Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta 7

| No comment
It's Jogja, guys! And nothing is better!

Dioz dan Yosia menjemputku di Janti. Selama di jalan mereka menunjukkan kepadaku, beberapa cerita baru yang dibangun oleh kota ini. Beberapa bangunan menjadi begitu baru, yangdahulu Hotel Ambarukmo sekarang menjadi Royal Ambarukmo, Saphire menjadi New Saphire. Jogja tengah malam adalah kondisi terbaiknya, lampu-lampu jalan, hujan yang belum kering, kendaraan yang malas berlalu lalang, dan beberapa cerita dari para nokturnalnya yang masih bergairah semalam ini. Mereka membawaku bertengger di kost Yosia. Aku memberikan klarinet kepadanya, dan dalam segera dia tahu memainkannya, tidak ada yang lebih baik dari Yosia dalam menggabungkan musik dan otodidak. Aku tidur di sana malam itu, Dioz meninggalkan kami berdua. 

Paginya kami bangun hampir jam delapan, berkat ngobrol tak jelas sampai jam empat tadi malamnya. Ibu kost Yosia sempat melihatku, "Siapa itu Ndri." Yosia memperkenalkanku. "Cakep ya!" Dueng! Mengapa yang memujiku cakep hanya dari kelompok di atas empat puluh tahun. Aku tidak tersanjung, tapi tersenyum juga, demi kemanusiaan. 

***

Tidak ada rencana khusus hari ini, aku mungkin akan berkeliling kota saja. Tapi Erni mengirimkan pesan pendek dan mengatakan bahwa aku bisa memakai motornya, Ayub pun sama halnya. Ternyata masih ada wajah-wajah yang kukenali di kota yang baru ini. Lalu juga Mbak Ari dan Astrid menghubungi, mereka mengajakku makan di Warung Ijo di depan kampus. Aku menyanggupi.

Warung itu bergaya minimalis, dindingnya hijau cerah. Tapi furnitur Jawa dipaksakan masuk, kesannya malah tidak berkarakter. Mungkin diniatkan untuk bernuansa Jawa, tapi sayangnya tidak cukup berani mengubah warna bangunan dan sebagainya, akhirnya kejawaannya tidak begitu terasa, selain bahwa tempat itu mencoba Jawa. Sebuah kursi kotak kayu berukir dilambari dengan busa yang dibungkus jarit coklat bergaya Solo. Sebuah dinding yang menghadap pintu masuk dipoles serupa batu bata, dua buah kursi tua dan pajangan piagam penghargaan. Ada juga sebuah cermin bergaya Jawa, tapi terlalu terasa baru berkat pernis yang masih mengkilat. Pada bagian tertentu seperti hendak dicoba bergaya neo vernakular, tapi tidak cukup berbunyi. Mungkin juga mengadopsi gaya straight revivals, tapi juga tidak tertangkap idenya. Jadilah seperti mozaik yang bertempelan.

Mbak Ari dan Astrid duduk di sana. Mereka makan, aku memesan minum saja. Ada yang terasa istimewa melihat mereka begitu baiknya. Perjalanan yang kukira akan gagal total ternyata tidak mengecewakan. Yang kami sayangkan tidak bisa berjumpa dengan Kak Endang Koli. Tapi sudahlah, mungkin lain kali. Dua orang waria sempat menyapa kami, dan menunjukkan tangannya kepadaku, "Ih masnya dikelilingi empat perempuan!" sambil menunjuk Mbak Ari, Astrid, dan dua gadis lain di bangku belakang. Kami sempat bertemu seorang anak kedokteran dari Tempursari, aku suka bagaimana dia berpakaian, sangat klasik, rok span hitam dan kemeja merah muda dengan beberapa rumpuk di bahu sampai ke dada. Kulitnya hitam, dan itu bagus, semoga dia tidak tergoda memutihkan kulit dan menjadi jajaran gadis urban yang sok metropolis dan kembar-kembar itu. Dia tampak ayu dengan segala atribut Jawa yang segar. Mungkin kami tidak berhenti bercerita satu jam lamanya. Kami berbicara tentang para dosen, tentang rencana Jogja, tentang tulisan-tulisan, tentang teman-teman. Dari percakapan itu, ide kami mengerucut, segera sms Ayub, ajak sekalian ke tempat itu: Ullen Sentalu. 

Ullen Sentalu, di tempat itu nanti pertama kali aku menemukan pencerahanku, dan tahu mengapa aku datang ke Jogja kali ini.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment