Bebel Gilberto. Bukankah perempuan satu itu lebih baik menjadi laki-laki saja? Dan mungkin Vero akan rela bercinta dengannya sampai pagi, atau tetap berbaring sampai matahari merajalela. Tidak perlu tahu artinya untuk tahu bahwa perempuan itu membisikkan cerita seksi dengan malas-malas. Suaranya seperti pantai yang menyeret senja dan api unggun. Lalu mereka akan menari bersama dengan kicauan maracas dan asap yang membubung awan.
Semua resahnya meleleh serupa lukisan-lukisan Dali. Dan dia begitu saja menggoyang-goyangkan kepalanya. Vero tahu ada lelah yang terlukis dalam setiap kepulan kopi-kopi itu. Para pecinta kopi hanyalah orang-orang yang menolak lemah, menolak resah. Dan mereka bersembunyi di balik aroma kopi yang dibakar sempurna untuk menutupi bahwa mereka laki-laki yang tidak sempurna. Laki-laki adalah makhluk paling rentan, tidak aman, tapi bersikeras mengatakan segala halnya baik-baik saja, dan mereka ada di atas segalanya.
Seharusnya hanya laki-laki yang berani mengakui kelemahannya yang pantas disebut laki-laki. Laki-laki tidak pantas menari bersama perempuan sebelum mereka mengajak menari kelemahannya, kegagalannya. Diakui saja.
Di tengah cahaya temaram kedai yang mulai menyepi bersama gegas malam yang sebentar lagi melahirkan pagi yang buta, dia melihat dirinya menari bersama Lexa. Laki-laki dengan laki-laki. Dia meletakkan kepalanya di bahu Lexa. Mereka berselimut kepul-kepul kopi dan asap rokok. Sebuah cerita dari masa yang tidak benar-benar pernah ada. Gambar itu membuyar bersama tuntasnya Samba da Bencao yang tak lebih dari beberapa menit saja. Gemanya masih sempat bertaluan sejenak, tapi hilang juga. Nyatanya dia ataupun Lexa tak pernah berani menjadi laki-laki yang sebenarnya.
Mong duduk di sudutnya, masih membaca bukunya. Tak acuh dengan apa pun, termasuk dirinya. Perempuan satu itu selalu lebih laki-laki daripada dirinya sendiri. Seandainya dia bisa mencintai perempuan, mungkin itu Mong. Tapi itu pun tak membuktikan bahwa dirinya bisa mencintai Mong sebagai perempuan, dia mencintai kelaki-lakian dalam diri perempuan itu.
Tapi bukan Mong jika tidak memperhatikan Vero. Semua orang tahu bahwa perempuan yang berkeras meletakkan dirinya di tengah segala cerita itu sebenarnya sudah memilih pihaknya sejak pertama kali melihat lelaki lemah lembut itu melintas pintu kedainya dengan enggan. Dan Vero sepenuhnya tahu itu. Lexa saja yang berharap terlalu berlebihan pada sesuatu yang sejak semula tidak mungkin didapatkannya. Sedangkan Vero, dia selalu tahu. Dan senyatanya Vero nyaman dalam pelukan dan perhatian seorang Mong. Dia sadar bahwa dia adalah bayangan yang merengkuh diri dalam sedekap kuat di balik kuat belikat seorang Mong yang jauh lebih perkasa. Perempuan yang tak pernah terungkap lebih daripada dia mengungkapkan diri.
Dan setelah semua cerita itu berlalu bersama kepul kopi yang menguarkan asap yang tak kunjung membekas, mereka tahu bahwa harus ada akhir untuk segala sesuatunya. Maka demikiankah cerita tentang dua pria di kedai kopi itu harus berakhir.
Bukankah semua orang berharap akhir yang bahagia? Dan cerita harusnya berakhir dengan bahagia. Tetapi cerita yang kuat adalah serupa Samba. Mereka perlu menancapkan duri, kesepian, dan kepahitan untuk membuatnya sempurna. Serupa kopi, jika manis itu hanya gulanya, karena kopi terbaik adalah kopi dengan kepahitan yang sempurna. Jika tidak hal itu seperti cinta yang sekadar muncul karena cantik. Dan setelah cantik itu berlalu, semuanya pun tidak bersisa. Kopi, Samba, cerita, cinta semua sama saja. Mereka mungkin hanya lelucon pada akhirnya. Tapi ketika bibirmu mengecap pahitnya, ketika pinggulmu terseret oleh alunannya, ketika kau larut di dalamnya, kau tak bisa mencintai sekadar cantik, kau harus merengkuh sakit, air mata, dan kepedihan bersama-sama.
Lalu kau akan terbangun esok pagi. Menemukan kamarmu sama saja berantakan, rambutmu tak tertata, matamu lembam, kakimu goyah. Hanya saja kau bertambah tua, sehari demi sehari. Tapi anugerah apa yang lebih indah daripada menjadi tua, pikirmu. Kau tak lagi menghitung ukuran pinggangmu, tak lagi sibuk dengan tatanan rambutmu. Kau akan menyenangkan dirimu dengan mengatakan bahwa kau bertambah bijaksana, tapi sebenarnya itu hanya caramu berkata bahwa kau kesepian dan harus rela menerima semuanya. Jadi apakah pantas kau menyebutnya anugerah? Silakan saja. Jika tidak? Terserah.
"Lagi susunya?" Perempuan itu sudah berdiri persis di depan laki-laki susu itu.
"Kopi!" Ujar laki-laki itu tersenyum, "Tanpa gula."
Perempuan itu memandangnya. Dan laki-laki itu tertawa, "Tentu saja susu!" Perempuan itu ikut tertawa.
"Dan kopi." Ujar sang laki-laki. Perempuan itu mengangguk.
Semua resahnya meleleh serupa lukisan-lukisan Dali. Dan dia begitu saja menggoyang-goyangkan kepalanya. Vero tahu ada lelah yang terlukis dalam setiap kepulan kopi-kopi itu. Para pecinta kopi hanyalah orang-orang yang menolak lemah, menolak resah. Dan mereka bersembunyi di balik aroma kopi yang dibakar sempurna untuk menutupi bahwa mereka laki-laki yang tidak sempurna. Laki-laki adalah makhluk paling rentan, tidak aman, tapi bersikeras mengatakan segala halnya baik-baik saja, dan mereka ada di atas segalanya.
Seharusnya hanya laki-laki yang berani mengakui kelemahannya yang pantas disebut laki-laki. Laki-laki tidak pantas menari bersama perempuan sebelum mereka mengajak menari kelemahannya, kegagalannya. Diakui saja.
Di tengah cahaya temaram kedai yang mulai menyepi bersama gegas malam yang sebentar lagi melahirkan pagi yang buta, dia melihat dirinya menari bersama Lexa. Laki-laki dengan laki-laki. Dia meletakkan kepalanya di bahu Lexa. Mereka berselimut kepul-kepul kopi dan asap rokok. Sebuah cerita dari masa yang tidak benar-benar pernah ada. Gambar itu membuyar bersama tuntasnya Samba da Bencao yang tak lebih dari beberapa menit saja. Gemanya masih sempat bertaluan sejenak, tapi hilang juga. Nyatanya dia ataupun Lexa tak pernah berani menjadi laki-laki yang sebenarnya.
Mong duduk di sudutnya, masih membaca bukunya. Tak acuh dengan apa pun, termasuk dirinya. Perempuan satu itu selalu lebih laki-laki daripada dirinya sendiri. Seandainya dia bisa mencintai perempuan, mungkin itu Mong. Tapi itu pun tak membuktikan bahwa dirinya bisa mencintai Mong sebagai perempuan, dia mencintai kelaki-lakian dalam diri perempuan itu.
Tapi bukan Mong jika tidak memperhatikan Vero. Semua orang tahu bahwa perempuan yang berkeras meletakkan dirinya di tengah segala cerita itu sebenarnya sudah memilih pihaknya sejak pertama kali melihat lelaki lemah lembut itu melintas pintu kedainya dengan enggan. Dan Vero sepenuhnya tahu itu. Lexa saja yang berharap terlalu berlebihan pada sesuatu yang sejak semula tidak mungkin didapatkannya. Sedangkan Vero, dia selalu tahu. Dan senyatanya Vero nyaman dalam pelukan dan perhatian seorang Mong. Dia sadar bahwa dia adalah bayangan yang merengkuh diri dalam sedekap kuat di balik kuat belikat seorang Mong yang jauh lebih perkasa. Perempuan yang tak pernah terungkap lebih daripada dia mengungkapkan diri.
Dan setelah semua cerita itu berlalu bersama kepul kopi yang menguarkan asap yang tak kunjung membekas, mereka tahu bahwa harus ada akhir untuk segala sesuatunya. Maka demikiankah cerita tentang dua pria di kedai kopi itu harus berakhir.
Bukankah semua orang berharap akhir yang bahagia? Dan cerita harusnya berakhir dengan bahagia. Tetapi cerita yang kuat adalah serupa Samba. Mereka perlu menancapkan duri, kesepian, dan kepahitan untuk membuatnya sempurna. Serupa kopi, jika manis itu hanya gulanya, karena kopi terbaik adalah kopi dengan kepahitan yang sempurna. Jika tidak hal itu seperti cinta yang sekadar muncul karena cantik. Dan setelah cantik itu berlalu, semuanya pun tidak bersisa. Kopi, Samba, cerita, cinta semua sama saja. Mereka mungkin hanya lelucon pada akhirnya. Tapi ketika bibirmu mengecap pahitnya, ketika pinggulmu terseret oleh alunannya, ketika kau larut di dalamnya, kau tak bisa mencintai sekadar cantik, kau harus merengkuh sakit, air mata, dan kepedihan bersama-sama.
Lalu kau akan terbangun esok pagi. Menemukan kamarmu sama saja berantakan, rambutmu tak tertata, matamu lembam, kakimu goyah. Hanya saja kau bertambah tua, sehari demi sehari. Tapi anugerah apa yang lebih indah daripada menjadi tua, pikirmu. Kau tak lagi menghitung ukuran pinggangmu, tak lagi sibuk dengan tatanan rambutmu. Kau akan menyenangkan dirimu dengan mengatakan bahwa kau bertambah bijaksana, tapi sebenarnya itu hanya caramu berkata bahwa kau kesepian dan harus rela menerima semuanya. Jadi apakah pantas kau menyebutnya anugerah? Silakan saja. Jika tidak? Terserah.
"Lagi susunya?" Perempuan itu sudah berdiri persis di depan laki-laki susu itu.
"Kopi!" Ujar laki-laki itu tersenyum, "Tanpa gula."
Perempuan itu memandangnya. Dan laki-laki itu tertawa, "Tentu saja susu!" Perempuan itu ikut tertawa.
"Dan kopi." Ujar sang laki-laki. Perempuan itu mengangguk.
No comments:
Post a Comment