Kelas 5 selalu kelas yang aneh. Sejak pertama aku masuk ke sekolah itu, kelas 5 selalu kelas yang jauh berbeda dari kelas yang lain. Kelas 5 adalah kelas para alien. Mereka bisa dengan tenang tidak membuat ramai bergerombol duduk di tikar yang diletakkan di belakang bangku mereka. Mereka lalu tiba-tiba saja mengagetkanku dengan mengatakan "Pak, boleh gak kelasnya kami hias?" beberapa anak sudah membawa gulungan kertas krep di tangan mereka. Lalu ketika aku meninggalkan mereka selama setengah jam, kelas itu sudah seperti kamar anak yang berulang tahun. Pertama kali aku datang ke sekolah ini, mereka menunjukkan kebun mereka, mereka menanaminya dengan jahe sampe pohon kersen. Aku bertanya kenapa pohon kersen ditanam, dan dengan santai mereka menjawab, "Buat dipanjat!" Belum lagi keajaiban yang lain.
Siang ini aku masuk ke kelas mereka untuk pelajaran agama dan matematika. Pelajaran agama selesai tuntas dengan dongeng kuno penciptaan dunia sampai pengusiran dari taman eden. Suksesnya karena enam dari delapan anak di kelas itu meletakkan kepala mereka di meja sambil menguap-nguap. Tapi hebatnya tidak ada yang tidak mendengarkan. Aku menjadi berasa seorang kakek tua yang dikerumuni cucu-cucunya. Dongeng selesai, giliran matematika. Aku memberikan 3 soal kepada mereka dari Tema 2 tentang prosentase. Dan terbukti kedelapan anak itu secara kompak mendapatkan nilai nol. Dan mereka bangga dengan itu!
Mereka tertawa bahagia sedang aku menabrakkan kepalaku di tembok menampakkan tanda-tanda stress, ketika tiba-tiba saja satu anak menggelar tikar di lantai. Apa-apaan ini? Siapa suruh menggelar tikar, pikirku. Tapi mereka asyik saja. Aku bingung mereka ini ngapain, pelajaran belum selesai. Satu anak menggelar tikar, tujuh yang lain bergabung. "Kalian ngapain?" Tanyaku. "Bikin lagu, Pak!" Apa!!! Ini kelas apa ini! Dan aku tertawa sekeras-kerasnya menertawakan kegoblokanku. Atau entahlah aku menertawakan apa. Ternyata mereka menggubah lirik lagu Aku Bisa dari AFI Junior mengganti kata-kata "Kadang ku takut dan gugup, dan ku merasa oh tak sanggup" menjadikannya, "Kadang ku sedih dan kesal, melihat kelas yang kotor ini" Ini dia! Ini dia!
Selesai menggubah lagu buatan mereka, mereka bernyanyi. Baiklah sekarang kita ganti pelajaran Seni Budaya, begitu? Sampai mereka kemudian melipat tikar dan salah satu anak tanpa diperintahkan mengembalikan tikar ke kantor guru. Setelah itu ... mereka duduk di meja mereka masing-masing menungguku memberikan pelajaran berikutnya. Apa? Ini serius? Maka aku kembali mengajar mereka tentang prosentase. Aku mengatakan kepada mereka cara menghitung prosentase ketika Kowel tiba-tiba mengatakan, "Rasta!" Aku berbalik, "Apa Kowel?" "Gelangnya Pak Gideon rasta, merah hijau kuning." Bagaimana aku tidak terkejut, aku tidak tahu simptom sampai munculnya kata rasta itu tadi. Tidak ada angin dan hujan tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja. Melihat kebingunganku mereka tertawa. Mereka ini ngetes aku atau apakah?
Maka aku mau tidak mau mengatakan. "Kalian bukan dari Bumi!" Salah satu anak langsung berdiri danberjalan menyeret-nyeret. Aku rasa itu lebih mirip zombie daripada alien. Aku melanjutkan, "Kalian dari luar angkasa!" Dan Tian menjawabku dengan nada horror, "Alien!" "Cepat singkap jati diri kalian yang sebenarnya, jangan berpura-pura jadi manusia!" Dan mereka bersama-sama membuka tangan mereka seperti macan dan menghadapkannya kepadaku. "Aku tidak akan takut kepada kalian. Aku akan membuat kalian mengerti tentang pecahan dan prosentase!" Sahrul mengatakan, "Baiklah!" Dan mereka tertawa. Gila ini serius ya? Serius!
Aku lalu menjelaskan rumus cara menghitung pecahan sampai hanya tinggal Lovi dan Sofia yang memperhatikan, itu pun dengan wajah yang bingung, sisanya yang lain, ngobrol sendiri tidak jelas. Ruben adalah kepala suku di kelas itu, mereka lebih asyik mendengarkan Ruben daripadaku. Beberapa hari yang lalu dia bertengkar dengan anak kelas 4. Aku melihatnya dan memanggil semua anak kelas 4 dan 5. Kami mengadakan rapat bersama mendadak. "Ruben adalah pemimpin yang hebat! Tapi sayang Ruben selalu memimpin dengan muka sinis." Ruben lalu menyalahkan salah satu anak kelas 4. "Ruben! Ruben bisa menjadi pemimpin yang hebat. Yang memimpin semua teman kelas 5. Ruben bisa memimpin dengan gaya Ruben sekarang, dengan penuh kebencian. Tapi Ruben juga bisa memimpin dengan cara yang lain. Cobalah tersenyum." Tapi Ruben tidak tersenyum. "Orang yang memimpin dengan kebencian bisa saja menjadi jagoan. Tapi apa artinya seorang jagoan?" Aku menatap anak-anak di dua kelas itu. "Selalu ada pilihan! Manusia ini menang milih! Orang bisa milih menjadi jahat dan menghancurkan semuanya. Tapi orang bisa memilih juga memimpin dengan melayani panuh kasih. Tidak dengan marah. Tidak dengan kebencian, tapi dengan senyum yang tulus. Bukan senyum yang dibuat-buat. Cobalah tersenyum Ruben." Dan akhirnya dengan terpaksa dia tampak tersenyum. "Itu bukan senyum." Ujarku. Lalu dia tersenyum dengan sungguh-sungguh. "Cobalah memimpin dengan itu. Semua orang akan mengasihi Ruben sebagaimana Ruben mengasihi mereka. Sebagaimana Pak Gideon sayang sama Ruben. Pak Gideon loh sampai hari ini sayang dan percaya sungguh-sungguh kepada Ruben. Pak Gideon percaya Ruben bisa menjadi orang hebat! Tapi bukan orang hebat yang merusak dunia. Orang hebat yang membagikan cinta, dan setiap orang yang bertemu dengan Ruben berasa bertemu kawan lama. Bercanda dengan sukacita. Pak Gideon percaya itu." Tanpa aku duga dia menangis tiba-tiba. "Ruben sini!" Dia datang kepadaku dan tiba-tiba memelukku. "Tidak ada yang salah dengan mengasihi, tidak ada yang salah dengan senyuman." Dia memelukku dan menangis lebih keras, "Apapun yang terjadi, teman-teman dan Pak Gideon akan sayang sama Ruben. Tidak perlu malu untuk menjadi pemimpin yang memiliki kelemahan, menangis. Ruben tetap anak yang hebat. Pemimpin yang luar biasa." Lalu terjadilah salam-salaman akbar antara kelas 5 dan kelas 4.
Hari ini aku melihat sang pemimpin itu dikelilingi oleh yang lain. Tapi sayangnya dikelilingi untuk menghindarkan dari guru yang mengajar pecahan. Maka aku berteriak, "Kalian pernah makan pizza?" Beberapa anak berbalik kepadaku, ada yang mengatakan pernah ada yang megatakan belum. "Dadar telur?" Dan semuanya mengacungkan jari dang mengatakan, "Saya pernah! Saya pernah!" Dan aku melanjutkan, "Pecahan itu sama seperti makan dadar telur." Mereka mulai memperhatikan, Ruben paling bersemangat. "Kalau kalian menggoreng telur dan memakannya, berarti kalian makan berapa persen?" Dan serempak mereka menjawab 100 persen. "Kalau yang kalian makan cuma separuhnya?" Mereka pun menjawab "50 persen!" Lalu aku mulai mengambar dadar telur di papan tulis. Aku membaginya menjadi sepuluh bagian. Mereka tertawa-tertawa, Kalau dadar telur ini aku bagi sepuluh sama besar, berarti setiap bagian berapa persen?" Mereka menjawab "10 persen!" "Bagus!" Itu kalau dadar telur. Lah sekarang kita berbicara masalah uang saku untuk beli es koprornya Bu Ari waktu istirahat. Berapa harga es kopyor Bu Ari?" Mereka menjawab seribu. "Kalau kalian diberi uang saku sepuluh ribu, dan seribu untuk jajan es kopyor, berapa persen yang kalian habiskan?" Beberapa tampak bingung, beberapa tertawa, Sahrul menjawab, "10 persen!" dan aku mengacungkan jempolku kepadanya. Semuanya tiba-tiba mengangguk-angguk. "Saya tahu! Saya tahu!" "Baik kalau misalnya uang saku kalian lima ribu, dibelikan es kopyor satu seribuan, berapa persen itu!" Mereka lalu tertawa sambil menjawab "Dua puluh persen!" Aku menggeleng tidak percaya. Aku kemudian tahu bahwa kelas ini bukan kelas teori, kelas ini bukan kelas rumus. Ini adalah kelas logika, kelas ini adalah kelas para dewa kecil yang belajar dari alam, bukan dari rumus pitagoras, tapi langsung dari Pitagoras. Maka aku mengatakan kepada mereka, "Besok setiap anak membawa telur satu! Besok pak Gideon akan membawa wajan dan kompor, kita akan belajar pecahan dengan telur dadar!" Dan mereka bersorak. Mereka lalu bertanya apakah telur mentah atau matang, telur kecil atau besar. Aku mengatakan sembarang sing penting mentah. Nanti habis digoreng dan dipakai belajar, kita makan bareng-bareng. Dan aku bisa melihat mata para alien itu berbinar.
Kami menutup hari itu dengan doa, aku berdoa. "Tuhan! Terima kasih untuk hari ini. Untuk belajar kami. Para alien dari luar angkasa ini telah belajar dengan baik. Mereka menampakkan diri mereka yang sesungguhnya." Beberapa anak aku dengar cekikikan. "Bantulah mereka untuk menjadi alien yang hebat, yang mau terus belajar. Agar dunia ini dipenuhi alien-alien luar biasa, seperti mereka. Amin!" Setelah berdoa semua tertawa keras-keras. Keluar dari kelas sambil bernyanyi, "Kadang ku sedih dan kesal, melihat kelas yang kotor ini!" Tapi aku punya lagu sendiri, dalam hati aku bernyanyi, "Today I have walked with my hand in God!" Benar! It's a wonderful day! He has made!
No comments:
Post a Comment