Selalu ada perasaan yang bercampuran ketika melihat anak-anak kelas 6 di sini. Di sekolah mana pun anak-anak kelas itu selalu menjadi prioritas. Mereka akan mendapatkan pelajaran ekstra, mereka akan mulai diarahkan untuk mempersiapkan ujian kelulusan dengan sebaik-baiknya. Saat ini sistem untuk kelas 6 masih menggunakan kurikulum lama, jadi ujian akhir masih menjadi standar penilaian utama. Mereka akan mendapatkan fasilitas yang agak lebih daripada kelas-kelas yang lain. Tidak semua guru bisa memegang kelas 6, sebagaimana tidak semua guru bisa memegang kelas 1.
Tapi kelas 6 di sini berbeda. Kelas 6 memang tinggal di kelas sendiri, tidak seperti kelas lain dalam sekatan-sekatan. Tapi jika dibilang kelas ini memenuhi kebutuhan belajar, entahlah. Tembok kelas ini sudah sangat tua, bahkan mungkin lebih tua daripada kebanyakan orang tua mereka. Plafon kelas sudah pecah-pecah. Dan bukan hanya itu, sebuah lemari tua yang berisi buku-buku yang lebih tua dari usia mereka itu, tidak pernah dibuka sejak mereka pertama kali masuk ruang kelas itu. Bahkan mungkin tidak pernah dibuka sejak kakak-kakak kelas mereka terdahulu.
Ketika aku membuka lemari itu, salah satu anak berteriak melarangku membukanya. Dan benar ketika kubuka, puluhan kecoa berhiliran seperti melintas lampu merah. Dan segunduk bulu raksasa menggelinjang mencari tempat persembunyian, sebuah tikus dua kali ukuran lengan anak-anak itu. Sialan. Aku meninggalkan lemari itu dan membiarkannya diam saja di pojok kelas.
Setelah hujan semalam, aroma tanah basah berkali-kali menyapaku dengan segarnya. Setelah menyiapkan anak-anak dan mengajak mereka berdoa, aku memasukkan mereka ke kelas. Belum ada guru yang datang, aku harus memberi tugas agar anak-anak tetap sibuk di kelas masing-masing. Aku akan menemani kelas 6 setelah kelas-kelas yang lain tertangani.
Maka aku pun masuk ke kelas mereka dan segera merasa sesak dengan aroma tembok lembab dan aroma lain yang mengesalkan. Aroma kotoran tikus yang mencuat dengan bahagia. Sial! Dan anak-anak ini akan belajar di dalam kelas semacam ini? Apa-apaan ini. Maka aku meminta anak-anak itu bangkit dari tempat duduk, dan memaksa mereka untuk mengambil sapu dan membongkar lemari yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak dibuka itu.
Dayu, selalu anak paling heboh. Tubuhnya yang ceking membuatnya bisa berlompatan ke sana-sini dengan bebasnya. Dia juga yang menarik buku-buku di rak atas dan langsung memporak-porandakan pertahanan para kecoa. Para kecoa yang arisan di dalam lemari lari kalang kabut. Namun ada kelompok lain yang juga ikut berhamburan, para anak perempuan. Mereka berlari ke depan ruang guru. Abel muntah sampai menangis. Anak perempuan lain menjerit-jerit bersama tikus yang menjerit lari pontang-panting lewat lubang di sebelah barat kelas. Ternyata ada lubang sebesa itu di tembok.
Deni, yang bersuara paling lantang, menyuruh Yudha membantunya mengeluarkan lemari dari kelas. Setelah usaha yang cukup hebat, akhirnya mereka berhasil membawa lemari itu keluar kelas. Aku lihat dari kedelapan anak kelas 6 itu, Ari yang tampak agak menghindari tugas. Dia memang anak yang tidak terlalu banyak komentar, paling cuek, paling tidak banyak bicara. Tipe anak cool.
Empat anak perempuan itu membantuku. Aku tidak kuat, dan aku lihat anak-anak lain menutup hidung mereka dengan dasi dan kain apa pun yang bisa mereka temukan dalam setelah seragam mereka. Maka aku pun berlari ke gereja meminta masker kepada Mas Yusak. Untung masih ada sisa masker dari posko Kelud kemarin. Anggun yang tampak paling bersemangat. Salsa dan Abel terus-terusan datang dan pergi ketika melihat kecoak. Dan aku rasanya harus menundukkan kepalaku pada seorang Mala. Mala adalah anak dengan tangan kanan yang tidak sempurna, tangannya lebih kecil dan pendek daripada tangan kanannya. Dia anak yang cantik, dalam arti yang sebenarnya. Dan aku lihat dia adalah yang paling pandai di kelas. Ketika aku menmgajaknya bebersih, bahkan dengan kondisi fisik yang tidak sebagaimana anak lain, dia tetap melakukan sebisanya dengan sangat bersemangat.
Butuh 2 jam untuk mengeluarkan buku-buku itu dari lemari, mengeluarkan lemarinya, dan menata kembali buku-bukunya. Tapi pada akhirnya kami saling berpandangan dengan tersenyum, "Ternyata tanpa lemari itu kelasnya kelihatan besar, ya!"
Tapi kelas 6 di sini berbeda. Kelas 6 memang tinggal di kelas sendiri, tidak seperti kelas lain dalam sekatan-sekatan. Tapi jika dibilang kelas ini memenuhi kebutuhan belajar, entahlah. Tembok kelas ini sudah sangat tua, bahkan mungkin lebih tua daripada kebanyakan orang tua mereka. Plafon kelas sudah pecah-pecah. Dan bukan hanya itu, sebuah lemari tua yang berisi buku-buku yang lebih tua dari usia mereka itu, tidak pernah dibuka sejak mereka pertama kali masuk ruang kelas itu. Bahkan mungkin tidak pernah dibuka sejak kakak-kakak kelas mereka terdahulu.
Ketika aku membuka lemari itu, salah satu anak berteriak melarangku membukanya. Dan benar ketika kubuka, puluhan kecoa berhiliran seperti melintas lampu merah. Dan segunduk bulu raksasa menggelinjang mencari tempat persembunyian, sebuah tikus dua kali ukuran lengan anak-anak itu. Sialan. Aku meninggalkan lemari itu dan membiarkannya diam saja di pojok kelas.
Setelah hujan semalam, aroma tanah basah berkali-kali menyapaku dengan segarnya. Setelah menyiapkan anak-anak dan mengajak mereka berdoa, aku memasukkan mereka ke kelas. Belum ada guru yang datang, aku harus memberi tugas agar anak-anak tetap sibuk di kelas masing-masing. Aku akan menemani kelas 6 setelah kelas-kelas yang lain tertangani.
Maka aku pun masuk ke kelas mereka dan segera merasa sesak dengan aroma tembok lembab dan aroma lain yang mengesalkan. Aroma kotoran tikus yang mencuat dengan bahagia. Sial! Dan anak-anak ini akan belajar di dalam kelas semacam ini? Apa-apaan ini. Maka aku meminta anak-anak itu bangkit dari tempat duduk, dan memaksa mereka untuk mengambil sapu dan membongkar lemari yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak dibuka itu.
Dayu, selalu anak paling heboh. Tubuhnya yang ceking membuatnya bisa berlompatan ke sana-sini dengan bebasnya. Dia juga yang menarik buku-buku di rak atas dan langsung memporak-porandakan pertahanan para kecoa. Para kecoa yang arisan di dalam lemari lari kalang kabut. Namun ada kelompok lain yang juga ikut berhamburan, para anak perempuan. Mereka berlari ke depan ruang guru. Abel muntah sampai menangis. Anak perempuan lain menjerit-jerit bersama tikus yang menjerit lari pontang-panting lewat lubang di sebelah barat kelas. Ternyata ada lubang sebesa itu di tembok.
Deni, yang bersuara paling lantang, menyuruh Yudha membantunya mengeluarkan lemari dari kelas. Setelah usaha yang cukup hebat, akhirnya mereka berhasil membawa lemari itu keluar kelas. Aku lihat dari kedelapan anak kelas 6 itu, Ari yang tampak agak menghindari tugas. Dia memang anak yang tidak terlalu banyak komentar, paling cuek, paling tidak banyak bicara. Tipe anak cool.
Empat anak perempuan itu membantuku. Aku tidak kuat, dan aku lihat anak-anak lain menutup hidung mereka dengan dasi dan kain apa pun yang bisa mereka temukan dalam setelah seragam mereka. Maka aku pun berlari ke gereja meminta masker kepada Mas Yusak. Untung masih ada sisa masker dari posko Kelud kemarin. Anggun yang tampak paling bersemangat. Salsa dan Abel terus-terusan datang dan pergi ketika melihat kecoak. Dan aku rasanya harus menundukkan kepalaku pada seorang Mala. Mala adalah anak dengan tangan kanan yang tidak sempurna, tangannya lebih kecil dan pendek daripada tangan kanannya. Dia anak yang cantik, dalam arti yang sebenarnya. Dan aku lihat dia adalah yang paling pandai di kelas. Ketika aku menmgajaknya bebersih, bahkan dengan kondisi fisik yang tidak sebagaimana anak lain, dia tetap melakukan sebisanya dengan sangat bersemangat.
Butuh 2 jam untuk mengeluarkan buku-buku itu dari lemari, mengeluarkan lemarinya, dan menata kembali buku-bukunya. Tapi pada akhirnya kami saling berpandangan dengan tersenyum, "Ternyata tanpa lemari itu kelasnya kelihatan besar, ya!"
No comments:
Post a Comment