Whatever you want...

Friday, January 30, 2015

Catatan Pembuka

| No comment
Asal muasal kehidupan selalu menjadi misteri besar. Berbagai teori digaungkan, beberapa saling meminjam-mendukung, beberapa saling membunuh. Teori-teori ini bersaling-silang seperti jalinan jemuran atau kabel listrik melahirkan tradisi.

Tradisi satu berubah rupa menjadi tradisi lain. Selalu ada tren, dan dugaan kuatku adalah bahwa pencipta tren ini adalah para pemegang kekuasaan. Baik itu kekuasaan pribadi maupun kolektif. Hal ini tidak terkecuali terjadi dalam perihal religius. Atau paling sederhana, bahwa tren itu tidak bergerak pada dirinya sendiri, tetapi bahwa pergerakannya ditentukan oleh sebuah arus, yang mungkin sekali tidak kait-mengait dengan variabel yang terkandung di dalamnya. Tetapi sama sekali di luarnya.

Katakanlah sebuah masa menyedihkan 9112001. Apakah serta merta hal tersebut bernuansa religius, tampaknya tidak. Atau peristiwa penyebaran kekristenan di Maluku, apakah perihal itu semata karena keterikatan penduduk asli pada Kristen, mungkin sekali tidak. Lalu menghilangnya agama-agama lokal digantikan agama-agama samawi, bukankah itu juga tidak semata menceritakan tentang kebenaran, tetapi ekpansi dan pendudukan. Pada suatu masa tersebutlah peradaban Aztec, Maya, Inca di wilayah genting Amerika. Semuanya musnah seperti halnya peradaban Mesir Kuno, Sumeria, Babilonia, bahkan Romawi-Yunani pun tinggal puing dan cerita. Lalu orang mulai mengarang cerita akal-akalan bahwa Abraham beragama Islam, Kristen, atau Yahudi. Kekonyolan-kekonyolan semacam itu semata-mata untuk membungkus nilai dengan bungkam atas kepentingan pihak tertentu.

Lalu kisah para dedewa pun menyirna. Kisah para dedewa di seluruh dunia tidak bisa disangkal sangat antropomorfis. Para dedewa itu diceritakan layaknya manusia yang terbelenggu atau minimal terepresentasi dengan wadak. Perkembangan samawi terakhirlah yang membebaskan segala wadak itu. Apakah ini kemajuan atau kemunduran? Entahlah. Tapi yang  jelas perkembangan terakhir ini membuat dedewa, yang mereka sebut dengan Tuhan, semakin tidak terjamah. Tuhan ada di langit yang tidak terjamah, jauh dari manusia dan tidak terjamah. Yang jelas semua serba tidak terjamah.

Semakin tidak terjamah. Semakin abstrak, semakin serba benar, semakin serba keliru.

Dasar yang kemudian tersyariatkan adalah Kitab Suci. Kitab Suci menjadi penentu. Maka tak beranilah orang Kristen menyebut Allah sebagai Ibu, kecuali mereka sudah terasuki ajaran feminis, menyebut pun dengan malu-malu sambil lirik kanan kiri takur dilempari batu, minimal dirasani habis-habisan. Hanya orang  nekat yang berani menyebut dengan tidak lamat-lamat, hanya orang yang demikian yang berani lantang benderang. Selebihnya tunduk pada kebakuan ajaran. Tampaknya rasa takut kualat itu membuat orang jadi serba bingung, mau ke kanan dan ke kiri juga bingung.

Pilihannya dua. Yang pertama, kalau berani membangkang berarti ateis, kalau menyeberang berarti ateis. Kamu bukan kelompokku. Itu intinya yang pertama. Yang kedua adalah rehermeneutika. Tapi yang begini pun sebenarnya sama saja, tak berani benar-benar menyeberang. Ornag-orang baik dan membosankan biasanya ada di kelompok kedua. Maka agama tak pernah berkembang. Mandeg di titik kanonisasi kitab. Selebihnya hanya kembangan, tak pernah menjelma pola utama. Dan berkat itulah, terima kasih, tersebutlah Ahmadiyah, jemaat Eden, saksi Yehuwa, bahkan Mormon sebagai sesat, kafir, penghuni neraka. Selamat!


Atheis

Kata ini di Indonesia disempitkan sewenang-wenang. Ketikdakpercayaan pada the ultimate, yang abstrak serba benar serba keliru tadi, disejajarkan dengan ketikdasediaan menjadi bernilai. Apa-apaan ini! Dan yang demikian dituturkan siang malam, sehingga orang atheis menjadi terpaksa beragama KTP. Lalu mereka yang beragama KTP disalah-salahkan baik di masjid atau gereja. Sak karepe dhewe!

Atheis, bisa saja mengandung makna sebagai tidak bertuhan. Tapi bukan berarti bahwa mereka tidak spiritual. Kerinduan orang-orang Barat hari ini yang menjadikan mereka meneliti alien, jagad raya semesta dengan teori relativitas (ingat relativitas tak pernah menjadi hukum), bukankah sebuah pendekatan yang kurang lebih serupa dengan pengejaran manusia-manusia moralis beradab agamis terhadap sang realitas yang tak terjamah, Tuhan.

Jelas aku sadar bahwa aku sewenang-wenang. Dan seperti melanggar sebuah batas definisi. Tapi peduli kambing lah. Mereka yang mengatakan demikian sebenarnya sama sewenang-wenangnya. Buah pengetahuuan kuldi itu menjadikan manusia berpikir bebas. Tapi mereka tidak pernah mati, mereka hanya diusir dari Eden. Bersama dengan itu mereka menjadi tahu.

Kebodohan orang yang telah memakan buah ini adalah menjadi tinggi hati, seolah jagad raya bisa mereka bungkus bungkam dalam otak mereka yang hanya dua kepalan bogem. Sama-sama serakahnya dengan para pembela Tuhan yang berjihad dengan membunuh. Sama-sama sombong dan angkuh. Durhaka dengan takdir mereka yang tak lebih dari ruang dan waktu, yang keduanya tak bisa mereka jelajahi secara jangkep.

Memang pada akhirnya semuanya menuju pada pilihan. Tidak mudah tentu saja memilih dari sekian banyak kemungkinan, bahkan mungkin tidak terbatas. Tapi sudahlah. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang sederhana. Bahwa gelar atheis itu sewenang-wenang. Sama seperti gelar Kristen, Islam, Buddha, Hindu, sama sewenang-wenangnya.

Tidak mungkin memang membentuk sebuah teori untuk segala hal. Dan kesadaran bahwa semuanya sebatas teori memang mau tidak mau harus disertakan dengan rendah hati. Seperti seseorang yang membungkuk pada waktu melihat jajaran bintang Orion di langit, maka orang tahu di mana matahari akan terbenam. Uru-anna memang selalu berkejaran dengan Scorpio, dan demikianlah sebuah mitos pun terbentuk. Maka lebih dari pada kemampuan manusia mengendalikan alam semesta, alam semestalah yang justru bercerita banyak kepada manusia. Manusia hanya meneruskan atau menggaungkannya. Mengatakan kesalahan pada yang lain dengan menyebut diri sebagai yang benar adalah sebuah alamat keterlaluan.


Mitos

Menyebut mitos sebagai kebenaran adalah kegaduhan yang sama dengan menyebutnya sebagai semata kesalahan. Mitos adalah sebuah transisi, sama seperti ilmu pengetahuan. Tujuannya sama-sama persuasi, membuat orang menemukan dirinya dan orang lain di konstelasi semesta. Terutama dirinya. Sebagaimana energi, tidak ada yang bisa dibuang, tak ada yang bisa dimusnahkan. Demikian maka kita tahu bahwa manusia, seminder apa pun dirinya adalah penting  untuk kesatuan semesta. Namun energi tak dapat diciptakan, kemungkinan perjumpaan dan pergesekan dengan yang lain menjadikannya tidak lagi potensial tetapi beralih menjadi energi yang  lain. Maka kesombongan adalah tidur yang lelap.

Pola dasar mitos adalah naratif. Berbeda dengan science yang cenderung numerik. Atau jangan-jangan science pun adalah mitos dalam bentuknya yang paling terukur. Orang lain menyebutnya teks, sejarah, tetapi tanpaknya tidak pernah sekadar bunga tidur, seolah mengatakan bunga tidur itu lahir dari ketiadaan. Creatio Ex Nihilo adalah Deux Ex Machina terbesar dalam sejarah. Dan tanpa sadar manusia itu sendiri yang merekatkan label mesin pada dirinya sendiri.

Mitos menceritakan sebuah kemungkinan dan kepastian dengan tidak malu-malu, karena baginya terbentang luas segala jenis kepastian dan ketidakmungkinan. Termasuk percabangan dan versi yang boleh dipilih dengan sesuka hati, dimanfaatkan dengan bebas, atau didiamkan saja dan membiarkannya menerjang seperti gelombang pasang raksasa, dan tanpa disadari, sang pencari sudah larut di dalamnya.

Mitos terkuat dalam sejarah mungkin adalah kitab suci. Setidaknya sejarah dunia membuktikan bahwa mitos itu bisa digunakan untuk mengguncang segalanya, termasuk kemanusiaan. Kitab suci menjadi mitos yang paling banyak dibaca dan dicetak, paling banyak ditafsirkan dan paling banyak disalah artikan juga. Kitab suci membuat seseorang mampu merangkul sekaligus melempari seorang perempuan dengan batu.

Dunia dibangun dan bertahan dengan mitos demikian. Suku-suku di Jepang membangun cerita tentang Ikkyu San, Angra Mainyu dalam Zoroaster, Jenggala dengan Lembu Sora, Islam dengan Isra Miraj, Kristen dengan Yesus berjalan di atas air, Yahudi dengan penciptaan enam hari, Aztec dengan Matahari Kelima. Mitos-mitos itu diceritakan oleh dan untuk membentuk tatanan. Maka tidak mengherankan jika ritus sakral adalah sebuah kompleks pertama dari sebuah tatanan masyarakat.

Mitos cenderung menjurus pada daya ultimate di luar dirinya. Sebuah kesadaran bahwa ada sebuah energi yang menggerakkan kehidupan yang sampai batas tertentu belum mampu dengan sungguh-sungguh dimengerti oleh manusia. Dan atas itu dibentuklah sebuah personifikasi berupa sosok, abstraksi, tempat, situasi, yang membuat orang terseret dalam narasinya. Tapi demikianlah mitos membentuk dirinya menjadi kekuatan sendiri.

*

Ini perjalanan. Sama seperti jatuh cinta. Awalnya kita dibuat terpesona, lalu kita bertemu dengan masalah-masalah dan menjadi bosan dengannya. Kita begitu kesal hingga ingin bercerai. Dan sesudahnya kita memilih, lalu jalan dalam dalam pilihan itu. Ketika itu ujian baru benar-benar terjadi.
Tags :

No comments:

Post a Comment