Whatever you want...

Thursday, December 4, 2014

Tak Hendak Sendirian

| No comment
66:22 Sebab sama seperti langit yang baru dan bumi yang baru yang akan Kujadikan itu, tinggal tetap di hadapan-Ku, demikianlah firman TUHAN, demikianlah keturunanmu dan namamu akan tinggal tetap.
66:23 Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh umat manusia akan datang untuk sujud menyembah di hadapan-Ku, firman TUHAN.
66:24 Mereka akan keluar dan akan memandangi bangkai orang-orang yang telah memberontak kepada-Ku. Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam, maka semuanya akan menjadi kengerian bagi segala yang hidup.
Yesaya menutup kitabnya dengan dua kemungkinan. Yang satu kemungkinan di ayat 22-23, yang lainnya di ayat 24. Satu indah dan satu menyebabkan kengerian yang mendalam. Siapa yang tidak berharap akhir yang bahagia sebagaimana ayat 22-23? Dugaanku semua berharap ke sana. Bahkan mereka yang tidak menyukai Alkitab pun dan mereka yang enggan sujud menyembah di hadapanNya, dugaanku, menginginkan akhir yang, setidaknya, sesuai dengan dengan mimpi atau harapannyanya. Memang kadang akhir sebuah mimpi bukan sukacita a la konsensus pada umumnya, konvensional sebagaimana ayat 22 dan 23. Sebuah ending yang normal. Beberapa berharap sebuah ending yang sensasional, beberapa berharap ending yang fenomenal, memekakkan, atau bahkan satir. Tapi toh itu sesuai dengan mimpi dan harapan mereka juga. Jadi katakanlah demikian: bagaimana pun endingnya, orang berharap ending yang pas untuknya. 

Tapi benarkah bahwa orang berharap ending yang pas itu semata-mata untuk dirinya sendiri. Sebut saja, jika kita orang tua yang mendapat perkenanan TUHAN merasakan ending sebagiamana ayat 22-23, lalu melihat salah satu anaknya mengalami akhir sebagaimana ayat 24, apa ya orang tua akan tenang dan mengatakan dengan enteng, "Bahno! Salahe dewe!" Apa ya kalau misalnya seseorang hidupnya enak, lalu melihat anggota keluarganya mengalami ketidakenakan yang mendalam mereka akan mengatakan, "Sing penting aku enak! Urusanmu nek kowe nelangsa!" Percayalah setelah aku bertemu dengan banyak orang, tidak ada yang berharap demikian. Setiap orang berharap akhir yang bahagia untuk semua. 

Konon pasca perang panjang Baratayuda, Para Pandawa bersama Drupadi ditemani seekor anjing budug naik puncak Gunung Mahameru tempat bertemunya dunia dan Swargaloka. Satu per satu dari Pandawa mati demikian pula Drupadi. Yang tersisa di puncak gunung, satu-satunya yang selamat dari kematian itu adalah Yudistira. Bukan satu-satunya, karena anjing itu pun selamat. Yang lain terhukum oleh kesalahan masa lalu mereka. Yudistira disambut sang Batara untuk masuk ke dalam pintu gerbang Swargaloka. Tapi sebuah syarat diajukan, Yudistira boleh masuk ke dalam Swargaloka tapi anjing budug itu harus ditinggalkan di luar, kerena tidak suci. Yudistira mati-matian membela hak anjing yang setia itu untuk masuk Swargaloka bersamanya. Ketika sang Batara sama-sama bersikeras melarang anjing itu ikut serta, Yudistira membalas, "OK! Kalau anjing ini gak masuk, aku juga enggak!" Orang mungkin akan berkata, come on itu hanya anjing! Tidak ada yang 'hanya' anjing bagi Yudistira, yang ada adalah anjing yang setia. Ternyata itu ujian terakhir Yudistira di dunia. Anjing itu adalah jelmaan dewata lain, yang kembali kepada bentuk sebenarnya. Yudistira lolos ujian terakhir di dunia. Maka masuklah Yudistira ke Swargaloka. 

Masuk di sana dia bertemu dengan ruang makan yang serba indah, lebih daripada semua yang pernah disaksikannya. Tapi yang makan di Meja Makan Swargaloka itu hanyalah para Kurawa dan bala-balanya. Yudistira tentu bersukacita karena para Kurawa memenuhi Dharma mereka dan menikmati indahnya sorga. Tapi di mana para Pandawa? Ternyata Pandawa dan Drupadi tidak masuk sorga, mereka masuk neraka. Di sana mereka mengalami siksaan tiada tara. Yudistira bertanya, "Mengapa?" Dan sang Batara mengatakan "Sudah semestinya." Sang Batara mengajak Yudistira yang lolos ujian Dharma untuk makan bersama para Kurawa di sorga. Dan Yudistira mengatakan, "Tidak! Terima kasih!" Dia dan adik-adik dan istrinya menjalani semua perjalanan hidup bersama, jika memang hanya dia di sorga sedang adik-adik dan istrinya harus menderita di neraka, maka dia memilih neraka. Pada akhirnya kita pun tahu bahwa itulah ujian terakhir bagi sang sulung dari Pandawa itu. Dan kita tahu akhir dari semuanya adalah bahagia bagi semuanya.

Jika ada akhir yang diharapkan bagi semua, maka bahagia. Tapi bukan bahagia yang dinikmati sendirian. Kita tak hendak sendirian bukan hanya dalam dukacita tetapi juga dalam sukacita. Masak kita mau enak-enak dewe sedang yang lain menderita dan kita ketawa sekeras-kerasnya sambil mengatakan, "Kapokmu kapan le!" Tapi bagaimana dengan dua kemungkinan dalam penutup Yesaya. Bukankah setiap orang harus berurusan dengan konsekuensi mereka masing-masing? Ini benar, tapi ada kemungkinan yang lain. Tenan! Kemungkinan lain itu adalah untuk membawa setiap orang pada cara Dharma yang tepat bagi mereka masing-masing supaya akhirnya konsekuensi yang mereka rasakan adalah konsekuensi yang baik bagi semua. 

Kalau Bahasa Kristennya begini: Kita punya kok kesempatan untuk membawa yang salah pada yang benar biar nek enak, enaknya rame-rame. Jika yang salah diri kita, ayo bangun dan menjadi baik. Kalau yang keliru yang lain, ayo dibantu bangun dengan cinta, agar mereka bisa juga akhirnya merasakan enaknya. Tak ada yang hendak sendirian saja kok nyatanya. Kita semesta ini keluarga. Ketika keluarga kita menderita, kalau kita tertawa maka tempat kita adalah di rumah sakit jiwa. Maka saatnya membangun bersama, berjalan bersama, gandengan tangan. Jadi kalau ada yang jatuh bisa dibangunkan. Kalau ada yang lambat bisa digendong. Yang buta dituntun. Yang tidak bisa mendengar ditepuk dengan lembut. Yang tidak bisa merasa, diterapi akupuntur. Setan? Diajak sekalian. 

Lah nanti kan neraka kosong? Yo gak apa-apa. 
Tags :

No comments:

Post a Comment