Aku mulai mengajar hari ini.
Sekolah itu memiliki 44 siswa, 5 orang guru, dan seorang kepala sekolah. Ruang kelas kami serupa ruang kelas laskar pelangi, dengan bocor dan lantai seadanya. lemari rusak, buku terbatas, dan tidak ada hiasan apa pun di dalam kelas. Tetapi anak-anak kami juga adalah laskar pelangi itu sendiri. Aku bersyukur ada 9 anak kelas 1, artinya ada harapan sekolah ini akan terus berlanjut sampai ke depan. Dan beberapa di antara mereka adalah anak-anak Islam. Mereka anak-anak yang bersemangat, yang tidak khawatir untuk memotong pembicaraan guru ketika guru mengajar, tidak khawatir untuk menunjukkan bahwa mereka mengantuk. Tidak khawatir untuk terus masuk tepat waktu.
Dari 5 orang guru, 2 di antaranya adalah PNS yang diperbantukan ke sana. Mereka adalah guru senior yang ada di sana. Keduanya bukan orang Kristen sekarang, tetapi mereka setia mendampingi anak-anak itu. Tiga lainnya adalah guru tidak tetap. Dari tiga yang terakhir, seorang guru adalah warga jemaat GKJW Ngoro, sedangkan 2 yang lain adalah muslimah.
Kami memiliki 4 ruangan dan sebuah lapangan. Dua ruangan itu digunakan untuk kelas 5 dan kelas 6. Sedangkan dua ruangan yang lain terpaksa harus disekat, sebuah ruangan untuk kelas 3 dan 4, sebuah ruangan lain untuk ruang guru dan kelas 1. Ruang kelas 1 bergantian dengan kelas 2, selain karena kami tidak memiliki ruangan yang lain, tetapi juga karena tidak ada lagi guru yang mengajar kelas 2. Akhirnya guru kelas 1 merangkap menjadi guru kelas 2 juga, anak-anak kelas 2 masuk siang.
Dari yayasan tidak ada dana untuk pengelolaan YBPK kecuali seratusan ru tanah yang dikelola untuk kebutuhan sekolah. Hasilnya tidak lebih dari 2 juta setahun, apalagi ketika musim kering berkepanjangan seperti ini. Karena tidak ada sumber dana yang lain, maka guru-guru di sini dibayar dari BOS. Guru yang PNS mencukupkan diri mereka dengan gaji PNS mereka. Sedangkan 3 guru yang lain digaji 125, 130, dan 150 ribu sebulan. Angka yang bahkan tidak cukup untuk membeli beras, pulsa, dan bensin dalam sebulan.
Tentu saja mudah megatakan, "Mereka benar-benar pejuang sejati!", "Mereka pahlawan!" Tapi bukankah pahlawan tanpa tanda jasa itu sesuatu yang tidak adil untuk pahlawan itu sendiri. Mereka dituntut sama seperti para PNS, berangkat jam 7 pagi dan pulang jam 2 siang. Mereka juga dituntut untuk mengajar sebaik mungkin, mereka dituntut untuk menumbuhkan generasi cerdas bagi masa depan. Dengan 150 ribu sebulan, dan berkeluarga, jelas para pahlawan ini tidak sekadar membutuhkan pujian, mereka harus didukung dengan sekuat tenaga.
Selama ini untuk mendukung dan menjamin hidup mereka, mereka nyambi pekerjaan yang lain, berjualan di sekolah, nyales, menjual batik, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan tanpa meninggalkan KBM. Tidakkah mereka hebat? Jika pada akhirnya mereka kadang harus pulang sebelum jam 2, kadang jam setengah 1 atau jam 1, apakah itu salah? Salah jika dilihat dari tanggungjawab mereka sampai jam 2 siang sebagai guru, tetapi dari luasan yang lebih dari itu, yang kita sebut hidup? Mereka tidak akan cukup jika hanya mengandalkan dari sekolah. Apa artinya 150 ribu di tengah rencana kenaikan BBM bulan depan?
Dalam dua tahun ini hanya sekali sekolah ini mengadakan upacara. Bukan apa-apa, tetapi karena para guru ini tidak punya kesempatan untuk melatih anak-anak ini sepulang sekolah. Aku berharap semoga aku bisa melatih mereka upacara mulai minggu ini. Tidak ada ekstra kurikuiler, karena tidak ada dana untuk itu. Sekarang diwajibkan adanya pramuka, tentu itu bukan berita sukacita, tetapi menambah tanggungjawab lain yang terlalu berat bagi mereka. Mereka adalah penanggung keluarga, jika mereka harus meninggalkan sampingan mereka, bagaimana dengan keluarga mereka. Salah seorang guru bahkan mengatakan kepadaku, seandainya bujang pun, apakah pacaran itu tidak membutuhkan biaya? Andai saja para guru ini ditawari oleh sekolah lain yang lebih menjamin hidup mereka, tentu saja tidak salah jika mereka melepaskan sekolah ini untuk tempat baru tersebut. Karena mereka harus hidup.
Tapi aku melihat mereka yang tidak menyerah. Para pahlawan ini bukan generasi tempe. Mereka adalah generasi yang memiliki mimpi untuk hidup mereka, tetapi juga memiliki mimpi untuk pendidikan bagi anak-anak bangsa ini. Sekarang tinggal mencari teman bagi mereka untuk berjuang. Mungkin mencarikan dukungan untuk mereka supaya mereka bisa hidup dan menghidupi YBPK. Yang jelas kami akan berjuang.
Sekolah itu memiliki 44 siswa, 5 orang guru, dan seorang kepala sekolah. Ruang kelas kami serupa ruang kelas laskar pelangi, dengan bocor dan lantai seadanya. lemari rusak, buku terbatas, dan tidak ada hiasan apa pun di dalam kelas. Tetapi anak-anak kami juga adalah laskar pelangi itu sendiri. Aku bersyukur ada 9 anak kelas 1, artinya ada harapan sekolah ini akan terus berlanjut sampai ke depan. Dan beberapa di antara mereka adalah anak-anak Islam. Mereka anak-anak yang bersemangat, yang tidak khawatir untuk memotong pembicaraan guru ketika guru mengajar, tidak khawatir untuk menunjukkan bahwa mereka mengantuk. Tidak khawatir untuk terus masuk tepat waktu.
Dari 5 orang guru, 2 di antaranya adalah PNS yang diperbantukan ke sana. Mereka adalah guru senior yang ada di sana. Keduanya bukan orang Kristen sekarang, tetapi mereka setia mendampingi anak-anak itu. Tiga lainnya adalah guru tidak tetap. Dari tiga yang terakhir, seorang guru adalah warga jemaat GKJW Ngoro, sedangkan 2 yang lain adalah muslimah.
Kami memiliki 4 ruangan dan sebuah lapangan. Dua ruangan itu digunakan untuk kelas 5 dan kelas 6. Sedangkan dua ruangan yang lain terpaksa harus disekat, sebuah ruangan untuk kelas 3 dan 4, sebuah ruangan lain untuk ruang guru dan kelas 1. Ruang kelas 1 bergantian dengan kelas 2, selain karena kami tidak memiliki ruangan yang lain, tetapi juga karena tidak ada lagi guru yang mengajar kelas 2. Akhirnya guru kelas 1 merangkap menjadi guru kelas 2 juga, anak-anak kelas 2 masuk siang.
Dari yayasan tidak ada dana untuk pengelolaan YBPK kecuali seratusan ru tanah yang dikelola untuk kebutuhan sekolah. Hasilnya tidak lebih dari 2 juta setahun, apalagi ketika musim kering berkepanjangan seperti ini. Karena tidak ada sumber dana yang lain, maka guru-guru di sini dibayar dari BOS. Guru yang PNS mencukupkan diri mereka dengan gaji PNS mereka. Sedangkan 3 guru yang lain digaji 125, 130, dan 150 ribu sebulan. Angka yang bahkan tidak cukup untuk membeli beras, pulsa, dan bensin dalam sebulan.
Tentu saja mudah megatakan, "Mereka benar-benar pejuang sejati!", "Mereka pahlawan!" Tapi bukankah pahlawan tanpa tanda jasa itu sesuatu yang tidak adil untuk pahlawan itu sendiri. Mereka dituntut sama seperti para PNS, berangkat jam 7 pagi dan pulang jam 2 siang. Mereka juga dituntut untuk mengajar sebaik mungkin, mereka dituntut untuk menumbuhkan generasi cerdas bagi masa depan. Dengan 150 ribu sebulan, dan berkeluarga, jelas para pahlawan ini tidak sekadar membutuhkan pujian, mereka harus didukung dengan sekuat tenaga.
Selama ini untuk mendukung dan menjamin hidup mereka, mereka nyambi pekerjaan yang lain, berjualan di sekolah, nyales, menjual batik, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan tanpa meninggalkan KBM. Tidakkah mereka hebat? Jika pada akhirnya mereka kadang harus pulang sebelum jam 2, kadang jam setengah 1 atau jam 1, apakah itu salah? Salah jika dilihat dari tanggungjawab mereka sampai jam 2 siang sebagai guru, tetapi dari luasan yang lebih dari itu, yang kita sebut hidup? Mereka tidak akan cukup jika hanya mengandalkan dari sekolah. Apa artinya 150 ribu di tengah rencana kenaikan BBM bulan depan?
Dalam dua tahun ini hanya sekali sekolah ini mengadakan upacara. Bukan apa-apa, tetapi karena para guru ini tidak punya kesempatan untuk melatih anak-anak ini sepulang sekolah. Aku berharap semoga aku bisa melatih mereka upacara mulai minggu ini. Tidak ada ekstra kurikuiler, karena tidak ada dana untuk itu. Sekarang diwajibkan adanya pramuka, tentu itu bukan berita sukacita, tetapi menambah tanggungjawab lain yang terlalu berat bagi mereka. Mereka adalah penanggung keluarga, jika mereka harus meninggalkan sampingan mereka, bagaimana dengan keluarga mereka. Salah seorang guru bahkan mengatakan kepadaku, seandainya bujang pun, apakah pacaran itu tidak membutuhkan biaya? Andai saja para guru ini ditawari oleh sekolah lain yang lebih menjamin hidup mereka, tentu saja tidak salah jika mereka melepaskan sekolah ini untuk tempat baru tersebut. Karena mereka harus hidup.
Tapi aku melihat mereka yang tidak menyerah. Para pahlawan ini bukan generasi tempe. Mereka adalah generasi yang memiliki mimpi untuk hidup mereka, tetapi juga memiliki mimpi untuk pendidikan bagi anak-anak bangsa ini. Sekarang tinggal mencari teman bagi mereka untuk berjuang. Mungkin mencarikan dukungan untuk mereka supaya mereka bisa hidup dan menghidupi YBPK. Yang jelas kami akan berjuang.
No comments:
Post a Comment