi apakah aku bisa tahan dengan kehidupannya dan semua pilihan-pilihannya? Aku tidak tahu. Kadang aku merasa dia begitu abai dengan semuanya. Tidak peduli pada apa pun.
Mungkin jika ditanya apakah aku mencintainya? Aku tidak tahu. Mungkin diam-diam aku tidak mencintainya. Atau bisa sebaliknya, diam-diam aku mencintainya. Tapi yang jelas dari segala kemungkinan, aku memilih mencintainya. So, pilih dan dan putuskan saja sendiri, apakah kami bahagia dan saling mencintai.
Sejarah. Itulah yang membentuk diri, menjadikan kita sebagaimana adanya kita sekarang. Manusia hanyalah sebuah titik kecil semesta, baik dari ruang maupun waktunya. Manusia bukan apa-apa dibandingkan keluasan semesta. Tapi betapa hebatnya manusia, kehebatan pertama manusia adalah betapa sebuah diri yang sekecil itu mereka mempunyai daya pikir yang menjangkau segala keluasan, dan jika pun mereka akhirnya tak benar-benar tahu segala sisinya, mereka akan tetap punya keyakinan akan sesuatu yang ada pada segala keluasan itu. Wadak mereka tak bisa menyimpan seutuhnya segalanya dalam kesadaran mereka. Imajinasi adalah kekayaan terbesar alam pikir manusia, menjadikan mereka bisa berada di sebuah tempat dan waktu tanpa merasakan apa pun yang terkait dengan ruang dan waktu itu.
Berikutnya adalah rasa, sensasi, nuansa. Ini adalah hal-hal yang berusaha dijelaskan manusia dengan segala daya upaya mereka berpengetahuan. Mereka berusaha mengukur terlalu banyak hal. Sampai mereka sadar bahwa tidak segalanya bisa ukur dengan seksama. Manusia bisa mempunyai cinta dan benci yang bersebelahan dengan indah pada sesuatu hal yang sama. Mereka bisa memiliki mimpi buruk yang sedemikian mencekam, membuat mereka depresi bahkan membuat mereka rela melapas nyawa. Mereka pun memiliki cinta yang membuat mereka bisa merasakan begitu hidup, bahkan dalam kondisi yang paling rendah dan rentan. Mereka ketakutan namun juga berani. Semua perasaan yang tak berwarna itu melampaui segala kemampuan mereka menakar dan mengukur.
Lalu untuk memudahkan sesuatu manusia akan mempunyai alat ukur. Alat ukut ini adalah penemuan terbesar manusia dalam upaya mereka mengerti diri mereka sendiri dan keluasan alam di luar mereka. Tapi mereka tahu bahwa alat ukur yang menjadi produk pengetahuan mereka itu tidak pernah bisa mengukur sesuatu secara tepat. Alat ukur hanyalah sebuah cerita mereka tentang sebuah bangun geometris yang bisa saja hanya ada dalam imaji mereka yang tak terbatas.
Lalu dalam sejarah itu terbentuk trauma-trauma atas rasa sakit. Kerentanan-kerentanan. Tapi bersama dengan itu, mereka juga belajar tentang bangkit, belajar tentang bertahan hidup. Dan hebatnya perasaan itu tidak hanya tersimpan untuk diri mereka sendiri, tetapi juga terbagi untuk yang lain. Beberapa menghindari pembagian ini, beberapa begitu terpesona dengannya. Dan sejarah lah yang mengajarkan mereka untuk memilih. Diri mereka adalah pilihan mereka untuk bertahan hidup. Timbul sebuah istilah yang menyebelahi rasa kasih, tidak lain kasihan.
Lalu cinta apakah yang tumbuh dalam diriku kepada orang itu? Semuanya. Ada harapan, ada kasih, ada kasihan, ada kelekatan, ada keinginan berpisah, membenci, dan tidak nyaman yang sama besar. Kami adalah dua pribadi yang tumbuh dalam cerita yang sama sekali lain, walaupun dalam banyak hal lain kami begitu sama. Perbedaannya adalah dalam segala perhatianku kepada orang lain, jauh di dalam aku sangat egois. Jauh di dalam segala kasih sayangku kepada yang lain, aku begitu masa bodoh. Jauh di dalam segala kasih yang kucurahkan kepada orang lain, aku begitu kesepian, dan membutuhkan perhatian. Jauh di dalam segala kesabaranku aku adalah seorang yang sangat tidak sabaran, begitu emosional. Sedangkan dia adalah sisi yang lain: dia akan sangat egois dan benar-benar egois, sampai tiba pada saat yang paling kritis, dia adalah orang yang rela melakukan segalanya untuk orang lain. Di balik segala emosinya yang sangat berlompatan, dia adalah orang yang sangat tenang. Dia tampaknya begitu kesepian, tapi bersama dengan itu dia sebenarnya sangat mandiri. Jika tidak pernah bertemu satu sama lain, kami sudah yakin akan bersama orang lain.
Perasaan ini tumbuh dari eros. Lalu kami tahu bahwa sebenarnya ketertarikan seksual itu perlahan-lahan mati. Kami saling sadar bahwa orang yang ada di hadapan kami bukan orang yang akan membuat kami tergila-gila dan begitu ingin menciumnya, bersatu tubuh dengan satu sama lain. Aku bahkan tidak cukup yakin baik aku atau pun dia sama-sama masih saling tertarik kepada tubuh pasangan kami. Aku pernah, sekarang tidak yakin. Aku tidak tahu apakah kami masing-masing berhasrat satu sama lain. Aku tidak terlalu tertarik secara seksual lagi kepadanya. Dan aku rasa dia pun sama. Eros itu sudah tidak menyala lagi di antara kami. Aku yakin itu dengan pasti.
Lalu perasaan semacam persahabatan muncul. Cinta ini jangan-jangan tak lebih dari kasih seorang sahabat. Sampai kami sadar, bahwa menemukannya bersama yang lain membuat kami begitu marah. Marahnya luar biasa. Cemburu. Tapi bukankah perasaan tersaingi juga kadang-kadang begitu bercampur aduk dengan yang didefinisikan dengan cemburu. Karena nyatanya in the end of the day, kalau dia bersama yang lain aku tak masalah, bahkan andaikata dia akhirnya bahagia bersama orang itu aku juga senang. Jika itu terjadi aku rasa kami akan jadi teman dan sahabat yang baik. Bukan karena aku bisa mencari yang lain, karena posisinya di dalam hatiku tidak tergantikan. Aku yakin bahwa aku atau pun dia bisa mencari yang lain. Tapi kompleksitas semacam ini tidak akan kudapatkan dari yang lain.
Apakah ini persahabatan saja? Jawabannya bisa jadi. Tapi selama aku dan dia tak menemukan orang lain sekompleks ini rasanya kami masih akan sama-sama kembali kepada satu sama lain. Pilihannya tentu saja sampai salah satu memilih pergi. Lihat betapa hebatnya manusia yang kecil, lemah, dan tidak berdaya ini bisa menampung semuanya sekaligus.
Aku tidak tahu apakah ini rasa kasihan. Tapi rasanya ada perasaan bahwa dia membutuhkan teman. Dan aku bisa jadi bukan temannya untuk bersenang-senang, tapi aku adalah teman untuknya meraih mimpinya. Di dalam mimpinya itu mungkin aku tidak ada. Tapi peduli amat. Dan dia menyeimbangkanku dari perasaan kesepian yang selama ini meliputiku. Dia membutuhkanku, aku membutuhkannya. Lalu diam-diam aku merasa bahwa akulah yang sebenarnya membutuhkan teman sepertinya, aku membutuhkan dia lebih daripada dia membutuhkanku.
Lalu apakah ini hanya karena semata-mata saling membutuhkan? Aku rasa aku tidak tahu. Lihat saja ini. Aku selalu berharap orang yang bisa mengimbangiku dalam berpikir, menjadi teman diskusi yang bisa asik untuk segalanya. Dan karena itulah aku pernah salah tangkap, jatuh cinta pada orang-orang yang kuanggap demikian. Bahkan aku pernah menyatakan cintaku kepada mereka. Tapi aku tak yakin pada akhirnya aku bisa bertahan hidup bersama mereka yang sama-sama rumit sepertiku. Untuk teman berpikir dan berbincang tentang apa pun tak ada habisnya, aku punya teman-temanku. Dan mereka sempurna. Lalu dia? Dia sama sekali tidak masuk dalam kriteria itu. Dia bukan teman berpikir yang akan bisa mengimbangiku dalam topik yang aku sukai. Kadang kami kehabisan kata-kata satu sama lain. Bahkan tidak tahu harus berkata apa selain "Apa kabar kamu?" "Lagi ngapain?" yang sebenarnya tak benar-benar butuh jawaban. Tapi dia adalah jaring untukku. Perasaan cemburu yang aneh tiba-tiba muncul ketika aku menemukan dia bersama teman-temannya menghabiskan hari-harinya, sama seperti dia yang kemudian cemburu kepadaku ketika aku bersama dengan teman-temanku yang mungkin membuatku terpesona kepada mereka. Dia tahu bahwa aku gampang terpesona kepada orang yang bisa kuajak diskusi dengan asik, karena diskusi asyik buatku selalu adalah diskusi yang intens. Dan dia akan begitu kesal menemukanku begitu intens dan intim bersama orang lain. Tapi apakah aku akan memilih teman-temanku daripada dia? Jawabannya tidak! Dialah yang akan kupilih.
Bisa jadi hidup bersamanya, hanya dengannya dan dunianya akan sangat membosankan dan terasa amatir untukku. Sama seperti dia yang hanya hidup denganku dan menemukan betapa kelam dan gelapnya kehidupanku. Ada kata yang tepat gloomy. Tapi bersamanya dengan cara yang seperti kami rasakan dan kami lakukan sekarang, aku nyaman. Kenyamanan yang lain dari yang kurasakan dengan teman-teman atau bahkan keluargaku. Tapi apakah aku bisa tahan dengan kehidupannya dan semua pilihan-pilihannya? Aku tidak tahu. Kadang aku merasa dia begitu abai dengan semuanya. Tidak peduli pada apa pun.
Mungkin jika ditanya apakah aku mencintainya? Aku tidak tahu. Mungkin diam-diam aku tidak mencintainya. Atau bisa sebaliknya, diam-diam aku mencintainya. Tapi yang jelas dari segala kemungkinan, aku memilih mencintainya. So, pilih dan dan putuskan saja sendiri, apakah kami bahagia dan saling mencintai.
No comments:
Post a Comment