Ketika aku dan Ayub sampai di Condong Catur, hujan tidak mau lagi berkompromi dengan kami. Mbak Ari dan Astrid memilih tujuan yang berbeda. Tinggal kami berdua dengan motor tanpa surat kendaraan. Tidak ada yang tahu di mana Erni tinggal, teleponnya hanya mengatakan "Casa Grande terus, ada pertigaan, belok kiri, ada perempatan belok kiri lagi. Taman Cemara." Tapi mungkin telinga kami yang soak, atau sinyal yang terputus-putus, atau motor yang berlalu lalang terlalu kencang, aku hanya mendengar jurusan yang dia katakan seperti susunan kata-kata saja.
Dan benarlah. Mencari pertigaan di Ring Road Utara, mana ada? Jalan ini jalan besar, jika ada yang disebut pertigaan itu adalah jalan masuk gang-gang di sebelahnya. Parahnya lagi hujan sudah benar-benar tidak mau bertoleransi, "Punya mantel, Yub?" tanyaku. "Ada, Mas, tapi ..." Kata terakhirnya mengindikasikan ada yang tidak beres. Aku mengeluarkan mantel dari jok. Mantel hijau itu sudah tua, usia membuatnya rekah-rekah seperti tanah yang kerontang. Tapi sudahlah, pakai saja.
Motor di sebelah kami berlalu-lalang sedemikian cepat. Tinggal di Tunglur ternyata membuat otot berkendaraku tidak segesit dahulu, aku menjadi kagok berkendara bersama di jalan kota besar. Tapi sebenarnya kapan aku pernah berkendara dengan baik? SIM saja nembak, terima kasih, Pak Polisi!
Dan mantel itu, "Dasar mantel kamuflase!" Teriakku yang disambut dengan tawa Ayub yang bahagia, dia seperti memenangkan taruhan sabung ayam. Benar-benar merdeka. Mantel itu benar-benar sialan. Kelihatannya saja seperti mantel, nyatanya rekah-rekah di mantel itu membuat air hujan menyelusup dengan bebasnya, alhasil tetap saja basah semua. "Ya seolah-olah lah mas, ketoke mantelan," sambut Ayub santai saja. Dasar, si pemilik dan mantelnya benar-benar telah kongkalikong membuatku sukses kebasahan. Tapi gebleknya, aku juga tertawa-tawa. Maka aku menemukan rumus baru, Hujan + Mantel Bocor + Sepeda Tanpa Surat + Secret Ingredient = Bahagia. Dan The Secret Ingredient adalah sahabat.
Seperti yang kami duga, kami tidak berhasil menemukan yang katanya pertigaan di Ring Road Utara itu. Ayub berkeras pertigaan yang dimaksud adalah di Maguwo, tapi aku keberatan karena Maguwo terlalu jauh. Maka kami ngemper dan menelpon Erni lagi. Kali ini masalah kami ditambah sinyal, sinyal benar-benar tidak berkawan. Suara Erni seperti dari luar angkasa. Tapi oke lah kami mendapatkan arah-arahnya. Dan dari arah-arah yang diberikan kami harus dengan rela bolak-balik di jalan satu arah sampai dua atau tiga kali. Itu pun masih ditambah bertanya-tanya dua kali.
Kami masuk ke gang. Dan di gang itu kami bertanya-tanya lagi tiga kali. Tampaknya kami masuk gang yang salah. Tapi jalanan jogja selalu terhubung satu dengan yang lain, sekali kamu salah, kamu tetap bisa mencari kemungkinan membenarkannya, maka ketemulah kami dengan yang namanya Taman Cemara, sebuah perumahan nyaman dengan lapangan tenis sebagai hotspotnya. Gila berani-beraninya Erni mengontrak di kawasan ini! Kami menyerapah.
Tapi begitulah, masuk-masuk di perumahan tidak segampang yang kami kira. Taman Cemara bukan satu gang lurus yang sederhana. Erni memberikan petunjuk arah tambahan "Pos satpam satu kanan jalan, terus, pos satpam dua kiri jalan belok kiri. Ada gang sebelum gapura besar belok kanan. Gang sebelah kiri lapangan itu masuk. Ikuti saja jalur itu. Aku tunggu depan rumah." Apa-apaan itu! Maka aku meneriaki Erni, "Kamu ini dikejar-kejar debt collector atau apa? Cari rumah saja nylempit-nylempit!" Tapi ketika kami ikuti dengan teliti ternyata tidak susah-susah amat, kami melihat Erni yang menggerai rambutnya melambaikan tangannya seperti rakyat melambai kepada presidennya. Kami memang pantas mendapatkan lambaian tangan serupa itu. Percayalah!
No comments:
Post a Comment