Sang pencinta hanya akan mencintai seumur hidupnya. Dan kesempurnaan baginya adalah mencintai. Entah dia akan dicintai entah tidak. Demikianlah sang pencinta memenuhi takdirnya. That was I thinking.
KOTAK
Kita akan senang menyaksikan segala sesuatu berada dalam kotak yang tepat. Atau katakanlah tepat sesuai klasifikasinya. Seperti halnya kerbau tak akan kita masukkan dalam satu kotak yang sama dengan suplir atau pakis haji.
Hubungan pun demikian. Kita menyebutnya keluarga, sahabat, kawan, pacar, suami, istri, musuh, musuh dalam selimut. Dan ketika tatanan itu rapi dan sahih maka sehatlah jagad raya. Semua baik-baik saja, semua bahagia.
Tapi lalu ada anomali. Dan siapa yang pernah siap dengan itu? Siapapun dugaanku hanya menyiapkan diri terhadap anomali dalam betas sadarnya, tidak lebih dan tidak kurang. Penolakan dan pertahanan diri adalah senjata pertama makhluk hidup atas apa yang dianggapnya serangan. Dan demikianlah dunia bertahan dalam kancah survival of the fittest. Life is always about how fit you are, and how you try to fit.
Anomali mengacak-acak tatanan, memindah perihal satu ke kotak yang lain. Bahkan memecah kotak dengan sewenang-wenang. Bagaimana mungkin seorang pria dan perempuan duduk bersama di suatu kafe dengan bergenggaman tangan, berpandangan dengan hangat, dan mereka bukan kekasih? Tapi demikianlah anomali memberikan derajat pada dirinya sendiri. Anomali adalah kerjaan setan, kata nenek-nenek pada masa Saur Sepuh.
Lalu mitos. Kita mulai tidak lagi mempercayai Tuhan seperti dulu. Kita lebih senang bersahabat dekat daripada merengkuh ketakutan. Maka Tuhan tak lagi penting, jika penting pun maka dia sahabat setia. Mitos baru itu menjejali pikiran kita dengan tenang lewat alam yang tidak kita sadari. Kita nyaman dengannya karena dia berhasil menyentuh sisi terdalam kemanusiaan kita. Bahwa kita lemah dan gagal, bahwa kita sendirian dan kesepian. Dan Tuhan tak pernah sungguh-sungguh ada. Kita butuh sesuatu yang lebih nyata daripada sekadar kesan. Kita butuh bukti, dan fisik.
Entahlah mengapa orang masih berjuang untuk kesetaraan? Lalu untuk perdamaian? Lalu untuk para ODHA, para LGBT, para perempuan yang menerima kekerasan, para suku tertinggal, untuk agama. Bukankah semua akan berlalu, dan sejarah membuktikan bahwa cukuplah kita tenang, semua akan baik-baik saja. Bukankah demikian cerita yang menjejali kita dalam refleksi diri yang jujur ajur.
SANG PECINTA
Sang pecinta mencintai tak kunjung putus. Selayak matahari, selayak mawar di tengah hutan, seperti nenek bijak yang tak membagi-bagi cintanya dengan sembrono. Semua ditakarnya dengan seksama, dan batasnya adalah keseimbangan.
Kadang mereka serupa film-film Disney-Pixar yang tak mau memberikan tema yang susah payah untuk dikunyah. Tapi kadang mereka seperti Boxtroll, The Hours, The Interstellar yang mengajar para yang dicintai untuk menungguh sampai mereka benar-benar mengerti, dan kadang ketika waktunya tiba bagi mereka untuk mengerti, itu pun tak pernah tuntas. Film Hollywood dan Eropa kadang memang berada dalam tone yang sama sekali berbeda. TIdak banyak film Hollywood yang berani dagangan dengan mengangkan sesuatu yang amoral dan tidak dalam logika umum.
Ah aku lapar, dan tampaknya nasiku sudah matang.
Aku dulu pernah iri dengan orang-orang yang sangat organik. Menemukan bahwa diriku tak pernah sungguh-sungguh melampaui batas. Semua hal dalam hidupku berjalan baik-baik saja. Selalu dalam kotak dan koridor, "Mr Happy" "Mr. Good" "Mr. Peaceful" bersama dengan itu "Mr. Loser" Orang yang selalu kehilangan dan akan tetap begitu. Selalu akan di posisi kedua ketiga dan kelima. Jika berada di posisi pertama, ternyata aku sedang berada di tempat yang salah.
Lalu aku ingin keluar dari semua gelar tidak berbobot itu. Menuju puncak. Tidak pernah benar-benar puncak, karena modalku tak pernah cukup. Aku ditakdirkan tidak berjalan seiring dengan mitos jaman, yang putih, yang indah, yang pintar, yang bijaksana, yang menghasilkan, yang apa pun. Tapi lumayan lah.
Aku yang dulu percaya ada cinta, tak lagi benar-benar mempercayainya. Lalu aku mengacaukan apa yang ada. Dan sial! Aku ternyata masih manusia yang punya wadak. Wadak ini membatasiku untuk terbang, untuk menerobos tembok, dan ternyata kotak itu masih sama.
to part 2
KOTAK
Kita akan senang menyaksikan segala sesuatu berada dalam kotak yang tepat. Atau katakanlah tepat sesuai klasifikasinya. Seperti halnya kerbau tak akan kita masukkan dalam satu kotak yang sama dengan suplir atau pakis haji.
Hubungan pun demikian. Kita menyebutnya keluarga, sahabat, kawan, pacar, suami, istri, musuh, musuh dalam selimut. Dan ketika tatanan itu rapi dan sahih maka sehatlah jagad raya. Semua baik-baik saja, semua bahagia.
Tapi lalu ada anomali. Dan siapa yang pernah siap dengan itu? Siapapun dugaanku hanya menyiapkan diri terhadap anomali dalam betas sadarnya, tidak lebih dan tidak kurang. Penolakan dan pertahanan diri adalah senjata pertama makhluk hidup atas apa yang dianggapnya serangan. Dan demikianlah dunia bertahan dalam kancah survival of the fittest. Life is always about how fit you are, and how you try to fit.
Anomali mengacak-acak tatanan, memindah perihal satu ke kotak yang lain. Bahkan memecah kotak dengan sewenang-wenang. Bagaimana mungkin seorang pria dan perempuan duduk bersama di suatu kafe dengan bergenggaman tangan, berpandangan dengan hangat, dan mereka bukan kekasih? Tapi demikianlah anomali memberikan derajat pada dirinya sendiri. Anomali adalah kerjaan setan, kata nenek-nenek pada masa Saur Sepuh.
Lalu mitos. Kita mulai tidak lagi mempercayai Tuhan seperti dulu. Kita lebih senang bersahabat dekat daripada merengkuh ketakutan. Maka Tuhan tak lagi penting, jika penting pun maka dia sahabat setia. Mitos baru itu menjejali pikiran kita dengan tenang lewat alam yang tidak kita sadari. Kita nyaman dengannya karena dia berhasil menyentuh sisi terdalam kemanusiaan kita. Bahwa kita lemah dan gagal, bahwa kita sendirian dan kesepian. Dan Tuhan tak pernah sungguh-sungguh ada. Kita butuh sesuatu yang lebih nyata daripada sekadar kesan. Kita butuh bukti, dan fisik.
Entahlah mengapa orang masih berjuang untuk kesetaraan? Lalu untuk perdamaian? Lalu untuk para ODHA, para LGBT, para perempuan yang menerima kekerasan, para suku tertinggal, untuk agama. Bukankah semua akan berlalu, dan sejarah membuktikan bahwa cukuplah kita tenang, semua akan baik-baik saja. Bukankah demikian cerita yang menjejali kita dalam refleksi diri yang jujur ajur.
SANG PECINTA
Sang pecinta mencintai tak kunjung putus. Selayak matahari, selayak mawar di tengah hutan, seperti nenek bijak yang tak membagi-bagi cintanya dengan sembrono. Semua ditakarnya dengan seksama, dan batasnya adalah keseimbangan.
Kadang mereka serupa film-film Disney-Pixar yang tak mau memberikan tema yang susah payah untuk dikunyah. Tapi kadang mereka seperti Boxtroll, The Hours, The Interstellar yang mengajar para yang dicintai untuk menungguh sampai mereka benar-benar mengerti, dan kadang ketika waktunya tiba bagi mereka untuk mengerti, itu pun tak pernah tuntas. Film Hollywood dan Eropa kadang memang berada dalam tone yang sama sekali berbeda. TIdak banyak film Hollywood yang berani dagangan dengan mengangkan sesuatu yang amoral dan tidak dalam logika umum.
Ah aku lapar, dan tampaknya nasiku sudah matang.
Aku dulu pernah iri dengan orang-orang yang sangat organik. Menemukan bahwa diriku tak pernah sungguh-sungguh melampaui batas. Semua hal dalam hidupku berjalan baik-baik saja. Selalu dalam kotak dan koridor, "Mr Happy" "Mr. Good" "Mr. Peaceful" bersama dengan itu "Mr. Loser" Orang yang selalu kehilangan dan akan tetap begitu. Selalu akan di posisi kedua ketiga dan kelima. Jika berada di posisi pertama, ternyata aku sedang berada di tempat yang salah.
Lalu aku ingin keluar dari semua gelar tidak berbobot itu. Menuju puncak. Tidak pernah benar-benar puncak, karena modalku tak pernah cukup. Aku ditakdirkan tidak berjalan seiring dengan mitos jaman, yang putih, yang indah, yang pintar, yang bijaksana, yang menghasilkan, yang apa pun. Tapi lumayan lah.
Aku yang dulu percaya ada cinta, tak lagi benar-benar mempercayainya. Lalu aku mengacaukan apa yang ada. Dan sial! Aku ternyata masih manusia yang punya wadak. Wadak ini membatasiku untuk terbang, untuk menerobos tembok, dan ternyata kotak itu masih sama.
to part 2
No comments:
Post a Comment