Gak begitu saja mudah menyatukan cerita dua orang dengan bahasa yang berbeda, pendekatan yang berbeda untuk kemudian menjadi padu. Dan hari ini terbukti bahwa setelah kami jadian sekian waktu, aku dan Nyenyeng tidak selalu berjalan di padang rumput hijau dan air yang tenang.
Aku cenderung berpikir seperti bawang, berlapis-lapis. Sedangkan Nyenyeng cenderung sangat linear. Sebenarnya hal yang bagus adalah ketika bertemu dengannya, bersama dengan itu aku juga berupaya untuk menemukan bahasa yang tepat untuk berbicara dengan manusia. Secara selama ini banyak orang yang menganggap bahwa bahasaku berasal dari planet ketujuh dari bintang nomer 143 galaksi Andromeda. Nyenyeng membuatku menceritakan sesuatu dengan jangkep. Tapi aku pun sebenarnya tidak terlalu suka dengan hal itu karena membuatnya terkesan terlalu verbal. Ketika sesuatu terlalu verbal, maka hal-hal indah berkait dengan nuansa dan misteri langsung kehilangan kecantikannya. Lihat saja ketika Nyenyeng dengan muda mengatakan "Aku sayang kamu!" "Aku kangen kamu!" Buatku mengatakanya demikian tidak berbeda seperti mengatakan hal yang sama kepada anak-anakku di sekolah.
Hal kedua adalah bagaimana kami memandang tubuh. Kami memang nyaman dengan tubuh masing-masing. Tapi ketika kemarin Nyenyeng memintaku merawat diri. Dan jelas itu hal yang baik. Aku langsung menjadi kesal, karena menganggapnya sebagai ketidakberterimaan Nyenyeng atas bagaimana adanya aku. Sampai dia meminta maaf berkali-kali. Tapi aku tahu dia dongkol juga sebenarnya ketika aku menolak. Akhirnya kuiyakan juga permintaannya.
Aku hobi bikin perkara dan marah-marah, Nyenyeng di kutub sebaliknya, dia hobi menangis. Sebenarnya dari sisi sensitifitas kami sama saja sensitifnya, tapi karena aku lebih berlapis-lapis, akhirnya aku bisa menata supaya tidak terlalu terungkap. Sedangkan dia selalu dengan mudah langsung meneteskan air mata. Kadang dalam diam, yang lalu membuatku langsung merasa bersalah, kadang dengan sesenggukan yang membuatku langsung jengah. Yang paling mengesalkanku adalah ketika dia mengatakan, "Memang aku selalu salah kok!" Pada saat itu runtuhlah pertahananku. Antara kesal dan ingin memeluk aku langsung ingin menyudahi saja. Aku berteriak kepadanya "Come on! Jadilah dirimu sendiri!" Dan dia akan mengatakan, "Kamu memintaku menjadi diri sendiri, ya ini diriku yang apa adanya."
Hari ini kami bertengkar. Gara-garanya pengumuman seleksi CPNS di Manado. Dia mendaftar beberapa bulan yang lalu. Dia tidak terlalu berharap karena dia terikat sebagai dosen tetap yayasan di mana dia berada sekarang. Dan ternyata dia lolos. Dia membutuhkan sertifikat tes TOEFL, dan dia langsung meminta ditelpon. Ketika ditelpon dia langsung dengan dengan gaya paniknya menceritakan. Aku segera bertanya kepada teman-teman dan mencari di internet. Tapi dasarnya aku sudah langsung terbawa kesal ketika bersama orang yang panik, bawaanku langsung marah-marah kepadanya. Aku akhirnya menemukannya lembaga yang bisa memberikan tes TOEFL dan keluar hasilnya hari itu juga, LIA Jakarta. Dan dia memintaku menemaninya ke LIA, gila saja! Aku langsung menolak dan marah. Dia bilang sayang-sayang, tapi aku marah "Sayang, sayang sekarang sudah gak relevan."
Aku mencoba menaik turunkan masalah itu dalam pikiranku. Dasarnya memang gak rela ditinggal tapi sudah kadung kesal. Aku langsung memberondongnya dengan pernyataan-pernyataan sadis dan sinisku yang biasa. Dalam kondisi yang normal dan sebagaimana biasanya aku pasti akan segera mengatakan "Putus!" Aku mengatakan akan pergi dan melarang dia untuk datang lagi ke rumah. Dia tentu saja menangis. Dan aku membiarkan dia menangis. Kalau ditanya kenapa, sebenarnya sederhana, aku kesal kepadanya. Dan lebih dari itu aku memiliki ketakutan ditinggalkan olehnya, karena tanpa aku sadari ternyata dia adalah orang paling istimewa dan jawaban doaku kepada Tuhan selama ini. Aku sempat kesal kepada Tuhan dan menagtakan bahwa "Main main Kamu ini!"
Akhirnya sampai malam kami yang biasanya hilir mudik di BBM, WA, telepon, dan sms. Sama sekali tidak menyapa. Sampai dia mengatakan supaya nanti aku menelponnya. Aku ogah. Tapi mana bisa? Akhirnya aku menelponnya juga tetapi tidak diangkat. Wah serius nih marahnya. Beberapa menit kemudian dia mengirimkan sms bahwa dia baru pulang dari tempat kerjanya. Aku kemudian mengatakan bahwa nanti malam aku mau menelpon. Ada beberapa sms lain, dia sudah memanggilku kembali dengan panggilan kesayangannya, dan ada kata 'sayang' juga di sana. Tapi aku tahu bahwa kami masih sama-sama kesal.
Tapi akhirnya aku menelponnya juga, kebetulan aku sedang di bypass Krian. Kami bertelponan dan telpon itu sempat sangat mengesalkanku karena dia tidak menangkap kekhawatiran dan ketakutanku. Aku mengatakan dia egois hanya memikirkan dirinya sendiri dan beragam kekesalan lain. Dia hanya diam. Itulah bedanya aku dan nyenyeng, ketika kesal aku akan nyerocos ke sana sini tidak tentu arah, tapi dia akan langsung diam, dan kadang mengatakan "Sudah gak usah dibahas lagi."
Sampai akhirnya tiba pada saatnya aku menyadari bahwa kemarahanku kepadanya adalah buah dari rasa cintaku yang terlalu besar dan ketakutanku untuk kehilangan dia. Dia mengajakku pindah ke Manado kalau misalnya dia diterima di sana. Tentu saja aku tidak bisa, keangkuhan laki-laki satu, tetapi juga komitmenku kepada panggilanku. Aku merasa bahwa harapan kami untuk masa depan yang selama ini sudah kami bangun bersama pupus. Dia berusaha meyakinkan bahwa dia di Manado hanya beberapa lama, paling tidak 2 tahun demi jabatan PNSnya. Kami sama-sama termakan pikiran kami sendiri-sendiri, aku dan ketakutanku yang berlebihan, dia dan cintanya yang sederhana.
Sampai aku kemudian ingat bahwa tes CPNS itu adalah mimpinya, dan aku berusaha untuk tenang mengatakan pergilah, aku merelakanmu. Itu mimpimu, kejarlah. Terbanglah. Aku akan baik-baik saja di sini. Yang aku lewatkan adalah bahwa aku begitu mencintainya dan demikian juga dengannya. Lalu aku pun mulai berani jujur mengatakan bahwa sebenarnya kemarahanku bukan kepadanya, tetapi aku salah mengalamatkan, kemarahanku adalah kepada diriku sendiri. Dan aku mengatakan bahwa semua kemarahan itu sebenarnya adalah buah dari ketakutanku kehilangan dia, buah dari ketakutanku ditinggalkan olehnya, karena sejatinya aku sangat mencintainya, tanpa benar-benar sempat aku sadari. Dan dia pun mulai menangis sekeras-kerasnya. Dia mengatakan betapa dia juga mencintaiku.
Akhirnya setelah itu kami bisa berbicara dengan agak tenang. Kami mulai berbicara dari hati ke hati. Dan kami sadar sepenuhnya di atas semua bangunan yang kami bangun untuk menguasai satu sama lain ada cinta yang terlalu kuat. Dan dia pun mengatakan, "Besok aku ke Jogja untuk urusan sertifikat TOEFL, semoga segera selesai. Kalau selesai aku langsung ke tempatmu. Kamu mau kan jemput aku masio malam-malam." Tentu saja iya. Sempat ada perdebatan singkat memang, tapi bukan sesuatu yang berarti jika dibandingkan kami yang akhirnya menemukan bahwa di dasar semua cerita kami masing-masing, cerita yang paling utama adalah cerita tentang 'kami'. Telepon kututup dengan ciuman, dan dia mengatakan "Aku sayang banget sama kamu!"
Mungkin benar, ketika kita berdoa kepada Tuhan supaya kita bisa hidup selamanya di tengah semua badai dan lain sebagainya, Tuhan bukan serta merta memuluskan jalan dan mengirimkan malaikatnya menaruh selamanya pada hati kami masing-masing. Tapi kami diberikan kesempatan berjuang sampai kami benar-benar tahu bahwa kami selamanya.
Aku cenderung berpikir seperti bawang, berlapis-lapis. Sedangkan Nyenyeng cenderung sangat linear. Sebenarnya hal yang bagus adalah ketika bertemu dengannya, bersama dengan itu aku juga berupaya untuk menemukan bahasa yang tepat untuk berbicara dengan manusia. Secara selama ini banyak orang yang menganggap bahwa bahasaku berasal dari planet ketujuh dari bintang nomer 143 galaksi Andromeda. Nyenyeng membuatku menceritakan sesuatu dengan jangkep. Tapi aku pun sebenarnya tidak terlalu suka dengan hal itu karena membuatnya terkesan terlalu verbal. Ketika sesuatu terlalu verbal, maka hal-hal indah berkait dengan nuansa dan misteri langsung kehilangan kecantikannya. Lihat saja ketika Nyenyeng dengan muda mengatakan "Aku sayang kamu!" "Aku kangen kamu!" Buatku mengatakanya demikian tidak berbeda seperti mengatakan hal yang sama kepada anak-anakku di sekolah.
Hal kedua adalah bagaimana kami memandang tubuh. Kami memang nyaman dengan tubuh masing-masing. Tapi ketika kemarin Nyenyeng memintaku merawat diri. Dan jelas itu hal yang baik. Aku langsung menjadi kesal, karena menganggapnya sebagai ketidakberterimaan Nyenyeng atas bagaimana adanya aku. Sampai dia meminta maaf berkali-kali. Tapi aku tahu dia dongkol juga sebenarnya ketika aku menolak. Akhirnya kuiyakan juga permintaannya.
Aku hobi bikin perkara dan marah-marah, Nyenyeng di kutub sebaliknya, dia hobi menangis. Sebenarnya dari sisi sensitifitas kami sama saja sensitifnya, tapi karena aku lebih berlapis-lapis, akhirnya aku bisa menata supaya tidak terlalu terungkap. Sedangkan dia selalu dengan mudah langsung meneteskan air mata. Kadang dalam diam, yang lalu membuatku langsung merasa bersalah, kadang dengan sesenggukan yang membuatku langsung jengah. Yang paling mengesalkanku adalah ketika dia mengatakan, "Memang aku selalu salah kok!" Pada saat itu runtuhlah pertahananku. Antara kesal dan ingin memeluk aku langsung ingin menyudahi saja. Aku berteriak kepadanya "Come on! Jadilah dirimu sendiri!" Dan dia akan mengatakan, "Kamu memintaku menjadi diri sendiri, ya ini diriku yang apa adanya."
Hari ini kami bertengkar. Gara-garanya pengumuman seleksi CPNS di Manado. Dia mendaftar beberapa bulan yang lalu. Dia tidak terlalu berharap karena dia terikat sebagai dosen tetap yayasan di mana dia berada sekarang. Dan ternyata dia lolos. Dia membutuhkan sertifikat tes TOEFL, dan dia langsung meminta ditelpon. Ketika ditelpon dia langsung dengan dengan gaya paniknya menceritakan. Aku segera bertanya kepada teman-teman dan mencari di internet. Tapi dasarnya aku sudah langsung terbawa kesal ketika bersama orang yang panik, bawaanku langsung marah-marah kepadanya. Aku akhirnya menemukannya lembaga yang bisa memberikan tes TOEFL dan keluar hasilnya hari itu juga, LIA Jakarta. Dan dia memintaku menemaninya ke LIA, gila saja! Aku langsung menolak dan marah. Dia bilang sayang-sayang, tapi aku marah "Sayang, sayang sekarang sudah gak relevan."
Aku mencoba menaik turunkan masalah itu dalam pikiranku. Dasarnya memang gak rela ditinggal tapi sudah kadung kesal. Aku langsung memberondongnya dengan pernyataan-pernyataan sadis dan sinisku yang biasa. Dalam kondisi yang normal dan sebagaimana biasanya aku pasti akan segera mengatakan "Putus!" Aku mengatakan akan pergi dan melarang dia untuk datang lagi ke rumah. Dia tentu saja menangis. Dan aku membiarkan dia menangis. Kalau ditanya kenapa, sebenarnya sederhana, aku kesal kepadanya. Dan lebih dari itu aku memiliki ketakutan ditinggalkan olehnya, karena tanpa aku sadari ternyata dia adalah orang paling istimewa dan jawaban doaku kepada Tuhan selama ini. Aku sempat kesal kepada Tuhan dan menagtakan bahwa "Main main Kamu ini!"
Akhirnya sampai malam kami yang biasanya hilir mudik di BBM, WA, telepon, dan sms. Sama sekali tidak menyapa. Sampai dia mengatakan supaya nanti aku menelponnya. Aku ogah. Tapi mana bisa? Akhirnya aku menelponnya juga tetapi tidak diangkat. Wah serius nih marahnya. Beberapa menit kemudian dia mengirimkan sms bahwa dia baru pulang dari tempat kerjanya. Aku kemudian mengatakan bahwa nanti malam aku mau menelpon. Ada beberapa sms lain, dia sudah memanggilku kembali dengan panggilan kesayangannya, dan ada kata 'sayang' juga di sana. Tapi aku tahu bahwa kami masih sama-sama kesal.
Tapi akhirnya aku menelponnya juga, kebetulan aku sedang di bypass Krian. Kami bertelponan dan telpon itu sempat sangat mengesalkanku karena dia tidak menangkap kekhawatiran dan ketakutanku. Aku mengatakan dia egois hanya memikirkan dirinya sendiri dan beragam kekesalan lain. Dia hanya diam. Itulah bedanya aku dan nyenyeng, ketika kesal aku akan nyerocos ke sana sini tidak tentu arah, tapi dia akan langsung diam, dan kadang mengatakan "Sudah gak usah dibahas lagi."
Sampai akhirnya tiba pada saatnya aku menyadari bahwa kemarahanku kepadanya adalah buah dari rasa cintaku yang terlalu besar dan ketakutanku untuk kehilangan dia. Dia mengajakku pindah ke Manado kalau misalnya dia diterima di sana. Tentu saja aku tidak bisa, keangkuhan laki-laki satu, tetapi juga komitmenku kepada panggilanku. Aku merasa bahwa harapan kami untuk masa depan yang selama ini sudah kami bangun bersama pupus. Dia berusaha meyakinkan bahwa dia di Manado hanya beberapa lama, paling tidak 2 tahun demi jabatan PNSnya. Kami sama-sama termakan pikiran kami sendiri-sendiri, aku dan ketakutanku yang berlebihan, dia dan cintanya yang sederhana.
Sampai aku kemudian ingat bahwa tes CPNS itu adalah mimpinya, dan aku berusaha untuk tenang mengatakan pergilah, aku merelakanmu. Itu mimpimu, kejarlah. Terbanglah. Aku akan baik-baik saja di sini. Yang aku lewatkan adalah bahwa aku begitu mencintainya dan demikian juga dengannya. Lalu aku pun mulai berani jujur mengatakan bahwa sebenarnya kemarahanku bukan kepadanya, tetapi aku salah mengalamatkan, kemarahanku adalah kepada diriku sendiri. Dan aku mengatakan bahwa semua kemarahan itu sebenarnya adalah buah dari ketakutanku kehilangan dia, buah dari ketakutanku ditinggalkan olehnya, karena sejatinya aku sangat mencintainya, tanpa benar-benar sempat aku sadari. Dan dia pun mulai menangis sekeras-kerasnya. Dia mengatakan betapa dia juga mencintaiku.
Akhirnya setelah itu kami bisa berbicara dengan agak tenang. Kami mulai berbicara dari hati ke hati. Dan kami sadar sepenuhnya di atas semua bangunan yang kami bangun untuk menguasai satu sama lain ada cinta yang terlalu kuat. Dan dia pun mengatakan, "Besok aku ke Jogja untuk urusan sertifikat TOEFL, semoga segera selesai. Kalau selesai aku langsung ke tempatmu. Kamu mau kan jemput aku masio malam-malam." Tentu saja iya. Sempat ada perdebatan singkat memang, tapi bukan sesuatu yang berarti jika dibandingkan kami yang akhirnya menemukan bahwa di dasar semua cerita kami masing-masing, cerita yang paling utama adalah cerita tentang 'kami'. Telepon kututup dengan ciuman, dan dia mengatakan "Aku sayang banget sama kamu!"
Mungkin benar, ketika kita berdoa kepada Tuhan supaya kita bisa hidup selamanya di tengah semua badai dan lain sebagainya, Tuhan bukan serta merta memuluskan jalan dan mengirimkan malaikatnya menaruh selamanya pada hati kami masing-masing. Tapi kami diberikan kesempatan berjuang sampai kami benar-benar tahu bahwa kami selamanya.
No comments:
Post a Comment