Whatever you want...

Friday, January 30, 2015

Supernova Gelombang: Sebuah Antara, Kisah Liminal

| 2 Comments
Pembacaanku atas KPBJ jaman kuliah dulu tidak terlalu menantang, baru kemudian akar membuatku gak bisa berhenti buat seri-seri selanjutnya. Jaman itu aku cuma bisa pinjem di temen-teman atau antri nunggu giliran di persewaan Buku di Jogja. Rasanaya sama kayak sewa film jaman itu, kudu berebut pesen sama yang jaga, kenal-kenal biar nama kita tercantum sebagai waiting list. Baru setelah sampai di Petir, dan menunggu bertahun-tahun sampai pada Partikel, dilanjut baca Gelombang, aku kemudian sadar bahwa the true gem is lies within the first of all: KPBJ.


Apa yang berbeda dari seri ini dibandingin yang lain? Cerita dalam seri ini menurutku lebih linear, paling mirip dengan partikel. Tetapi dengan pendekatan yang agak berbeda. Kalau Partikel berasa membawaku menelusur ruang dalam diriku dan bertanya-tanya tentang banyak hal termasuk membawa diriku sampai harus ambil waktu rihat seminggu dari segala macam kerjaan untuk menyusun peta spiritualitas. Dan jelas itu agak membuatku geregetan karena aku harus kejar-kejaran sama kerjaan, dan harus memilih salah satu pada akhirnya. Gelombang yang kutamatkan dalam sehari itu membuatku membaca sesuatu yang sangat ringan. Malah aku merasa berjarak lagi dengan Supernova. Supernova kali ini gak menyedotku masuk ke dunianya, tetapi kayak bikin aku nonton film. Adegannya tergambar dengan jelas, bahkan terlalu jelas.

Tidak jelek, sama sekali tidak. Memang kayak banyak orang bilang, bagian tengah agak ngebosenin. Tapi ketika aku membandingkan dengan Akar, Petir, dan Partikel, ada hal penting yang bikin perjalanan Alfa dari Jakarta sampai New York tetep bagian yang gak bisa dilewatin. Memang gak kasih banyak pengaruh buat cerita utama Supernova, tetapi membuat kita lebih connected sama si Alfa. Sejarah seseorang selalu menarik buatku. Aku membacanya bagian tengah itu seperti gimana Bodhi dengan pikirannya yang filosofis dan membuatku jatuh cinta kepadanya sejak pertama menceritakan kisah backpackernya, sama kayak gimana Elektra cerita dari dia yang kere sekere-kerenya sampai bisa bangun Elektra Pop, atau kisah perjalanan Zarah sejak dia di Inggris Raya. Semuanya memang gak terlalu kasih peran besar bagi plot utama. Tetapi come on! Tanpa cerita tentang Ferre dan Rana, KPBJ juga hanya sepotong cerita yang gak membuat kita tergila-gila sama seorang Diva. Justru karena bagian yang membosankan itulah kita kemudian jadi tahu bahwa tokoh kita ini gak main-main.

Membaca perjalanan hidup Alfa memang membuatku kayak nonton kebanyakan Film Hollywood. Artinya aku gak cuma bisa dapat itu dari seorang Dee. Aku bisa dapat itu dari banyak sekali sumber. Tapi apa lacur, demikianlah kisah hidup seorang Alfa. Kalau aku gak connected sama Alfa bisa diduga, karena Alfa memang bukan my piece of cake. He's completely in different part of world with me. Artinya sederhana, kalau aku hanya  membaca Gelombang sebagai novel yang berdiri sendiri, itu gak bakalan memukauku (tapi bukankah demikian halnya dengan KPBJ buatku?), tapi ketika menghubungkannya dengan serial ini sebagai sebuah kesatuan, kita harus mau terima bahwa usaha Dee buat menyeriusi tokoh-tokohnya dan membuat setiap tokoh berlatar berbeda sampai mereka ingat siapa diri mereka yang sejati, adalah sesuatu yang layak diapresiasi. Bolong-bolong di sana sini, come on ini fiksi, dan fiksi punya logika internalnya sendiri. Satu-satunya buku yang bisa membuatku terpukau andaikata tetap berdiri sendiri sebagai novel adalah Akar adan si botak Bodhi.

Lalu sampailah kita pada bagian inti Supernova Gelombang ini. Pacarku sampai nyindir-nyindir "Sialan kamu nyelingkuhin aku, kamu menduakan aku!" Dengan Alfa, tanyaku. Ya! Jawabnya dengan tegas disambut dengan stiker tawa di BBM. All I can say is this fifth book less spiritual than the other 4, or maybe too white and black. Kemunculan segitiga Infiltran, Sarvara, dan Peretas malah justru menjadikannya cheesy. Enggak jelek! Tapi ini berpotensi menjadikannya kisah superhero yang kehilangan warna dan nuansa betapa dalam dan kayanya khazanah spiritual (at least) philosophical yang sudah dibawa oleh serial Supernova ini. Tiba-tiba saja aku membacanya kayak si baik melawan si jahat. Walaupun bolak-balik Dee nulis bahwa kematian dan kehidupan itu dua sisi mata uang yang sama, bahwa baik dan jahat - katakanlah dengan munculnya pihak Infiltran dan Sarvara dalam diri Kalden, Ompu Togu Urat, Ronggut Parhutur, Kell, Ishtar, Pemba - itu tergantung dari mana kita memilih dan kita bisa berguna bagi keduanya, tetap tidak meyakinkanku bahwa semuanya Yin Yang seperti aku melihat seri sebelumnya. Nuansa Hero's Leadingnya justru semakin kental. Dan aku agak gak rela kalau ceritanya dibawa ke sana. Aku ingat bagaimana Hawking, spiritual Buddhism, nuansa Sansekerta kuno, yang banyak diacu tidak pernah meletakkan sesuatu sebagai hitam putih. Jika pun ada, penitikberatan pada proses hidup menjadi, memencar, memuai, berjalan selalu menjadi titik tekan yang labih daripada sekadar perjuangan melawan yang jahat. Semoga aku salah dan Dee akhirnya kembali pada nuansa hidup seperti tone yang dibawa KPBJ daripada perang antar galaksi seperti yang sempat kutangkap.

Tapi ini tidak kemudian menjadikan Infiltran, Sarvara, dan Peretas menjadi something bad. Layaknya aku gak pernah mengatakan bahwa pertarungan kelompok Frodo vs kelompok Sauron adalah buruk. Tetapi aku berharap untuk dunia Indonesia yang sudah kadung hitam putih ini, Supernova adalah serial scifi philosophical-spiritual yang gak jadi trivial aja. Karena aku membaca dengan penjelasan itu malah semuanya menjadi lagi-lagi lebih parsial. Dalam hal ini aku gak bisa membandingkan dengan Akar atau KPBJ, bandingkan saja dengan Partikel. Bagaimana tokoh Zarah yang mampu keluar dari pola in out menjadi tokoh yang mengatakan bahwa dunia luar dan dunia dalam diri tak pernah benar-benar terpisahkan. Macam konsep jagad gedhe dan jagad cilik dalam tradisi Jawa. Semuanya terhubung seperti jaring laba-laba, kausalitas adalah berlaku mutlak, jadi tidak pernah ada protagonis dan antagonis, tidak pernah ada malang dan mujur, yang ada adalah sebuah jalinan yang saling mengait. Dimensi adalah wadak, menipu di satu sisi, tetapi juga harus ada di sisi lain. Nuansa keberpihakan Dee tambah kelewat kentara di Gelombang ini.

Dalam bahasa tutur, aku berani bilang bagian awal adalah bagian paling memikat. Tokoh idamanku di sini tentu saja Nai Gomgom. Sebelum ada kemunculan Ronggut Parhutur, Nai Gomgom menjadi sosok misteri, bukan misterius. Dia tampak sebagai pusat dan penghubung bagi kesemuanya. Tapi ternyta Nai Gomgom lalu berteman dengan pihak yang baik, dan itu membuatku kesal, karena menjadikan misterinya hilang. Kita langsung tahu mana yang harus dipihak dengan sewenang-wenang. Aku jadi berasa kayak Miss Universe yang mengibar-ngibarkan World Peace ke mana pun aku pergi, di mana pun aku berada. Mitologi apa pun tak pernah seperti itu dalam agama-agama awal. Agama samawi yang demikian. Aku seperti melihat upaya Dee mengkanosisasi Alkitab di sini. Ini disortir sebagai yang benar, ini disortir sebagai yang salah, minimal patut untuk tidak diberpihaki. Nai Gomgom menjadi tidak menarik lagi, karena kehilangan daya magisnya, menjadi terlalu verbal. Tentu saja dalam hal ini aku bisa membaca nuansa pasar. Dan aku tahu bahwa memang Dee memang diam-diam punya target itu juga dalam serial ini. Dan entahlah kenapa ini bikin aku kesal, karena jadi kayak membaca Harry Potter atau Power Rangers. KPBJ setidaknya Akar cukup berani melepas itu, jika pun ada Dee berani bertaruh mati-matian, tapi di sini aku ngerasa pilihan dia cukup aman.

Tapi bahasa tutur Dee yang witty memang tidak bisa ditolak mampu membawaku sampai pada halaman terakhir. Bahasa ini menguat sejak Petir. Tapi aku sangat high respect sama Petir, karena Petir buatku seperti jebolan Teen Lit yang gak menye-menye. Tapi ketika membaca kisah Storm dan Koso, aku mulai merasa klise banget sih. Aku berharap Nicky bukan tokoh yang akan menyerah terhadap Ishtar dan akan punya peran besar dalam kehidupan Asko seorang Alfa, aku berharap dia punya peran lain selain sebagai orang yang tergila-gila sama Alfa, kalau tidak, maka Nicky sebenarnya tidak perlu ada tak apa-apa. Cukup ganti saja yang dilihat Alfa di Antararabhava bukan Nicky tapi dirinya sendiri, selesai. Semoga kemunculan Nicky di sana adalah petualangan Alfa selayak bagaimana Arwen yang berumur panjang memilih bersama Aragorn yang mortal dan bisa tua. Aku sudah kadung menaruh simpati pada Nicky.

Alfa adalah semacam tokoh yang just too good to be true. Really! Walaupun aku menemukan bagaimana usahanya yang luar biasa berat untuk hidupnya, tapi pada akhirnya selalu berakhir dengan kemujuran. Dia adalah Untung lawannya Si Donald, dia adalah Dekisugi bukan Nobita, dia adalah sang pria sempurna, the boring Prince Charming. Tidak ada tokoh Supernova lain yang seperti ini. Jika Diva bisa dikatakan demikian, setidaknya Diva tidak segamblang Alfa. Mungkin itu alasannya mengapa aku tetap jatuh cinta kepada Diva dan sama sekali tidak kepada Alfa. Diva tetap menyimpan misterinya. Aku senang ketika Bintang Jatuh mengatakan Ishtar yang awalnya digambarkan sebagai sosok Sarvara besar justru dikatakan Diva sebagai "Dia segalanya!" ketika Alfa bertanya tentang siapakah si Ishtar ini. Itu membalik lagi kondisi menjadi kosong-kosong, isi-isi. Tapi ketika balik lagi ke Kalden, semuanya menjadi serba trivial lagi. Sial!

Namun demikian, aku menikmati ketegangan hubungan Sarvara, Infiltran, dan Peretas di sini (walaupun dalam hati aku bolak-balik ngoceh, come on Supernova is more than that). Pertarungan Kalden dan Pemba menarik dan membuatku harus meninggalkan ding dung BBM pacarku (Sori, Sayang! Rasanya aku benar-benar sudah selingkuh, hahaha!). Dan aku masih  menanti realitas Asko dan dimensi apa yang akan diusung Dee dalam buku terakhir seri ini. Aku masih menantikan siapakah satu peretas yang belum muncul. Kita sudah sama-sama tahu tentang Gio, Bodhi, Elektra, Zarah, dan Alfa. Aku berharap tokoh perempuan yang bersinar seperti pualam itu bukan Diva, dugaanku bukan, karena dia bukan dari gugus itu, dia dari gugus sebelumnya. Aku menduga bahwa Diva inilah anomali dalam Supernova, bersama di kubunya ada Reuben dan Dimas. Kalau ternyata itu adalah Diva, aku akan kecewa tingkat Asko. Heil Diva! Diva dalam harapanku adalah serupa Galadriel. Aku membayangkan ending yang semuanya berangkulan, lalu mereka akan berhadapan dengan muka yang sok marah-marah, Diva bilang, "Kita kembali ke tugas masing-masing guys!" Dan semuanya tertawa bareng-bareng. Kell dan Ishtar jelas punya peran besar, aku tahu itu, tapi aku gak terlalu terpesona kepada mereka.

Pertanyaan yang memang masih menggantung besar adalah ... apakah Supernova itu? Kita tahu dari fisika bahwa Supernova adalah peristiwa lahir dan matinya sebuah semesta, bintang. Dan betapa ini mengingatkan kita pada puisi pembuka di Gelombang, "Dimensi yang tak terbilang dan tak terjelang/ Engkaulah ketunggalan sebelum meledaknya segala percabangan". Aku masih bertanya kenapa ada penyejajaran awal antara Supernova dan Diva si Bintang Jatuh. Memang gambaran bahwa Diva adalah Bintang Jatuh semakin lamat menjelang buku yang kelima ini, tapi ketika kita membaca buku yang pertama, harusnya Diva inilah sang bintang jatuh, atau serial ini hanya semacam opera sabun. Pertanyaan mengapa Diva, Sang Bintang jatuh pada buku pertama seolah berbicara mewakili Supernova, inilah yang menarik. Apakah semata karena konsep serial ini tak terbayangkan akan berkembang demikian dalam panggung benak seorang Dee ketika menuliskannya mula-mula? Aku harap tidak. Dan andaikata iya pun, harapanku Dee punya sebuah resolusi yang lebih mencengangkan.

So, kalau boleh  melepas Gelombang dari serial sebelumnya, buku ini seperti sebuah kisah antara, liminal. Seperti Antarabhava yang liminal, seperti lucid drean Alfa yang liminal. Gelombang menarik garis merah terang antara kemunculan tokoh-tokoh serupa Bodhi, Elektra, dan Zarah dengan jagad Supernova pada buku yang pertama. Tetapi pada saat yang sama Alfa adalah cerita sendiri, sang arsitek ini adalah kisah tersendiri bagi dirinya sendiri. Jawaban dari proses liminal ini masih tersimpan pada Intelegensia Embun Pagi.

Yang aku tahu serial Supernova ini membuktikan bahwa Dee bukan penulis malas, hal yang sempat kudugakan ketika aku membaca Madre, Perahu Kertas, Filosofi Kopi, dan Rectoverso. Dugaanku salah beriring dengan munculnya Partikel dan Gelombang. Dee masih hidup. So, Dee, bawa kami ke dalam keteguhan seorang Gio, kedalaman seorang Bodhi, kejutkan kami selayak Elektra, terus mencari seperti Zarah. Bangun dunia Supernova dengan kecerdasan too good to be truenya Alfa. Sampai kami tahu bahwa misteri seorang Diva tak sekadar trivial, misterinya tetap tak semuanya terkuak sampai pada masanya semuanya kembali memampat dan melahirkan Supernova berikutnya. Kami akan menunggu seperti pesan Firas sampai waktunya jawab itu terungkap. Terjawab dan tak tak terjawab pada saat yang sama. Mencinta dan putus asa pada saat yang sama. Terbuai dengan dimensi namun tetap waspada. Paradoks yang adalah daya terbesar namun alamiah dari sebuah semesta.

Aku ikut taruhan untuk Intelegensia Embun Pagi.

PS: Aku masih kasihan sama Gio, seorang seindah dia mestinya dapat buku sendiri. Hahaha!
Tags :

2 comments:

  1. Mas pernah baca ulang KPBJ? Dlm jarak wkt berapa lama? Gmana rasanya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. hai andiner, aku baca lagi KPBJ setelah baca gelombang, mencoba menerka-nerka hahaha
      aku akhirnya tahu bahwa KPBJ itu kunci untuk keseluruhannya. kebetulan aku belajar filsafat, salah satunya terkait bifurkasi chaos order, jadi begitu baca KPBJ lagi rasanya (lepas dari diksi) adalah capaian terbaik dee dalam tulisannya, tidak ada yang lebih baik dari itu setelahnya. tanpa mengatakan bahwa yang lain men-trivialize tokoh-tokohnya, baik seri supernova ataupun buku dee yang lain terasa begitu menye2 dibandingin KPBJ hahahaha
      just my opinion sih...

      Delete