Kulitnya putih, bersih seperti susu yang ditapis. Demikian juga dengan jemarinya, kuku-kukunya merah muda dan bertumbuh putih pada kelebihan pertumbuhannya. Dia tampak tak ingin memotongnya, menandakan bahwa ada yang dijaganya tidak berlebihan. Ada aroma yang lengkap ketika aku mendekatkan tubuhku pada kulitnya yang basah oleh keringat. Seperti wangi kayu, hutan, dan lumut yang diterpa pagi yang basah gerimis. Rambutnya hitam dipotong pendek, kaku seperti ijuk tetapi lembut ketika disentuh.
Dia tersenyum menunjukkan behel biru yang dengan nakal menyembunyikan gigi-giginya yang besar. Aku mendekatkan tanganku kepada pipinya sebelum dia menanyaiku, "Bersih gak?" Aku tak persis tahu, tapi kujawab saja bersih. Beberapa bekas jerawat muda memerahkan beberapa titik kecil di pipi dan dahinya. Lalu alisnya yang menyatu menyerupai jari-jari yang bertemu dalam doa.
"Kau menyebut namaku dalam setiap doamu." Aku tak mengerti karena dia menuliskan Sinyo di kertas yang kuletakkan di meja ketika perkenalan. "Siapa?" Dia tertawa jail dan tak hendak menjawab, tapi diucapkan juga kalimat yang tak benar-benar menjawab pertanyaanku, "Terserah kau memanggilku apa, senyamanmu saja."
Kami hanya diam sekian lama menatap matahari yang menundukkan dirinya pada malam. Bukankah ada yang seketika hilang ketika senja, semacam rasa gemerlap dan sentosa. Berganti dengan sepi yang lirih dan menyepi sepanjang ujung jari. Dia tahan menatap malam yang gegas menyergap. Tanpa suara. "Kau mirip dengan seorang yang kukenal." Kataku. Dia hanya tersenyum menghardik kalimatku yang berikutnya. Maka aku pun memilih diam dan menatapnya saja.
Tidak lama langit sudah menjadi gelap. Dan mataku menangkap kilatan yang lain. Ada yang berbeda tiba-tiba. Ketika aku menatapnya lebih dalam, aku melihat gambar itu terbayang dalam kedua coklat matanya. Sebuah masa yang tidak pernah terlalu mudah. Tentang sebuah kenangan yang tidak tuntas dihapusnya. Apakah yang kau pikirkan makhluk indah? Mengapa kau tidak membebaskan saja semuanya, bukankah kau bisa menarik napasmu dan seketika melepaskan semuanya dalam sekali embus. Tetapi mungkin sakit itu yang membangunnya menjadi begitu menantang. Melihatnya seperti melihat Semeru. Tangguh dan menyimpan terlalu banyak misteri bagi para pendaki. Semakin menjelajah semakin sesatlah kamu.
Kami bertatapan. Entahlah aku ingin menahan tatapan matanya cukup lama. Tapi dia seperti minyak yang mengalir. Licin dan hanya membias. "Aku boleh menciummu?" Tanyaku. Dia tidak menjawab iya namun juga tidak. Aku melepaskan sebuah sapuan lembut pada bibirnya yang merah. Aku baru melihat tahi lalat di atas hidung itu. Bukankah tahi lalat semacam itu pernah kukenal sebelumnya. Tapi entah di mana. Mungkin dalam kehidupanku yang sebelumnya. Tidak persis di tengah gigir hidungnya, agak ke kiri. Membuatnya justru tampak seimbang. Jangan-jangan seimbang memang tak pernah benar di tengah timbangan. Seimbang adalah sempurna ketika kau berdiri memincang tapi tetap merasa aman dan angin berayun sejuk di hatimu.
Maka aku mencium bibirnya. Lembut seperti daging buah kurma. Atau alpukat. Manis juga. Aku tersenyum, dia diam saja. Cukup sudah. Dia terlalu indah, dan makhluk seindah itu bukan takdirnya untuk dimiliki. "Selamat malam." Aku membisik. Dan aku meninggalkannya tanpa benar-benar mengenalnya.
"Amin!" Ujarnya. Aku menoleh. "Namaku." Aku tersenyum, dan kali ini dia pun sama. "Mau menemaniku berperahu sejenak?" Tanyaku.
Dia tersenyum menunjukkan behel biru yang dengan nakal menyembunyikan gigi-giginya yang besar. Aku mendekatkan tanganku kepada pipinya sebelum dia menanyaiku, "Bersih gak?" Aku tak persis tahu, tapi kujawab saja bersih. Beberapa bekas jerawat muda memerahkan beberapa titik kecil di pipi dan dahinya. Lalu alisnya yang menyatu menyerupai jari-jari yang bertemu dalam doa.
"Kau menyebut namaku dalam setiap doamu." Aku tak mengerti karena dia menuliskan Sinyo di kertas yang kuletakkan di meja ketika perkenalan. "Siapa?" Dia tertawa jail dan tak hendak menjawab, tapi diucapkan juga kalimat yang tak benar-benar menjawab pertanyaanku, "Terserah kau memanggilku apa, senyamanmu saja."
Kami hanya diam sekian lama menatap matahari yang menundukkan dirinya pada malam. Bukankah ada yang seketika hilang ketika senja, semacam rasa gemerlap dan sentosa. Berganti dengan sepi yang lirih dan menyepi sepanjang ujung jari. Dia tahan menatap malam yang gegas menyergap. Tanpa suara. "Kau mirip dengan seorang yang kukenal." Kataku. Dia hanya tersenyum menghardik kalimatku yang berikutnya. Maka aku pun memilih diam dan menatapnya saja.
Tidak lama langit sudah menjadi gelap. Dan mataku menangkap kilatan yang lain. Ada yang berbeda tiba-tiba. Ketika aku menatapnya lebih dalam, aku melihat gambar itu terbayang dalam kedua coklat matanya. Sebuah masa yang tidak pernah terlalu mudah. Tentang sebuah kenangan yang tidak tuntas dihapusnya. Apakah yang kau pikirkan makhluk indah? Mengapa kau tidak membebaskan saja semuanya, bukankah kau bisa menarik napasmu dan seketika melepaskan semuanya dalam sekali embus. Tetapi mungkin sakit itu yang membangunnya menjadi begitu menantang. Melihatnya seperti melihat Semeru. Tangguh dan menyimpan terlalu banyak misteri bagi para pendaki. Semakin menjelajah semakin sesatlah kamu.
Kami bertatapan. Entahlah aku ingin menahan tatapan matanya cukup lama. Tapi dia seperti minyak yang mengalir. Licin dan hanya membias. "Aku boleh menciummu?" Tanyaku. Dia tidak menjawab iya namun juga tidak. Aku melepaskan sebuah sapuan lembut pada bibirnya yang merah. Aku baru melihat tahi lalat di atas hidung itu. Bukankah tahi lalat semacam itu pernah kukenal sebelumnya. Tapi entah di mana. Mungkin dalam kehidupanku yang sebelumnya. Tidak persis di tengah gigir hidungnya, agak ke kiri. Membuatnya justru tampak seimbang. Jangan-jangan seimbang memang tak pernah benar di tengah timbangan. Seimbang adalah sempurna ketika kau berdiri memincang tapi tetap merasa aman dan angin berayun sejuk di hatimu.
Maka aku mencium bibirnya. Lembut seperti daging buah kurma. Atau alpukat. Manis juga. Aku tersenyum, dia diam saja. Cukup sudah. Dia terlalu indah, dan makhluk seindah itu bukan takdirnya untuk dimiliki. "Selamat malam." Aku membisik. Dan aku meninggalkannya tanpa benar-benar mengenalnya.
"Amin!" Ujarnya. Aku menoleh. "Namaku." Aku tersenyum, dan kali ini dia pun sama. "Mau menemaniku berperahu sejenak?" Tanyaku.
No comments:
Post a Comment