Siapa menciptakan siapa? Pertanyaan itu tak kunjung putus. Aku tidak yakin benar bahwa kata menciptakan sebenarnya cukep relevan. Jangan-jangan menemukan saja.
Proyek besar agama bertarung habis-habisan dengan ide satu ini. Tuhan adalah entitas yang kemudian menjadi sesuatu yang sangat mengemuka dalam perihal ada dan mengada. Bahkan menyebut Tuhan sebagai entitas akan memunculkan gegar pada banyak orang. Causa prima telah menjadi pedoman agama samawi yang merajalela sepenjuru jagad raya. Entitas membatasi dirinya pada wujud, konon demikian, tapi benarkah demikian? Sejak abstraksi pun sebenarnya adalah entitas?
Kematerian telah merajalela pada dimensi tiga manusia. Dimensi tiga menunjuk pada dirinya sendiri sebagai wujud, volume, ruang. Dan dengan demikian terciptalah sebuah pantulan dari materi secara aklamasi. Tidak perlu diragukan pertaruhan besar telah dilakukan manusia sejak penemuan hukum dan traktat-traktat mengenai benda fisik. Bukan salahnya, karena ilmu tak mungkin bisa membendung dirinya bertubian sejak manusia bertemu dengan tanya. Dan wujud dari kehidupan adalah pertanyaan.
Harusnya setiap orang belajar Fisika lebih banyak. Namun sayang di negara ini kita diperkenalkan dengan matematika sebagai horror. Sedemikian horror karena matematika lalu disejajarkan dengan banyak ilmu pengetahuan lain tidak salah, tetapi bertumpukan tak keruan. Menegasi bahwa satu sama lain justru spesial karena jejalannya yang membosankan.
Jika semua ilmu pengetahuan digabungkan menjadi satu dan tidak kaku, mungkin pada saat itulah kita akan bertemu dengan sang pengada. Atau setidaknya sang ada. Tapi bodohnya ilmu pengetahuan sendiri kerap membunuh satu sama lain. Seperti perang yang sibuk mencari kuasa. Akhirnya permainan yang muncul adalah serba saling memusnahkan. Menghancurkan berkeping-keping homo homini deus est. Atau andaikata demikian maka cuma dalam kerangka yang sangat partikularis: aku.
Jagad gedhe selalu berproyeksi sepadan dengan jagad alit. Tetapi sejak manusia saling memakan, maka pertanyaan siapa mencipta siapa semakin tertutup jalannya. Manusia bela membela, dan yang mereka bela adalah sebuah konstruk yang keterlaluan malas. Sayangnya itu adalah tuhan bagi mereka. Aku rasa mereka sedang berkata aku adalah tuhan. Itu saja.
Sebuah kesadaran besar dalam sebuah tradisi Jawa yang thuk gathuk, atau agama alam yang sangat sinkretis adalah keterbukaan. Ini yang tidak dimiliki oleh agama-agama dogma yang mementingkan halal, suci, dan murni. Mereka mendikotomisasikan semua yang berbau gelap dan nadir. Semua arahnya ke atas, ke langit, dan langit yang tak terjangkau seolah lebih berbudaya daripada bumi yang dipijak. Ini akal-akalan bulus saja. Karena sebenarnya peribahasa "dalamnya laut bisa diduga" adalah sebuah kebohongan besar orang sok pintar yang super malas. Orang yang tahu dalamnya laut, percayalah akan tahu dalamnya hati. Tapi orang sudah kadung menjutifikasi demi normal dan rasa aman. Ya sudah.
Ambisi menjadi rentan kalau sudah begini. Manusia dilarang punya ambisi oleh agama dogma. Mereka benar-benar tidak menghargai proses menjadi dan menuju. Mereka tahunya lompat ke hasil. Jangan kaget kalau orang-orang semacam itu penting banget bertanya kepada anak mereka, "Nilaimu berapa, Le? Nduk?" Sambil berani pasang badan membela angka 9 lebih baik daripada 4 atau 5.
Tidak salah! Aku berani berkata tidak salah! Tapi tidak pernah akan lengkap. Dan jika itu yang terjadi maka semuanya akan menjerang air yang tak juga kunjung matang. Dan mereka akan menunggu dengan sakit hati dan kesepian akut.
Proyek besar agama bertarung habis-habisan dengan ide satu ini. Tuhan adalah entitas yang kemudian menjadi sesuatu yang sangat mengemuka dalam perihal ada dan mengada. Bahkan menyebut Tuhan sebagai entitas akan memunculkan gegar pada banyak orang. Causa prima telah menjadi pedoman agama samawi yang merajalela sepenjuru jagad raya. Entitas membatasi dirinya pada wujud, konon demikian, tapi benarkah demikian? Sejak abstraksi pun sebenarnya adalah entitas?
Kematerian telah merajalela pada dimensi tiga manusia. Dimensi tiga menunjuk pada dirinya sendiri sebagai wujud, volume, ruang. Dan dengan demikian terciptalah sebuah pantulan dari materi secara aklamasi. Tidak perlu diragukan pertaruhan besar telah dilakukan manusia sejak penemuan hukum dan traktat-traktat mengenai benda fisik. Bukan salahnya, karena ilmu tak mungkin bisa membendung dirinya bertubian sejak manusia bertemu dengan tanya. Dan wujud dari kehidupan adalah pertanyaan.
Harusnya setiap orang belajar Fisika lebih banyak. Namun sayang di negara ini kita diperkenalkan dengan matematika sebagai horror. Sedemikian horror karena matematika lalu disejajarkan dengan banyak ilmu pengetahuan lain tidak salah, tetapi bertumpukan tak keruan. Menegasi bahwa satu sama lain justru spesial karena jejalannya yang membosankan.
Jika semua ilmu pengetahuan digabungkan menjadi satu dan tidak kaku, mungkin pada saat itulah kita akan bertemu dengan sang pengada. Atau setidaknya sang ada. Tapi bodohnya ilmu pengetahuan sendiri kerap membunuh satu sama lain. Seperti perang yang sibuk mencari kuasa. Akhirnya permainan yang muncul adalah serba saling memusnahkan. Menghancurkan berkeping-keping homo homini deus est. Atau andaikata demikian maka cuma dalam kerangka yang sangat partikularis: aku.
Jagad gedhe selalu berproyeksi sepadan dengan jagad alit. Tetapi sejak manusia saling memakan, maka pertanyaan siapa mencipta siapa semakin tertutup jalannya. Manusia bela membela, dan yang mereka bela adalah sebuah konstruk yang keterlaluan malas. Sayangnya itu adalah tuhan bagi mereka. Aku rasa mereka sedang berkata aku adalah tuhan. Itu saja.
Sebuah kesadaran besar dalam sebuah tradisi Jawa yang thuk gathuk, atau agama alam yang sangat sinkretis adalah keterbukaan. Ini yang tidak dimiliki oleh agama-agama dogma yang mementingkan halal, suci, dan murni. Mereka mendikotomisasikan semua yang berbau gelap dan nadir. Semua arahnya ke atas, ke langit, dan langit yang tak terjangkau seolah lebih berbudaya daripada bumi yang dipijak. Ini akal-akalan bulus saja. Karena sebenarnya peribahasa "dalamnya laut bisa diduga" adalah sebuah kebohongan besar orang sok pintar yang super malas. Orang yang tahu dalamnya laut, percayalah akan tahu dalamnya hati. Tapi orang sudah kadung menjutifikasi demi normal dan rasa aman. Ya sudah.
Ambisi menjadi rentan kalau sudah begini. Manusia dilarang punya ambisi oleh agama dogma. Mereka benar-benar tidak menghargai proses menjadi dan menuju. Mereka tahunya lompat ke hasil. Jangan kaget kalau orang-orang semacam itu penting banget bertanya kepada anak mereka, "Nilaimu berapa, Le? Nduk?" Sambil berani pasang badan membela angka 9 lebih baik daripada 4 atau 5.
Tidak salah! Aku berani berkata tidak salah! Tapi tidak pernah akan lengkap. Dan jika itu yang terjadi maka semuanya akan menjerang air yang tak juga kunjung matang. Dan mereka akan menunggu dengan sakit hati dan kesepian akut.
No comments:
Post a Comment