Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta

| No comment
11-15 Nopember 2013

Semua sudah direncanakan, ini adalah perang. Sebuah perang yang harus dimenangkan. Tentu bukan perang sesungguhnya, sebuah perjalanan. Bukan perjalanan besar. Hanya perjalanan ke sebuah kota tua. Kota yang menyimpan sebuah ingatan dalam bingkai cahaya keemasan  lampu-lampu jalan dengan tiang penyangganya yang hijau mencengkeram, menjangkarkan pangkalnya pada trotoar yang senantiasa basah berkat hujan yang enggan menitik kecuali pada sore yang menyayatkan keintiman. Bukankah sore dan hujan adalah perpaduan yang paling mesra dari semua kemungkinan cerita. Cerita yang dibangun oleh sebuah garis yang berliku entah ke mana. Sebuah garis yang adalah cerita sunyi yang hanya mampu didengar oleh mereka yang bergerak namun diam, berjalan namun berhenti, yang menatapkan matanya kemana pun, namun sejatinya sedang menjuruskan dirinya pada terang yang berpendar-pendar dalam sebuah laut waktu. Garis kusam dan samar yang sesekali melongokkan dirinya di sudut jendela. Garis yang oleh para pecinta dengan bangga disebut nasib.

Perjalanan itu berawal dari sebuah janji. Janji kepada diri, namun juga kepada para sahabat yang mengisi cerita-ceritaku pada masa lalu. Janji pada waktu dan pada kota itu sendiri. Kota yang membuat orang berkata "Kalau kamu pernah ke sana, pasti kamu ingin kembali." Sebuah kota yang dalam ingatanku berjalan dengan lambat. Mungkin bukan kota yang istimewa untuk banyak orang, namun bagiku menjelma segalanya. Jogja.

Waktu enam tahun di kota itu bukan waktu yang lama, dan seperti biasanya setelah semua berlalu semuanya menjadi  lucu, dan terasa begitu singkat. Tak terasa sudah empat tahun perpisahan kami. Sejak aku melambaikan tanganku pada sang kota, sang cerita, pada teater, kampus, para sahabat, para pria dan perempuanku. Namun enam tahun adalah waktu seorang anak sedang lucu-lucunya. Mengeja dan menghitung angka dengan jarinya. Percaya bahwa angka tertinggi adalah sepuluh, dan selanjutnya hanya jajaran angka yang ditambahkan saja, seolah-olah saja mengandung makna yang lebih besar. Mungkin memang begitu. Karena setelah sepuluh tak ditemukan angka-angka baru.

Enam tahun adalah masa perkawinan yang membuat orang berhenti bertanya apakah perkawinannya akan berhenti di sini, lalu kembali mencari, atau lanjut dengan segala risikonya. Enam tahun yang di negara ini pernah ditetapkan sebagai masa wajib bagi para anak sekolahan untuk memutuskan bahwa sekolah ini hanya buang-buang waktu saja, atau justru sebuah langkah besar dalam sebuah narasi bernama hidup. Ketika sang anak mungkin tak benar-benar sadar bahwa dia sedang menjejakkan kakinya pada sebuah pondasi yang dibangunnya sendiri, entah rapuh entah kokoh. Para penguasa itu menambah tiga, tapi untuk banyak orang tak pernah cukup kuat berbicara. 

Tapi atas enam tahun itu aku akhirnya berani menetapkan hendak ke mana aku setelahnya. Namun rindu adalah rasa sakit yang lain, yang bodohnya dinikmati dengan rela. Dan demi enam tahun itulah aku akhirnya berani menyatakan bahwa sampai kapan pun, kau tak berlalu. Seperti kata para sahabatku, "Sempatkanlah walau sejenak." Aku kembali Jogjaku.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment